RESUME 12 JURNAL KOMUNIKASI DAN DAKWAH PROF. ANDI FAISAL BAKTI. MA. PH. D Perspektif dan Teori Komunikasi Massa Oleh: Eka Ade Lestari


Paramadina And Its Approach To Culture And Communication: An Engagement In Civil Society
Oleh Andi Faisal Bakti, Paris, (2004) pp. 315-341
ABSTRAK
Pada tahun 1993, Amien Rais, Ketua PP. Muhamadiyah, menuntut pengunduran diri Soeharto. Sementara Nurcholis Madjid, membawa Paramadina, memimpin demonstrasi damai dalam menengahi antara demonstran, organisasi masyarakat sipil, dan pihak dari Soeharto. Madjid menggandeng Saudillah Mursyid dan Yusril Ihza Mahendra meminta Soeharto turun dengan damai dan terhormat. Soeharto pun menerima dan terhindar dari tindakan lebih lanjut dan digantikan oleh Habibie.
Pertanyaan mayornya adalah bagaimana pendekatan Paramadina terhadap budaya dan komunikasi sebagai bagian yang dilakukan masyarakat sipil? dengan kata lain, sejauh mana masyarakat sipil (masyarakat madani) dan Paramadina di dunia melayu: tradisional dan modern? Siapa saja lingkup masyarakat sipil yang didekati oleh paramadina? Dan bagaimana proses menuju masyarakat sipil dalam Islam; pendekatan paramadina terhadap perkembangan budaya?
Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan terhadap budaya dan komunikasi yang dilakukan oleh Paramadina memulai sistem demokrasi yang tepat ketik kelas menengah Indonesia telah ditunjukkan jalan menuju demokrasi. Paramadina mampu menjadi jembatan dalam pengunduran Soeharto melalui pendekatan komunikasinya sebagai cerminan dari masyarakat madani atau civil society.
Untuk menganalisis, perspektif teori yang digunakan adalah Civil Society dari John Hall (1995) ia mendefinisikan civil society sebagai aktor-aktor di luar pemerintah yang punya cukup kekuatan untuk mengimbangi negara. Civil society ini, sekalipun tidak mempersoalkan peran negara sebagai penjamin ketertiban dan kesejahteraan, berkepentingan untuk mencegah agar negara tidak melakukan dominasi dan manipulasi terhadap rakyatnya.
Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari Nurcholis Madjid (1996). Ia mendifiniskan ulang civil society dengan istilah ‘masyarakat madani’. Yang diambil dari KH. Sahal Mahfudz tentang mutamaddun, madaniyah (sivilitas). tamaddun (civilization). Masyarakat ini merujuk kepada masyarakat di Madinah yang dibentuk Nabi Muhammad dalam “Piagam Madinah”, kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya, keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah.
Analisis pertanyaan ini memberikan jawaban pertama, bahwa masyarakat Melayu menerapkan konsep masyarakat sipil adalah masyarakat nuulani yang meneladani konsep Piagam Madinah oleh Rasulullah dan bukan murni dari barat. Kedua, Pandangan progresif Madjid tersebar luas di kalangan Parumadina, baik jaringan lslam Liberal, STAIN/IAIN atau/dan UIN, dan kalangan akademik di seluruh Indonesia. Ketiga, dalam komunikasi dan budaya, pendekatan menggunakan istilah religius dengan istilah sekuler (toleransi, demokrasi, sekularisasi) tujuan politik jangka panjang (masyarakat madani atau komunitas Muslim).
Sebagai refleksi, bahwa masyarakat madani berbeda dengan masyarakat sipil dalam mempromosikan hak asasi manusia. Masyarakat madani merupakan masyarakat sipil kontekstualisasi lokal di Indonesia. Muslim hendaknya melihat sesuatu bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya, keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah.
Kata kunci: Civil society, Masyarakat madani, Nurcholis Madjid, Paramadina, Komunikasi dan Budaya



Islamic Dakwah in Southeast Asia
oleh Andi Faisal Bakti dalam oxford journal, (2011) pp. 1-17.
ABSTRAK
Pengenalan Islam melalui dakwah berkembang dengan cara yang berbeda berbagai negara di Asia Tenggara, dakwah pada dasarnya berarti mengajak untuk kebaikan dan melarang kepada yang munkar, lebih khusus mendorong kemajuan muslim dan Islam itu sendiri. Akan tetapi menjadi unik di Asia Tenggara, yang mana kekuatan kolonial, masing-masing negara terjajah berjuang untuk kemerdekaan, beberapa negara ini justru menggunakan dakwah untuk persaudaraan dan solidaritas untuk melawan penjajahan.
Berdasarkan konteks di atas, pertanyaan mayornya adalah bagaimana peran dakwah Islam di Asia Tenggara? Sedangkan pertanyaan minornya adalah sejauh mana peran dakwah komunitas muslim di dunia Melayu? Seperti apa peran dakwah sebagai kekuatan pemersatu dalam memerangi penjajahan di Asia Tenggara? Dan seperti apa pola dakwah di Asia Tenggara?
Penelitian ini menyatakan bahwa dakwah di Asia Tenggara mampu menjadi media atau alat pemersatu dalam melawan penjajahan di masing-masing negara-negara di Asia Tenggara (Dunia Islam Melayu) yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand selatan, selatan Filipina, Kamboja, dan Vietnam. Dengan pola struktur dakwah yang berbeda mengikuti kebudayan setempat,   dakwah mampu masuk dan mengembangkan Islam di negera tersebut.
Untuk menganalisis penelitian di atas, digunakan Teori peran/role theory melalui empat pendekatan, yang terdiri atas perilaku peran, pelaku peran, kedudukan orang yang berperan, serta kaitan antara orang dan perilaku.
Adapun konsep yang digunakan Andi Faisal Bakti dalam penelitian ini adalah konsep peran dakwah di komunitas muslim di dunia Melayu. Hal ini berkaitan dengan kelompok etnis yang berbeda wilayah mencoba untuk menggabungkan komunitas mereka untuk visi yang sama. Dakwah adalah hal yang universal bagi muslim, sehingga dakwah sebagai kekuatan pemersatu melawan penjajah, dakwah dalam gerakan dan pers, dakwah sebagai ajaran Islam. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan yang dilakukan bukan hanya semata-mata untuk penyebaran agama Islam. Melainkan untuk pemersatu antar umat Islam di belahan wilayah lainnya.
Analisis penelitian ini memberikan jawaban pertama, peran dakwah di Asia Tenggara menciptakan persaudaraan dan solidaritas untuk melawan penjajahan dengan menumbuhan peradaban Islam. Kedua, identitas baru masyarakat majemuk yang dibuat oleh pemerintah kolonial justru disatukan melalui dakwah oleh kelompok etnis yang berbeda wilayah yang luas dan populasi besar datang untuk menggabungkan komunitas mereka di dunia Melayu. Ketiga, sistem pendidikan Islam tidak hanya mencakup sekolah tradisional pesantren dan sekolah sekuler, tetapi juga pendidikan informal yang disebut pengajian atau majelis taklim di Indonesia, atau syarahan (komentar) atau bayan (penjelasan) di Thailand, Malaysia, Vietnam dan Kamboja).
Sebagai refleksi dakwah pada dasarnya mengajak kepada yang makruf dan mencegah pada yang munkar. Guna mendorong muslim di belahan dunia. lebih khusus mendorong kemajuan muslim dan Islam itu sendiri. Di Asia Tenggara, masing-masing negara terjajah berjuang untuk kemerdekaan, beberapa negara ini menggunakan dakwah untuk persaudaraan dan solidaritas untuk melawan penjajahan. Setelah kemerdekaan, dakwah menjadi instrumen untuk pembangunan dan kelompok belajar agama muncul di kalangan kelas menengah, menarik pria dan wanita dewasa, pemuda.
Kata kunci: Dakwah, Asia Tenggara, Islam, Penjajahan, Reformis



Major Conflicts In Indonesia: How Can Communication Contribute to a Solution
Oleh Andi Faisal Bakti dalam Jurnal Human Factor Studies, Volume 6, nomor 02 (2000), pp. 33-56.
ABSTRAK
Konflik horizontal yang terjadi antarsuku, agama, ras, golongan dan sejumlah fenomena budaya lainnya, serta konflik vertikal antarmasyarakat dengan pemerintah, menyebabkan kekerasan di berbagai daerah di Indonesia, dalam hal ini komunikasi sangat diperlukan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemanusiaan dan pluralisme dalam pergaulan di masyarakat yang mempunyai latar belakang kultural yang beragam.
Pertanyaan mayornya adalah bagaimana komunikasi karakteristik integritas manusia di Indonesia dalam meredakan konflik horisontal antar budaya, agama dan politik? Dengan kata lain, siapa aktor yang berperan dalam memperebutkan kekuasaan untuk meredamkan konflik ini? Sejauh mana peran komunikasi dan karakteristik integritas manusia dalam menghadapi konflik horizontal di Indonesia? Seperti apa intregitas manusia yang bisa diiterapkan sebagai solusi untuk menyatukan lndonesia dalam pilar ‘Bhinneka Tunggal lka’?
Penelitian ini menyatakan bahwa konflik horizontal yang terjadi antarsuku, agama, ras, golongan dan sejumlah fenomena budaya lainnya di Indonesia belum bisa diredakan secara sepihak oleh pemerintah melalui gagasan nasionalisme yang dibangun, pembedaan kaum yang diprakarsai oleh Belanda masih berlangsung selama berabad-abad 17-20 dan mewarnai sampai hari ini pada lingkup kehidupan religius, sosial dan politik di seluruh Indonesia.
Secara aplikatif, kajian ini menerapkan perspektif teori antropologi, Barth (1969), pertama, pandangan primordialis. Perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) yng mengakibatkan benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua pandangan instrumentalis, suku, agama dan identitas lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil. Ketiga, konstruktivis, identitas kelompok tidak bersifat kaku sehingga bisa diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial.
Konsep yang relevan dengan teori ini adalah dari Andi Faisal Bakti (2004) juga mengemukakan adanya tiga model, yaitu kulturalis, komunikasionis, dan peace recognitionist (pengakuan akan perdamian dan kedamaian). Pandangan pertama dan kedua Barth di atas, masuk dalam kategori pandangan pertama Bakti, sedangkan pandangan Barth yang ketiga mirip dengan pandangan Bakti yang ke dua. Namun, Barth tidak menyinggung aspek ke tiga dalam pandangan Bakti.
Analisis pertanyaan di atas memberikan jawaban pertama, aktor dan kekuasaan yang berperan adalah ulama melalui dakwahnya, sentralisasi dan penjajahan, kekuatan militer, pebisnis yang memiliki kuasa, paham sekuler, konsep modernisasi dan paham maskulinisasi. Kedua, integritas manusia paling kuat sejauh ini terbentuk karena faktor agama, konflik terkuat pun masalah agama, sehingga permasalahan kembali diselesaikan dengan ajaran agama masing-masing di Indonesia. Ketiga, mentalitas manusia sebagai spektrum karakteristik kepribadian positif berfungsi di berbagai segmen kehidupan institusi sosial, ekonomi dan politik.
Sebagai refleksi, pluralisme dan konflik horizontal bisa ditemui di mana saja dan kapan saja di berbagai daerah. Karakteristik integritas manusia berasosiasi dengan sesama manusia, sangat penting bagi setiap orang untuk merenungkan dan menciptakan budayanya sendiri.
Kata kunci: Komunikasi, Kekerasan, Integritas, Budaya, Politik



Islam and Modernity: Nurcholish Madjid's Interpretation of Civil Society, Pluralism, Secularization, and Democracy
Oleh Andi Faisal Bakti dalam Asia Journal of Social Science, Volume 33, nomor 3 (2005), pp. 486-505.
ABSTRAK
Perdebatan tentang penerapan konsep barat “modern” masyarakat sipil, pluralisme, sekularisasi dan demokrasi berkembang pesat sejak tahun 1970an di Indonesia. Khususnya sejak munculnya Nurcholish Madjid. Pada tahun 1980, melalui Yayasan Paramadina, Majdid, mengembangkan gagasannya sendiri tentang masyarakat sipil. Madjid adalah salah juaranya dalam menggagas “Neo-Modernisme” di Indonesia, karena gagasan “modernisme” dan “tradisionalisme” ini digabungkan saat relevan dan sesuai untuk masyarakat.
Berdasarkan konteks di atas, pertanyaan mayornya adalah bagaimana Majdid menafsirkan tentang konsep masyarakat sipil, pluralisme, sekularisasi dan demokrasi sebagai wacana utama? Sedangkan pertanyaan minornya adalah bagaimana cara mendefinisikan dan mempercepat jalan bagi pembangunan Islam di Indonesia? pendekatan apa yang digunakan Majdid?
Penelitian ini menyatakan bahwa dalam perjalanan menuju pencapaian masyarakat madani (masyarakat sipil) Madjid melalui konsep yang dikembangkannya lewat Paramadina yakni tentang inklusivisme, pluralisme, integralisme, toleransi dan demokrasi nampaknya belum mampu mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan lokal dan global, hubungan internasional dan komunikasi. Madjid juga terbatas pada nasionalisme Indonesia, tidak terbuka terhadap partikular maupun globalisme pluralisme.
Untuk menganalisis, perspektif teori yang digunakan adalah Civil Society dari John Hall (1995) ia mendefinisikan civil society sebagai actor-aktor di luar pemerintah yang punya cukup kekuatan untuk mengimbangi negara. Civil society ini, sekalipun tidak mempersoalkan peran negara sebagai penjamin ketertiban dan kesejahteraan, berkepentingan untuk mencegah agar negara tidak melakukan dominasi dan manipulasi terhadap rakyatnya.
Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari Nurcholis Madjid (1996). Ia mendifiniskan ulang civil society dengan istilah ‘masyarakat madani’. Masyarakat ini merujuk kepada masyarakat di Madinah yang dibentuk Nabi Muhammad SAW dalam “Piagam Madinah”, yang memiliki ciri utama yaitu egalitarianism atau penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya, keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah.
Analasis penelitian ini memberikan jawaban bahwa pertama, pendekatan humanistik dan global - seperti yang dikemukakan oleh pendekatan komunikasi terhadap pembangunan manusia dapat berkontribusi pada emansipasi warga setempat, dari nasionalisme paroki dan terpusat yang dipegang oleh banyak pemimpin Indonesia.  Kedua, pendekatan budaya dan nasionalistik dalam semangat juang nasionalisme Indonesia, yang mana dapat memberi kontribusi pada kristalisasi budaya, partikularisme, lokalisme dan pertentangan.
Sebagai refleksi, berpikir secara global dan bertindak secara lokal bisa menjadi kekuatan yang membebaskan semua orang. Madjid lewat Paramadia berusaha mempromosikan utivensalisme (kebenaran sejati dan nilai-nilai), karena bagaimana pun, gagasannya mungkin akan berkontribusi dalam memecahkan konflik antara nasionalis sekuler dan Pemuka agama Islam di Indonesia,
Kata Kunci: Islam, Modernitas, Nurcholish Madjid, Pluralisme, Paramadina, Demokrasi.



The Role of Islamic Media In The Globalization Era; Between Religious Principles And Values Of Globalization, Chalkenges, and Opportunities
Oleh Andi Faisal Bakti dalam The 2nd International Conference on Islamic Media (2011), pp. 1-15.
ABSTRAK
Islam adalah agama yang penuh dengan prinsip, berasal dari etika, moral, hukum, mistik dan ajaran filsosofis. Lebih dari milyaran pengkutnya dari berbagai belahan dunia. mereka mempunyai pesan serta misi yang universal yang sama, untuk mendakwahkan segenap umat manusia untuk menyembah kepada satu Tuhan yang sejati. Namun, terkadang prinsip prinsip dakwah Islam tersebut bertabrakan dengan prinsip prinsip modern, termasuk nilai-nilai yang dibawa bersama dengan era globalisasi.
Pertanyaannya mayornya adalah bagaimana peran media Islam dalam era globalisasi untuk dakwah? Pertanyaan minornya adalah bagaimana media menjembatani antara prinsip-prinsip agama Islam dan prinsip-prinsip globalisasi? Apa tantangan dan peluang untuk dunia muslim, dalam artian untuk memahami prinsip-prinsip globalisasi?  Apa peran media Islam dalam era globalisasi ini?
Penelitian ini memaparkan pernyataan bahwa peran media Islam di era globalisasi untuk berdakwah memiliki tantangan dan peluangnya sendiri. Sebab prinsip globalisasi tidak selalu diterima oleh muslim tradisionalis. Hanya sedikit muslim yang menerima bahwa media merupakan bagian dari alat Islam (washilah) untuk berdakwah, banyak yang percaya bahwa hal tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam, sebagai media, ia justru terlihat sebagai alat untuk menyalurkan pesan-pesan globalisasi (westernisasi).
Secara aplikatif, kajian ini menerapkan perspektif teori globalisasi (Branston dan Stafford, 2003) dan beberapa teori yang relevan. Perspektif teori globalisasi ini kemudian telah melahirkan berbagai perspektif dan pendekatan, seperti pendekatan imperialisme budaya, homogenisasi, oligopoli, dan beberapa perdebatan yang pada gilirannya telah melahirkan beberapa konsekuensi kecenderungan.
Konsep dari Andi Faisal Bakti menggunakan teori peran. Menurut teori ini, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Teori peran adalah perpektif dalam sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap sebagian kegiatan sehari-hari menjadi pemeran dalam kategori sosial. Menurut teori ini, dalam pergaulan sosial sudah ada scenario yang disusun oleh masyarakat, yang notabennya mengatur apa dan bagaimana peran setiap orang dalam pergaulannya.
Analisis ini memberikan jawaban bahwa pertama, media dapat menyampaikan pesan Islam kepada penerima di setiap sudut celah dunia. Kedua, muslim harus bisa mengembangkan media mereka sendiri, sebanding dengan media sekuler barat saat ini. Muslim harus bisa bersaing dan memenangkan persaingan melawan media yang meliput dan menyebarkan pesan non-Islam dari negara-negara non-muslim. Ketiga, Melalui media Islam ini, umat Islam dapat mengendalikan isi pesan yang akan dikirim melalui saluran yang diciptakan oleh kaum muslim seraya mengendalikan pesan dakwah.
Sebagai refleksi, peran muslim berkedudukan sebagai penerima, dan media sebagai sumber globalisasi dari barat. Peran muslim menjadi pengirim, dan orang barat adalah penerima nilai-nilai Islam. Kemungkinan ketiga: Muslim mengirim pesan globalisasi, dan orang-orang barat mengirimkan pesan ajaran Islam. Kemungkinan keempat adalah bahwa muslim dan orang barat dapat melayani baik isu globalisasi maupun ajaran Islam pada saat bersamaan.
Kata kunci: Globalisasi, Media, Islam, Westernisasi, Tantangan



Major Conflicts in Indonesia: How Can Communication Contribute to a Solution
Oleh Andi Faisal Bakti dalam Jurnal Human Factor Studies, Volume 6, nomor 02 (2000), pp. 33-56.
ABSTRAK
Selama tiga dekade (1966-1996), lndonesia relatif "stabil" di bawah pemerintahan yang otoriter. Namun, dalam empat tahun terakhir (1997-2000), serangkaian konflik terjadi mengatasnamakan agama dan etnis. Alasan di balik banyak konflik tersebut, seperti perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Akibatnya, kecenderungan terhadap interpretasi dan iming-iming janji transparansi oleh para pemimpin negara tersebut mulai bermunculan dengan maksud untuk menyetabilkan keadaan.
Berdasarkan permasalahan di atas, pertanyaan mayornya adalah bagaimana komunikasi memberikan solusi konfik besar di Indonesia tanpa mengembalikan kepemimpinan otoriter seperti sebelumnya? Dengan kata lain, siapa pelaku utama yang berperan dalam konflik besar yang terjadi di Indonesia tersebut? Bagaimana perkembangan karakteristik manusia pada saat itu? Dan bagaimana solusi dalam meredakan konflik di Indonesa melalui pembangunan kesadaran karakteristik human factor lewat komunikasi?
Penelitian ini memiliki pernyataan bahwa konflik meningkat ketika masyarakat lebih kuat dibanding pemerintah. Pemerintah mengalami kelemahan justru saat sistem demokrasi dijalankan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya karakteristik faktor manusia merupakan alasan dasar terjadinya berbagai konflik besar di Indonesia, yang mana menyebabkan banyak pertumpahan darah, sementara pemerintah harus tetap bertanggung jawab atas demonstrasi dan korban yang meluas.
Secara aplikatif, penelitian ini menganalisis dengan menggunakan perspektif konsep human factor studies, Adjibolosoo (2000: 3-20). Dalam perspektif ini terdapat dua unsur penting, yakni  personality characteristics dan dimensions of human performance. Konsep personality characteristics menunjukkan faktor manusia yang menimbulkan perilaku, dan tindakan tertentu. Sedangkan dimensions of human performance menunjukkan dimensi kinerja manusia yang terpengaruhi oleh dan untuk institusi sosial, ekonomi, dan politik yang berfungsi seiring berjalannya waktu.
Konsep dari Andi Faisal Bakti adalah human factor efektif dalam usaha pengembangan masyarakat melalui social engineering, yang mana berisi integritas, trust, respect, responsibility, akuntabilitas dan komitmen. Human factor, akan berhasil jika fokus pada aspek personal. Human factor, dapat diadopsi dalam kajian civil society. Atau lebih cenderung pada sisi manusianya.
Analisis penelitian ini memberikan jawaban bahwa pertama, konflik besar di Indonesia ini terjadi antara Muslim dan non-Muslim; Jawa dan non-Jawa; militer dan sipil; pedagang lokal dan asing; nasionalis sekuler dan kaum religius; dan Muslim modernis dan tradisionalis. Kedua, konflik terjadi disebabkan perdebatan perbedaan antar kaum yang menyebabkan banyak pertumpahan darah, demonstrasi dan korban yang meluas. Ketiga, program berbasis Human Factor sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan kualitas manusia, dalam konteks non-sektarian, dari personal integritas, akuntabilitas, tanggung jawab, dan kepercayaan.
Sebagai refleksi, tidak ada perbaikan cepat dalam menangani konflik di Indonesia. Pengembangan program positive human factor merupakan agenda jangka panjang. Mungkin akan memakan waktu beberapa generasi untuk memperoleh hasil yang signifikan. Akan tetapi, jika setiap golongan memiliki kesadaran sisi kemanusiaan, hal ini bisa meminimalisir konflik besar di berbagai daerah di Indonesia pada khususnya.
Kata kunci: Human Factor, Konflik, Komunikasi, Solusi, Pemerintah Indonesia.



Majelis Azzikra: New Approach to Dakwah for Civil Society in Indonesia
Oleh Andi Faisal Bakti dalam Mimbar Jurnal Agama dan Budaya, Volume 23, nomor 01 (2006) pp. 14-24.
ABSTRAK
Selain Daarut Tauhid dari Abdullah Gymnastiar, terdapat majelis taklim lain yang mana menggunakan pendekatan dakwah yang berbeda, Majelis Adz zikra yang diketuai oleh Muhammad Arifin Ilham saat berusia 34 tahun. Yang menarik, Arifin mengadopsi pendekatan terhadap Allah SWT dengan mengingat Tuhan melalui bacaan nama-nama Tuhan, firman dari Tuhan yang diambil dari Al-Qur’an dan kata-kata taubat dari dosa.
Berdasarkan konteks di atas, pertanyaan mayornya adalah bagaimana keunikan pendekatan Majelis Adz Dzikra? Sedangkan pertanyaan minornya adalah apa sajakah komponen dzikir yang digunakan Adz Dzikra? Dan, Sejauh mana respon masyarakat terhadap majelis dzikir Adz Dzikra?
Penelitian ini memiliki pernyataan bahwa Arifin Ilham melalui Majelis dzikir Adz Dzikra yang didirikannya mampu mengajak masyarakat Indonesia dalam menegakkan kembali spiritualitas muslim dengan konsep berbeda dari majelis lainnya, yakni dengan mengingat Tuhan, Arifin dan Majelis Az Zikra mengajarkan ketulusan melalui mengingat Tuhan. dengan puncak ketulusan adalah istiqamah. Selalu berpikir tentang Tuhan. Karena inti kehidupan ini adalah bagaimana mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.
Untuk menganalisis penelitian ini, secara aplikatif teori yang digunakan adalah teori Kepribadian, dan beberapa teori yang relevan. Perspektif teori kepribadian ini kemudian melahirkan berbagai perspektif dan pendekatan, yakni Pendekatan Ciri Gordon Allport (1966) mengarahkan perilaku individu pada konsistensi dan khas. Pendekatan Psikodinamik, Kepribadian dibentuk dari pengalaman proses mental.
Konsep yang relevan dengan teori ini adalah Al-Qur’an surat Al-A’raf 7:10, yakni menyebut asmaul husna dan meninggalkan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Thariqah, yakni (metode) untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan, dalam keadaan mana seseorang dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya (ainul bashirah).
Analisis penelitian ini memberika jawaban pertama, dzikir Adz Dzikra menggunakan 4 kompenen, yakni dzikir hati, dzikir pikiran, dzikir di lidah, dan terakhir adalah aksi dari dzikir tersebut. Kedua, Respon masyarakat terlihat jelas. Arifin Ilham kemudian memperluas dakwahnya di pulau jawa dan sekarang pengikutnya sudah mencapai kancah nasional. Tiap pertemuan, pengikutnya tidak lebih berjumlah 3000 orang dan biasanya dihadiri oleh lebih dari anggota pengajian dari 10 masjid.
Arifin Ilham bagaimanapun, merupakan cara baru untuk mengingatkan orang, untuk kembali ke praktik yang benar. Dia mungkin menjadi saluran di mana individu memilih untuk menjelaskan dengan aman dan tidak mengancam kebencian mereka terhadap pemimpin mereka. Muhammad Arifin Ilham disibukkan dengan introspeksi diri. Dia menekankan diri sebagai titik awal untuk mengendalikan satu diri, selain anggota keluarga dan masyarakat. Tujuannya bukan hanya melibatkan masyarakat Indonesia tapi juga dunia muslim.
Kata kunci: Majelis AdzDzikra, Arifin Ilham, Dakwah, Islam, Ormas. 



Communications Parallels in The Influence Of Religious Values in The Development of Japan And Indonesia
Oleh Andi Faisal Bakti, Review of Human Factor Studies, Vol. 6. No. 1. (2000) pp. 1-32
ABSTRAK
Seharusnya kemajuan Indonesia dalam hal pembangunan dan komunikasi harus bisa ditentukan oleh kepribadian Indonesia sendiri, akan tetapi dalam hal pembangunan, Indonesia banyak bercermin dari pengalaman beberapa negara lain di Asia. Khususnya Jepang dalam kaitannya dengan perkembangan nilai-nilai agama. Terlepas dari banyak perbedaan antara masyarakat Indonesia dan Jepang. Akan tetapi tampaknya Indonesia juga menerapkan nilai yang pararel dengan nilai-nilai agama Jepang.
Berdasarkan persoalan di atas, pertanyaan mayornya adalah apakah nilai-nilai yang menjadi panutan dalam perkembangan Jepang dan Indonesia? Sedangkan pertanyaan minornya adalah sejauh mana pengembangan dan nilai-nilai agama model Jepang digunakan oleh negara Asia Timur lainnya? Apakah negara Asia lainnya mengikuti garis pengalaman Jepang atau memulai jalan yang berbeda?
Penelitian ini menyatakan bahwa ada kedekatan teoretis yang mendalam antara gerakan religius di Indonesia dan di Jepang. Terlepas dari banyak perbedaan antara masyarakat Indonesia dan Jepang. Indonesia bahkan Mesir memiliki konsep tatanan manusia yang selaras dengan prinsip Jepang yang mengakar. Yakni konfusianisme, kerja keras, kesalehan (kesetiaan pada Tuhannya), sosial harmoni, wewenang dan kepemimpinan telah membentuk sistem sosial.
Secara aplikatif, penelitian ini menganalisis dengan menggunakan perspektif human factor studies, Adjibolosoo (2000: 1-32). Dalam perspektif ini terdapat dua unsur penting, yakni  personality characteristics dan dimensions of human performance. Teori personality characteristics menunjukkan faktor manusia yang menimbulkan perilaku, dan tindakan tertentu. Sedangkan dimensions of human performance menunjukkan dimensi kinerja manusia yang terpengaruhi oleh dan untuk institusi sosial, ekonomi, dan politik yang berfungsi seiring berjalannya waktu.
Adapun konsep Al-Quran yang digunakan adalah QS. Ar-Ra’ad ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka”. Dalam ayat ini menerangkan bahwa perubahan seseorang, kaum, atau bangsa dinilai ari seberapa besar usaha dari kaum atau bangsa itu sendiri.
Analisis ini memberikan pandangan bahwa pertama, Indonesia adalah negara mayoritas muslim, dan Islam mendorong pemeliharaan tradisi yang berguna dan mengadopsi tradisi baru yang sesuai dengan kebutuhan sekarang, tanpa mempercayai takhayul dan mistis (Konfusianisme) seperti nilai agama untuk pembangunan yang diterapkan Jepang. kedua, di Asia Timur, khususnya masyarakat Mesir telah mengadaptasi model pembangunan di Jepang, terutama dalam hal kinerja nilai-nilai agama yang telah berhasil dicapai Jepang.
Sebagai refleksi, penguasa Jepang telah mengadopsi rasionalisme religius untuk tatanan Jepang, setiap individu diajari rasa tanggung jawab yang kuat; kesetiaan, tanggung jawab kepada keluarganya, atasannya, dan untuk itu secara umum, individu harus hidup sesuai dengan status sosial dan kewajibannya. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia maupun negara Asia lainnya.
Kata kunci: Human Factor, Jepang, Religiusitas Jepang, Komunikasi, Konfusianisme



Daarut Tauhiid; New Approach to Dakwah for Peace in Indonesia
Oleh Andi Faisal Bakti, Jurnal Kajian Dakwah dan Komunikasi, Volume. III. Nomor. 1 (2006) pp. 1-29
ABSTRAK
Sebagaimana digenggam sebagai fenomena baru dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia pada pergantian milenium. Awal millennium ketiga ditandai ini dengan munculnya dai-dai di perkotaan. Hal ini menarik karena umumnya  dai-dai ini berlatar belakang ilmu umum dan bukan dari ranah studi Islam. Satu diantaranya adalah dai fenomenal yang banyak mendapat perhatian publik, yakni Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), melalui yayasan Daarut Tauhid yang dibangunnya yang membawa pesan perdamaian di Indonesia.
Berdasarkan pernyataan di atas, pertanyaan mayornya adalah bagaimana Aa Gym membawa Daarut Tauhid sebagai pendekatan jalan dakwah untuk perdamaian di Indonesia? Sedangkan pernyataan minornya adalah seperti apa latar belakang Aa Gym dan Daarut Tauhid yang dibangunnya? Bagaimana pendekatan Aa Gym dalam menghadapi publik (khalayak umum), individu tertentu, Negara serta pasar? Sejauh mana pendekatan Aa Gym menggunakan pendekatan jalan dakwah untuk perdamaian di Indonesia?
Penelitian ini memiliki pernyataan bahwa Aa Gym cukup piawai mendekati setiap unsur masyarakat publik (khalayak umum), individu tertentu, Negara serta pasar. Sehingga dakwahnya diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Yang membuat Aa Gym menarik dan membedakan dengan dai-dai lain bukan pada aspek penguasaan keilmuan agamanya, akan tetapi pada pendekatan yang digunakannya. Aa Gym seseorang yang berlatarbelakang wirausahawan dan bukan studi Islam, akan tetapi berhasil memperlihatkan wajah Islam yang damai dan sejuk, yang pada gilirannya layak menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat dalam membawa pesan perdamaian di Indonesia.
Untuk menganalisis penelitian ini, secara aplikatif menggunakan kajian dakwah dan komunikasi, dan beberapa unsur yang relevan, yakni komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. Dalam kajian ini fokus membahas pendekatan yang digunakan komunikator kepada komunikan. Konsep yang relevan dengan teori ini adalah dari Andi Faisal Bakti (2004) juga mengemukakan adanya tiga model, yaitu kulturalis, komunikasionis, dan peace recognitionist (pengakuan akan perdamian dan kedamaian).
Analisis pertanyaan di atas memberikan jawaban pertama, Aa Gym merupakan pebisnis berbakat yang mengenal roda bola pasar sehingga Ia memiliki pengetahuan terhadap kebutuhan pendengar yang ia rumuskan dalam dakwahnya. Kedua, Aa Gym mengajak masyarakat melalui ilmu umum yang dimilikinya untuk memusnahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan berkonsentrasi pada 'manajemen hati’, seperti kesabaran, toleransi, rasa hormat, kerja keras, dan introspeksi diri. Ketiga, Aa gym sejauh ini berhasil membawa pesan perdamaian melalui pribadi maupun Daarut Tauhid-nya dengan menyentuh berbagai segmen masyarakat di Indonesia.
Sebagai refleksi, kemunculan Aa Gym tepat pada waktunya. Memberi kebutuhan kelas menengah untuk menerima dukungan (atau persetujuan) Islam dalam bisnis, untuk memusnahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, Aa Gym disambut hangat oleh lingkungan publik, khususnya penghuni perkotaan, terlepas darimana latar belakangg mereka.
Kata Kunci: Dakwah untuk Perdamaian, Abdullah Gymnastiar, Daarut Tauhiid, Masyarakat Sipil



The Integration of Dakwah in Journalism: Peace Journalism
Oleh Andi Faisal Bakti, Jurnal Komunikasi Islam, Volume 05, Nomor 01 (2015) pp. 1-19.
ABSTRAK
Sensitivitas konflik, konstruktifitas konflik, dan resolusi konflik selama tahun-tahun terakhir dalam pemberitaan pers selalu dikontrol dan disensor oleh pemerintah. Masyarakat Indonesia telah berjuang keras sehingga sekarang dapat menikmati pers bebas, atau untuk menikmati jurnalistik yang relatif obyektif. Dimana pesan digambarkan seimbang, wartawan muslim bisa berekspresi menggabungkan jurnalisme dan dakwah.
Berdasarkan persoalan di atas maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana mengintegrasikan dakwah di dalam jurnalisme? Dengan kata lain, sejauh mana komunikasi Islam (dakwah) di Indonesia masuk ke dalam ranah jurnalisme? Dan sejauh mana hubungan antara jurnalisme dan dakwah bisa lebih baik mendidik penerima pesan, baik itu pembaca, pemirsa, atau pendengar?
Penelitian menunjukkan bahwa integrasi baik Islam maupun Islam dalam lingkup Komunikasi bisa bermanfaat bagi jurnalisme perdamaian. Terutama untuk mengabadikan dan memadamkan sensitivitas konflik, konstruktifitas konflik, dan resolusi konflik. Wartawan Muslim bisa menghasilkan artikel tentang Islam untuk mempromosikan ajaran Islam relevan dengan nilai universal, termasuk inklusifitas untuk nilai kemanusiaan yang inklusif.
Secara aplikatif, kajian ini menerapkan perspektif teori Jurnalisme Perdamaian dari Lynch (2005), ia mendefinisikan jurnalisme perdamaian: "kapan editor dan reporter membuat pilihan - apa yang harus dilaporkan, dan bagaimana caranya meaporkan - yang menciptakan peluang bagi masyarakat luas untuk dipertimbangkan dan nilai tanggapan tanpa kekerasan terhadap konflik.
Jurnalisme komunikasi dalam Islam sama dengan Komunikasi Islam. Komunikasi Islam pada dasarnya adalah jurnalisme perdamaian. Komunikasi islam terdiri dari tabligh, taghyir, khairu ummah dan akhlaq al-karimah. Penjelasan tentang tabligh yakni informasi yang dimuat, taghyir berarti adanya perubahan sosial, khairu ummah berarti komunitas teladan, dan akhlaq al-karimah atau perilaku mulia/ masyarakat sipil.
Analisis pertanyaan di atas memberikan jawaban pertama, dahulu jurnalisme dakwah pun harus melalui persetujuan pemerintah, akan tetapi kini Jurnalisme dakwah bisa digabungkan sedemikian rupa untuk mempertahankan objektivitas yang menjadi inti dari apa itu jurnalisme yang mempertahankan kredibilitas tanpa campur tangan pemerintah. Kedua, jurnalis pada dasarnya dipercaya sebagai perwakilan dari penonton yang dipercaya untuk mengajukan pertanyaan yang benar dan tepat. Sehingga sesuai dengan nilai komunikasi Islam guna menciptakan sebuah platform untuk berbagi informasi dan nilai agama yang bisa didiskusikan khalayak.
Sebagai refleksi, jurnalisme perdamaian mengajak para wartawan untuk memberitakan suatu hal yang objektif guna meredam konflik yang disebabkan oleh ketidaksesuaian berita. Dalam Islam, bisa dikatakan sebagai dakwah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat umum dari bawah ke atas dengan mengadopsi pemerintahan yang baik dan masyarakat sipil. Memerintahkan yang benar dan memberikan pelarangan kepada yang batil.
Kata kunci: Integrasi Dakwah dalam jurnalisme, kedamaian Jurnalistik, Komunikasi



Raising Public Consciousness About The Importance of Freedom of Expression in a Democratic Society and on Enhancing The Quality of Life of The Ordinary Citizen: The Case of Indonesia
Oleh Andi Faisal Bakti, Volume 24, Nomor 1 (2013) pp. 1-14.
ABSTRAK
Idealnya masyarakat demokratis menikmati kebebasan pers dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya secara umum, termasuk dalam perkembangan komunikasi. Perkembangan komunikasi di negara kurang berkembang sebagian besar telah terimplementasikan, akan tetapi tetap pada ranah kontrol sosial, termasuk konsep Komunikasi (Komunikator, komunikan, pesan, media dan efek). Akibatnya, viktimisasi, otoritarianisme, pemaksaan, rayuan, dan monopoli seringkali tidak dapat dihindari.
Pertanyaan mayornya adalah bagaimana mengembangkan kesadaran publik tentang kebebasan berekspresi sebagai salah satu kemampuan demokratis untuk meningkatkan kualitas kehidupan warga Indonesia? Dengan kata lain mengapa teori Komunikasi justru tampak membatasi ekspresi manusia? Bagian mana yang salah dengan konsep Komunikasi di atas? Sudut mana yang perlu ditangani dalam perspektif komunikasi dan pengembangan agar bisa membuka jalan bagi demokrasi masyarakat Indonesia?
Makalah ini akan berpendapat bahwa pendekatan model komunikasi di atas telah mengabaikan karakteristik kualitas manusia dan peran aktif warga (masyarakat atau penerima, masyarakat demokratis belum benar-benar terealisasikan dalam lingkup komunikasi). Ada finalisme antara peran dan tuntutan penerima manfaat sebagai penerima manfaat dan jenis program pembangunan yang dimulai serta persepsi populasi dari program ini.
Perspektif yang digunakan dalam makalah ini adalah Revault (1986-1982) teori Active Reception, menurut teori ini pendekatan penerimaan aktif atau sama dengan teori bumerang. Urutan dalam model ini bukanlah batasan waktu dan ruang harus komunikator dan berakhir efek, tetapi juga bisa sebaliknya. Ini adalah dasar dari pendekatan pembangunan. Pendekatan ini diadopsi di sini, bersamaan dengan pelajaran yang diambil dari berbagai upaya komunikasi.
Konsep yang sesuai dengan teori di atas adalah Andi Faisal Bakti (2000) tentang model penerima yang aktif, menurut Bakti, pendekatan pengembangan menekankan kepada kualitas manusia. "penerimaan-aktif" yang menegaskan bahwa komunikasi manusia terjadi tidak melalui media, di mana peralatan dan teknologi memainkan dalam pembentukan pesan, akan tetapi dalam manusia, adalah jawabannya. pendekatan ini mengakui pentingnya demokrasi.
Analisis pertanyaan di atas memberikan jawaban pertama bahwa, penggunaan konsep komunikasi tanpa melihat kekuatan model komunikasi kreatifitas manusia justru menjadi pemaksaan dan tidak efektif. Kedua, pendukung model komunikasi tidak selalu tahu bagaimana komunikasi bekerja. Beberapa pengembang memahami cara orang-orang yang menjadi sasaran melihat program pembangunan dikembangkan untuk mereka. Ketiga,  Upaya memberi penekanan yang cukup pada faktor manusia, yang menurut model "active-reception”, akibatnya, pentingnya penerima belum dikenali. tujuan mewujudkan masyarakat demokratis belum tercapai.
Sebagai refleksi, kesuksesan komunikasi nampaknya bergantung pada model atau model pembangunan yang diadopsi. Sangat penting untuk memeriksa model perkembangan saat ini, dan untuk menunjukkan kekurangan masing-masing, sebagai langkah pertama menuju pembentukan strategi baru yang lebih dapat diterapkan. Strategi ini sangat diperlukan untuk memfasilitasi penerima dan untuk meningkatkan dan memberdayakan mereka, yang merupakan satu-satunya jenis pemberdayaan yang efektif.



Kata kunci: Unsur Komunikasi, demokrasi, perkembangan komunikasi, kreatifitas manusia
The Role Communication in Addressing Comprehensive Security Issues and Human Factor Characteristics in Indonesia
Oleh Andi Faisal Bakti, Volume 1 Nomor 1 (2014) pp. 109-102.
ABSTRAK
Komunikasi dapat berfungsi untuk meredakan ketegangan di antara berbagai segmen. Akan tetapi isu dugaan penyebaran orang Jawa dan nilai-nilai di seluruh negeri atas nama persatuan di dalam konteks penjajahan sentralisasi adalah salah satu faktor yang paling sering disebut sebagai penyebab ketidakpuasan, menunjukkan kebencian, dan protes oleh orang luar, sebuah situasi yang berkembang biak ketidakamanan dan mengancam negara. Keamanan domestik yang komprehensif, faktor manusia adalah yang paling berpengaruh dalam konflik tersebut.
Pertanyaan mayornya adalah peran komunikasi dalam mendaftarkan isu keamanan komprehensif dan karakteristik faktor manusia di Indonesia? dengan kata lain, siapa aktor dan faktor-faktor penyediaan komprehensif di Indonesia? Sejauh mana peran dari komunikasi serta faktor manusia  (Human factor) dalam menyikapi isu keamanan di Indonesia?
Makalah ini menyatakan bahwa kurangnya keamanan manusia secara komprehensif dan karakteristik faktor manusia menjadi dasar ketidakamanan negara. Konflik yang terjadi di Indonesia tidak bisa diselesaikan hanya dengan militer dan pemerintahan sendiri, karakteristik komunikasi dan faktor manusia yang lemah menjadi penyebab utama sulitnya meredam konflik di berbagai daerah di Indonesia.
Secara aplikatif, penelitian ini menganalisis dengan menggunakan perspektif human factor studies, Adjibolosoo (2000: 1-32). Dalam perspektif ini terdapat dua unsur penting, yakni  personality characteristics dan dimensions of human performance. Teori personality characteristics menunjukkan faktor manusia yang menimbulkan perilaku, dan tindakan tertentu. Sedangkan dimensions of human performance menunjukkan dimensi kinerja manusia yang terpengaruhi oleh dan untuk institusi sosial, ekonomi, dan politik yang berfungsi seiring berjalannya waktu.
Konsep yang relevan dari Andi Faisal Bakti menggunakan teori peran. Menurut konsep ini, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Konsep ini menyangkut konsep sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap sebagian kegiatan sehari-hari menjadi pemeran dalam kategori sosial.
               Analisis ini memberikan jawaban pertama, aktor dan faktor penyedia komprehensif di Indonesia yaitu keamanan Muslim Beragama-Non-Muslim, pribumi-sentralisasi atau dominasi jawa, kelompok keagamaan-proses sekularisasi, modernisasi-tradisionalis, dan gender-maskulinisasi. Kedua, Peran dari komunikasi dan faktor manusia sebagai solusi yang bisa diterapkan yakni referendum, federasi, dialog dan negosiasi agama, kebijakan ekonomi baru, menghentikan fungsi ganda militer dan pendekatan neo-modernis.
Sebagai refleksi komunikasi dapat berfungsi untuk meredakan ketegangan di antara berbagai segmen ini. Dialog dan kegiatan bersama di antara beragam institusi keagamaan dapat memainkan peran sentral dalam hal ini. Nilai komunikasi manusia ini perlu terus dikomunikasikan oleh orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap masalah keamanan komprehensif dan karakteristik faktor manusia. Mengomunikasikan dan pembelajaran karakteristik human factor akan berkontribusi pada pencapaian sebuah solusi meski membutuhkan waktu yang lama.
Kata kunci: human factor, karakteristik komunikasi, keamanan negara, konflik

Komentar

Posting Komentar