Budaya Hijrah di Media Sosial Instagram


ABSTRAK
Budaya Hijrah di Media Sosial Instagram

Semenjak semangat purifikasi agama hidup kembali, semangat hijrah di kalangan pemeluk agama seperti menemukan momentumnya sendiri. Dalam kajian agama istilah hijrah adalah salah satu bentuk perubahan dalam pengamalan agama, baik berupa sikap, perilaku, berpindah tempat atau lingkungan sosial. Akan tetapi, hijrah pada beberapa kelompok hanya dipahami lebih ke arah simbolik: bagi laki-laki berjanggut tebal panjang dan bercelana cingkrang; bagi perempuan berjilbab panjang lebar dan bercadar. Berhadapan dengan budaya ber’media sosial’, fenomena berpakaian ala ‘hijrah’pun marak ditemui di media sosial, terutama instagram, salah satu aplikasi yang paling banyak digandrungi remaja dan dewasa, hijrah yang hakikatnya ibadah pribadi justru hanya dipahami sebagai budaya baru yang popular untuk mengidentitaskan idealitas kesalehan.
Berdasarkan konteks di atas, kemudian muncul pertanyaan mayor dan minor. Adapun pertanyaan mayornya adalah bagaimana budaya hijrah membentuk identitas ideologis kesalehan di media sosial instagram? minornya adalah apakah yang dimaksud dengan budaya hijrah di media sosial instagram? Mengapa media sosial instagram dijadikan alat untuk mempresentasikan simbol hijrah sebagai tolok ukur kesalehan? Sejauh mana identitas ideologis kesalehan dibentuk melalui media sosial intagram?
Perspektif teori yang digunakan adalah Ideologies and Power, yang menjelaskantentang ideologidan kekuatannya yang dikaji oleh beberapa aspek, yakni; Discourses dan lived cultures; (Gill Branston and Roy Stafford, 2003: 117)
Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, bahwasanya diantara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah dzuhurul qalam (tersebarnya pena/tulisan), menurut jumhur ulama, hal ini bisa dikaitkan dengan dakwah di media sosial. Dakwah dan hijrah, Islam melarang perbuatan yang merujuk kepada syirik kecil, yakni sifat riya’ (sombong), sum’ah (ingin didengar), dan ujub (membanggakan diri), terkait fenomena di atas, konsep ini akan menganalisis bagaimana Islam memandang budaya menampakkan hijrah di media sosial.
Makalah ini hendak menganalisis budaya memposting hijrah yang dianggap sebagai bentuk identitas ideologis kesalehan di media sosial instagram yang dikaji oleh teori Ideologies and Power, serta konsep Islam guna mengkaji bagaimana pandangan Islam melihat fenomena tersebut.
Kata kunci: Budaya popular, Ideologi, Fenomena hijrah, Media sosial instagram, Identitas Kesalehan







Budaya Hijrah di Media Sosial Instagram

Pendahuluan
1.      Latar belakang
Rekapitulasi pengguna internet terutama media sosial pada tahun 2016 menghasilkan sebuah fakta bahwa tercatat 108,6 juta orang dari 256,2 juta orang di Indonesia perharinya menggunakan media sosial untuk mengakses dan menyebarkan konten agama,  tentunya hal ini merupakan angka yang fantastis dengan presentase pengguna tertinggi adalah mahasiswa yakni 89,7 %.
Publik kini bebas memilih dan menikmati tayangan ataupun bacaan di berbagai media. Kebebasan ini bagaikan sebuah representasi hak otonom publik untuk memilih bentuk sajian media yang mereka sukai. Namun di balik itu, kita lupa dengan terjadinya ‘penyeragaman’ dalam konten itu sendiri. Contoh sederhana adalah konten dalam instagram untuk mempresentasikan kesalehan. konten yang berisi simbol hijrah untuk mempresentasikan kesalehanterus menerus berpotensi menggiring pengguna media sosial lainnya atau pengikutnya untuk ‘harus’ mengikuti standar-standar nilai yang disematkan.
Ketika melihat beranda media sosial instagram yang berisi konten hijrah, maka hijrah akan ditemukan secara simbolik: bagi laki-laki berjanggut tebal panjang dan bercelana cingkrang; bagi perempuan berjilbab panjang lebar dan bercadar, dan hal adalah nilai yang disampaikan kepada pengikut (followers) bahwa penampilan seperti demikian yang ideal untuk dikatakan saleh atau salehah (Ideologies kesalehan). Semua ini tentu tidak lepas dari sentuhan fenomena dan cultural-ideologis tertentu di balik penyajian tersebut.
Pada zaman dahulu, istilah hijrah  tidak seramai digunakan seperti sekarang, di media sosial bisa dilihat menjamurnya istilah hijrah yang mengesampingkan nilai-nilai hijrah itu sendiri, konteks hijrah makaniyah atau hijrah teritorial. Kedua, Hijrah Nafsiyah, perpindahan secara spiritual dan intelektual dari kekafiran kepada keimanan. Ketiga, Hijrah Amaliyah, perpindahan perilaku dan perbuatan seperti perpindahan dari perilaku jahiliyah kepada perilaku / akhlaq Islam atau meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah kepada yang diperintahkan dan diridhai-Nya. Makna yang terkandung dalam Hijrah Nabi Muhammad SAW terdapat reformasi individual (spiritual-moral), reformasi sosio-kultural dan reformasi struktural. Hijrah yang sejatinya adalah tentang perpindahan pribadi seseorang dari masa lalu ke masa sekarang yang lebih baik secara agama justru hanya dipahami secara simbolik; bagi laki-laki berjanggut tebal, panjang dan bercelana cingkrang; dan berjilbab panjang lebar serta cadar bagi perempuan. Sehingga penyebutan seseorang dikatakan sudah hijrah jika sudah berpenampilan yang demikian.
Di media sosial yang sifatnya terbuka bisa ditemukan banyaknya seseorang yang menyebutkan dirinya hijrah dengan memposting beberapa gambar hijrahnya, gambar penampilannya, gambar kajiannya,  dll. Hal ini tentunya  justru dikhawatikan menimbulkan sifat riya’, ujub dan sum’ah. Sehingga eksistensi hijrah seolah lebih penting dari hakikat hijrah itu sendiri.
Fenomena penyeragaman postingan hijrah ini bisa dilihat dari banyaknya akun yang mengatasnamakan pribadi atau kelompok yang memposting foto selfie perempuan bercadar dan postingan selfie laki-laki berjanggut tebal dengan diimbuhi caption dakwah dan hijrah, padahal bisa menggunakan gambar lain untuk membagikan dakwahnya yang tentunya tidak condong ke arah riya’ sum’ah dan ujub. Sehingga tidak berbanding terbalik dengan hakikat agama yang menyari’atkan untuk tidak menonjolkan diri tersebut, dan tidak menyebabkan munculnya anggapan ‘hijrah yang palsu’.
Berangkat dari fenomena hijrah yang marak di media sosial instagram yang banyak menggunakan aspek popular sebagai bentuk untuk menunjukkan idealitas dan identitas saleh salehah inilah maka makalah ini dibatasi untuk membahas tentang budaya hijrah: pembentukan identitas ideologis kesalehan di media sosial instagram.


2.      Kajian teori Ideologies and Power
Konsep ideologi merupakan kunci dari studi media, mengandung nilai, ideologi atau gagasan, dan mengesampingkan posisi politik praktis.  Kekuatan ideologi tergantung kepada kualitas tiga dimensi yang terdapat dalam ideologi tersebut, yaitu sebagai berikut.
a.       Kumpulan gagasan yang memberi beberapa catatan tentang dunia sosial, biasanya bersifat parsial dan selektif.
b.      Hubungan ide atau nilai merupakan jalan kekuatan kontribusi sosial
c.       Cara di mana nilai dan makna semacam itu biasanya diajukan secara alami dan jelas daripada disesuaikan secara sosial dengan atau melawan kelompok kekuatan tertentu. [1]
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut secara riil hidup di dalam dan bersumber dari budaya dan pengalaman sejarah masyarakat atau bangsanya. Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme yang memberikan harapan masa depan yang lebih baik melalui pengalaman di dalam praktik kehidupan sehari-hari secara bersama-sama. Ideologi tersebut mempunyai keluwesan yang merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan ideologi yang bersangkutan tanpa menghilangkan atau meningkari jati diri yang terkandung pada nilai-nilai dasar tersebut.
 
1)      Discourses and lived cultures;
Studi wacana budaya adalah paradigma wacana dan studi komunikasi yang muncul yang ditandai oleh keprihatinan mendalam terhadap keragaman, pembagian dan pengembangan budaya manusia. Gerakan sains budaya ini memanifestasikan dirinya dalam bentuk partisipasi ilmuwan yang beragam secara budaya, terutama dari dunia yang berkembang, orientasi umum terhadap dekolonisasi wacana manusia, dan, khususnya pada perkembangan budaya sadar dan kritis, pendekatan berbasis lokal dan berpikiran global, terhadap komunikasi manusia.[2]
Paradigma multikultural ini berasal dari asumsi dasar bahwa komunikasi manusia kontemporer adalah situs kontestasi budaya, kerjasama, dan transformasi. dan karenanya berusaha mendekonstruksi etnosentrisme dalam wacana dan penelitian komunikasi, mengembangkan dan mempraktekkan kerangka kerja yang sensitif secara budaya untuk mempelajari wacana manusia, terutama di negara berkembang, dan untuk mendorong dialog antar budaya dan perdebatan intelektual, semua dengan maksud untuk meningkatkan koeksistensi budaya manusia, harmoni dan kemakmuran. Pencapaian signifikan telah dilakukan pada tingkat filosofis, teoretis, metodologis dan topikal tingkat wacana dan studi komunikasi.

3.      Konsep Metodologis (Kajian budaya hijrah di media sosial instagram dilihat dari perspektif teori Ideologies and Power)
Tantangan yang dihadapi umat Islam dalam hal modernitas, telah mendorong banyak pemikir muslim untuk merenungkan kembali mengenai segi-segi dinamis dari agama. Salah satunya adalah mencoba menafsirkan kembali etos dinamis dalam peristiwa hijrah, dalam konteks globalisasi yang dihadapi seluruh umat dewasa ini.
Dalam kajian kekuatan ideologi, budaya hijrah di media sosial instagram terbentuk karena menjamurnya pengguna aktif media sosial instagram yang tertarik mengikuti popularitas pengguna akun yang berhijrah, hal ini tentu menarik dan baik, akan tetapi popularitas tersebut dianggap hanya trend dan meninggalkan nilai-nilai hijrah jika melakukan sesuatu yang justru bertentangan dengan hakikat hijrah.
Nilai membentuk norma, yaitu aturan-aturan baku tentang perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap anggota suatu unit sosial sehingga ada sanksi negatif dan positif. Norma dibangun atas nilai sosial dan norma sosial diciptakan untuk mempertahankan nilai sosial. Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk.[3]
Nilai nilai yang diperoleh dari fenomena postingan simbol simbol hijrah menjadi simbol baku dalam mengidentitaskan ideologies kesalehan di media sosial instagram, menjadi nilai positif dan aturan-aturan absolut tentang hijrah dan kesalehan, kumpulan gagasan-gagasan tentang postingan dakwah melalui hijrah seakan-akan telah melakukan kesepakatan-kesepakatan sehingga sadar tidak sadar telah membentuk ideologies tentang identitas kesalehan yang ideal yang dibungkus dalam postingan hijrah.

1)      Discourses and lived cultures;
Wacana popular, fenomena simbol hijrah, kreasi, pola pikir atau ideologi yang berkembang dan membentuk kebudayaan baru untuk mempresentasikan kesalehan di media sosial instagram. (Gill Branston and Roy Stafford, 2003: 117)
Keberagamaan umat Islam di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami yang cukup signifikan. Tahun 1990-an ke bawah, tidak banyak masyarakat muslimah Indonesia yang mengenakan jilbab dan hijab. Apalagi cadar. Tapi, saat ini muslimah Indonesia yang berjilbab, berhijab, dan bahkan bercadar semakin marak.
Secara umum ada perubahan pola keberagamaan masyarakat Indonesia. Perubahan itu belum tentu substantif, tetapi perubahan itu kelihatan dari sisi luarnya dan kemasannya. Sekarang, simbol-simbol Islam itu semakin jelas. Simbol-simbol tersebut belum tentu mencerminkan kualitas kesalehan masyarakatnya. Dulu jilbab jarang dipakai orang, tetapi sekarang banyak sekali yang memakai jilbab.
Televisi, media cetak, dan maraknya media-media sosial, terutama instagram telah membantu untuk memperlihatkan perubahan-perubahan tersebut. Dan itu mau tidak mau juga ikut mempengaruhi perilaku umat Islam Indonesia. Ada yang sekedar ikut tren karena jilbab menjadi tren. Meskipun ada seseorang yang berubah karena kesadaran dan keyakinan bahwa itu adalah bagian dari ajaran Islam.
Di instagram postingan terkait simbol-simbol hijrah pun sangat lumrah ditemukan, konten yang berisi simbol hijrah untuk mempresentasikan kesalehan terus menerus berpotensi menggiring pengguna media sosial lainnya atau pengikutnya untuk ‘harus’ mengikuti standar-standar nilai yang disematkan.hijrah yang hakikatnya ibadah pribadi justru hanya dipahami sebagai budaya baru yang popular untuk mengidentitaskan idealitas kesalehan.

Pembentukan Identitas Ideologis Kesalehan
(Studi Kasus Budaya Hijrah di Media Sosial Instagram)
A.    Pengertian Hijrah
Hijrah dapat dimaknai Islam pertama konteks hijrah makaniyah atau hijrah teritorial. Kedua, Hijrah Nafsiyah, perpindahan secara spiritual dan intelektual dari kekafiran kepada keimanan. Ketiga, Hijrah Amaliyah, perpindahan perilaku dan perbuatan seperti perpindahan dari perilaku jahiliyah kepada perilaku / akhlaq Islam atau meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah kepada yang diperintahkan dan diridhai-Nya. Makna yang terkandung dalam Hijrah Nabi Muhammad SAW terdapat reformasi individual (spiritual-moral), reformasi sosio-kultural dan reformasi struktural.
Dalam kajian agama istilah hijrah adalah salah satu bentuk perubahan dalam pengamalan agama, baik berupa sikap, perilaku, berpindah tempat atau lingkungan sosial. Pada zaman sekarang ideologi atau gagasan tentang hijrah tampaknya mulai bergeser, pemaknaan hijrah dewasa ibi lebih dianggap ke arah simbolik, bagi laki-laki berjanggut tebal panjang dan bercelana cingkrang; bagi perempuan berjilbab panjang lebar dan bercadar.

B.     Media Sosial Instagram
/me·dia/ /média/ n (1) / alat; (2) alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk; (3) yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dan sebagainya): wayang bisa dipakai sebagai pendidikan; (4) perantara; penghubung; (5) zat hara yang mengandung protein,karbohidrat, garam, air, dan sebagainya baik berupa cairan maupun yang dipadatkan dengan menambah gelatin untuk menumbuhkan bakteri, sel, atau jaringan tumbuhan.[4]
Sedangkan sosial berarti so·si·al/ (1) berkenaan dengan masyarakat: perlu adanya komunikasi -- dalam usaha menunjang pembangunan ini; (2) cak suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma, dan sebagainya).[5]
Dalam berbagai situs ensiklopedia disebutkan bahwa Media Sosial adalah individu atau organisasi yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain-lain. Analisis jaringan sosial memandang hubungan sosial sebagai simpul dan ikatan. Simpul adalah aktor individu dalam jaringan, sedangkan ikatan adalah hubungan antar aktor tersebut. Penelitian dalam berbagai bidang akademik telah menunjukan bahwa jaringan sosial beroperasi pada banyak tingkatan, mulai dari keluarga hingga negara, dan memegang peranan penting dalam menentukan dan memecahkan masalah, menjalankan organisasi, serta derajat keberhasilan individu dalam mencapai tujuannya.[6]
Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan media sosial, termasuk milik Instagram sendiri.[7]
Instagram berasal dari pengertian dari keseluruhan fungsi aplikasi ini. Kata "insta" berasal dari kata "instan", seperti kamera polaroid yang pada masanya lebih dikenal dengan sebutan "foto instan". Instagram juga dapat menampilkan foto-foto secara instan, seperti polaroid di dalam tampilannya. Sedangkan untuk kata "gram" berasal dari kata "telegram" yang cara kerjanya untuk mengirimkan informasi kepada orang lain dengan cepat. Sama halnya dengan Instagram yang dapat mengunggah foto dengan menggunakan jaringan Internet, sehingga informasi yang ingin disampaikan dapat diterima dengan cepat. Oleh karena itulah Instagram merupakan gabungan dari kata instan dan telegram.
Dalam konteks ini, instagram dalam hal ini adalah objek yang digunakan dalam menganalisis budaya hijrah di dalamnya, salah satu bentuk dukungan terhadap yang sudah berhijrah -misalnya dari yang belum berkerudung sekarang sudah berkerudung (walaupun mungkin belum bisa dikatakan syar'i) - adalah dengan tidak menyebarkan gambar atau video semasa dia belum berhijrah dulu. Ini mungkin remeh, tapi tidak bagi orang yang sedang belajar/ingin berhijrah tersebut. Apalagi di media sosial instagram bisa dilihat postingan sebelumnya untuk meninjau momen-momen yang pernah dibagikan bertahun silam saat sebelum hijrah.

C.     Proses hijrah di media sosial instagram
Proses hijrah di media sosial  dipahami secara simbolik, mempresentasikan simbol-simbol hijrah untuk merepresentasikan identitas. Jika sudah memposting simbol-simbol hijrah, maka sering dikatakan sudah saleh. Hijrah di media sosial instagram menjadi popular sehingga menjadi budaya baru untuk menjelaskan ideologis identitas kesalehan. Seakan-akan identitas kesalehan dibentuk mengikuti popularitas yang berkembang.
Dalam pandangan ilmu psikologi, nama atau simbol tertentu akan memberi inspirasi bahkan makna sugestif kepada seseorang. Maka, nama atau kata ‖hijrah‖ pun memberikan kesan untuk menggerakkan setiap muslim agar selalu ada dinamika dalam hidupnya. Banyak isyarat dalam al-Qur‘an maupun hadis yang menyatakan demikian : ‖Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka mengharap rahmatNya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan dari perilaku kotor (jelek), maka tinggalkanlah. Hakekat hijrah adalah meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.



Budaya Hijrah di Media Sosial Instagram

1.      Budaya Hijrah Di Media Sosial Instagram
Pada zaman dahulu, istilah hijrah  tidak seramai digunakan seperti sekarang, di media sosial bisa dilihat menjamurnya istilah hijrah yang mengesampingkan nilai-nilai hijrah itu sendiri, konteks hijrah makaniyah atau hijrah teritorial. Kedua, Hijrah Nafsiyah, perpindahan secara spiritual dan intelektual dari kekafiran kepada keimanan. Ketiga, Hijrah Amaliyah, perpindahan perilaku dan perbuatan seperti perpindahan dari perilaku jahiliyah kepada perilaku / akhlaq Islam atau meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah kepada yang diperintahkan dan diridhai-Nya. Makna yang terkandung dalam Hijrah Nabi Muhammad SAW terdapat reformasi individual (spiritual-moral), reformasi sosio-kultural dan reformasi struktural. Hijrah yang sejatinya adalah tentang perpindahan pribadi seseorang dari masa lalu ke masa sekarang yang lebih baik secara agama justru hanya dipahami secara simbolik; bagi laki-laki berjanggut tebal, panjang dan bercelana cingkrang; dan berjilbab panjang lebar serta cadar bagi perempuan. Sehingga penyebutan seseorang dikatakan sudah hijrah jika sudah berpenampilan yang demikian.
Dominasi masyarakat muslim di Indonesia menjadikan peluang yang besar untuk memasarkan produk dan disesuaikan dengan kebutuhan muslim, kelas dominan ini lantas dipandang sebagai bagian dari arena ideologis di mana berbagai kalangan yang sedang berjuang menjadi daya tarik tersendiri. Dakwah yang awalnya di mimbar menjadi luas seiring perkembangan media. Semangat purifikasi agama pun hidup kembali, semangat hijrah di kalangan pemeluk agama seperti menemukan momentumnya sendiri. Lantas pegiat hijrah pun mulai bermunculan, tentunya menjadi kabar baik bagi umat Islam memandang fenomena tersebut, berhadapan dengan media sosial, kontrol pemikiran tentang hijrah pun semakin terkonsentrasi dan dimonopoli media profesional, sambil menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma yang menginternalisasikan budaya yang dominan, lantas bermunculan dan menjamur online shop dan toko toko yang menawarkan hijab syar’i, celana anti isbal, penumbuh janggut, endorse pakaian ala hijrah di instagram, dll.
Budaya hijrah di media sosial instagram terbentuk karena menjamurnya pengguna aktif media sosial instagram yang tertarik mengikuti popularitas pengguna akun yang berhijrah, hal ini tentu menarik dan baik, akan tetapi popularitas tersebut dianggap hanya trend dan meninggalkan nilai-nilai hijrah jika melakukan sesuatu yang justru bertentangan dengan hakikat hijrah.

2.      Media Sosial Instagram; Alat Untuk Mempresentasikan Simbol Hijrah Yang Dianggap Sebagai Tolok Ukur Kesalehan
Publik kini bebas memilih dan menikmati tayangan ataupun bacaan di berbagai media. Kebebasan ini bagaikan sebuah representasi hak otonom publik untuk memilih bentuk sajian media yang mereka sukai. Namun di balik itu, kita lupa dengan terjadinya ‘penyeragaman’ dalam konten itu sendiri. Contoh sederhana adalah konten dalam instagram untuk mempresentasikan kesalehan. konten yang berisi simbol hijrah untuk mempresentasikan kesalehanterus menerus berpotensi menggiring pengguna media sosial lainnya atau pengikutnya untuk ‘harus’ mengikuti standar-standar nilai yang disematkan.
Nilai membentuk norma, yaitu aturan-aturan baku tentang perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap anggota suatu unit sosial sehingga ada sanksi negatif dan positif. Norma dibangun atas nilai sosial dan norma sosial diciptakan untuk mempertahankan nilai sosial. Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk.[8]
Nilai nilai yang diperoleh dari fenomena postingan simbol simbol hijrah menjadi simbol baku dalam mengidentitaskan ideologies kesalehan di media sosial instagram, menjadi nilai positif dan aturan-aturan absolut tentang hijrah dan kesalehan, kumpulan gagasan-gagasan tentang postingan dakwah melalui hijrah seakan-akan telah melakukan kesepakatan-kesepakatan sehingga sadar tidak sadar telah membentuk ideologies tentang identitas kesalehan yang ideal yang dibungkus dalam postingan hijrah.

3.      Identitas Ideologis Kesalehan Yang Dibentuk Melalui Media Sosial Intagram
Di media sosial yang sifatnya terbuka bisa ditemukan banyaknya seseorang yang menyebutkan dirinya hijrah dengan memposting beberapa gambar hijrahnya, gambar penampilannya, gambar kajiannya,  dll. Hal ini tentunya  justru dikhawatikan menimbulkan sifat riya’, ujub dan sum’ah. Sehingga eksistensi hijrah seolah lebih penting dari hakikat hijrah itu sendiri.
Fenomena penyeragaman postingan hijrah ini bisa dilihat dari banyaknya akun yang mengatasnamakan pribadi atau kelompok yang memposting foto selfie perempuan bercadar dan postingan selfie laki-laki berjanggut tebal dengan diimbuhi caption dakwah dan hijrah, padahal bisa menggunakan gambar lain untuk membagikan dakwahnya yang tentunya tidak condong ke arah riya’ sum’ah dan ujub. Sehingga tidak berbanding terbalik dengan hakikat agama yang menyari’atkan untuk tidak menonjolkan diri tersebut, dan tidak menyebabkan munculnya anggapan ‘hijrah yang palsu’.Ketika melihat beranda media sosial instagram yang berisi konten hijrah, maka hijrah akan ditemukan secara simbolik: bagi laki-laki berjanggut tebal panjang dan bercelana cingkrang; bagi perempuan berjilbab panjang lebar dan bercadar, dan hal adalah nilai yang disampaikan kepada pengikut (followers) bahwa penampilan seperti demikian yang ideal untuk dikatakan saleh atau salehah (Ideologies kesalehan). Semua ini tentu tidak lepas dari sentuhan fenomena dan cultural-ideologis tertentu di balik penyajian tersebut.

Bibiliografi

Anwar, Y. & Adang, (2013) Sosiologi Untuk Universitas. Bandung: Refika Aditama.
Budi Winarno, (2017) Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Gill Branston and Roy Stafford, (2003) The Media Student’s Book, USA: Routledge.
John Lechte, (2001)50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius.

http://kbbi.web.id/media (Diakses Februari 2016)
http://kbbi.web.id/sosial (Diakses Februari 2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Instagram diakses pada 23 Maret 2016










[1] Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book, (USA: Routledge, 2003), hlm. 117.
[2] Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book, (USA: Routledge, 2003), hlm. 125-126.
[3] Anwar, Y. & Adang, Sosiologi Untuk Universitas. (Bandung: Refika Aditama.  2013). Hlm. 191.
[4]http://kbbi.web.id/media (Diakses Februari 2016)
[5]http://kbbi.web.id/sosial (Diakses Februari 2016)
[6]Budi Winarno, Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. (Jakarta: Salemba Empat. 2007.)
[7]https://id.wikipedia.org/wiki/Instagram diakses pada 23 Maret 2016
[8] Anwar, Y. & Adang, Sosiologi Untuk Universitas. (Bandung: Refika Aditama.  2013). Hlm. 191.

Komentar