RESUME 12 JURNAL KOMUNIKASI DAN DAKWAH PROF. ANDI FAISAL BAKTI. MA. PH. D Perspektif dan Teori Komunikasi Massa Oleh: Eka Ade Lestari
Paramadina And Its Approach To Culture And
Communication: An Engagement In Civil Society
Oleh Andi Faisal Bakti, Paris, (2004) pp. 315-341
ABSTRAK
Pada tahun 1993, Amien Rais, Ketua PP. Muhamadiyah, menuntut pengunduran
diri Soeharto. Sementara Nurcholis Madjid, membawa Paramadina, memimpin
demonstrasi damai dalam menengahi antara demonstran, organisasi masyarakat
sipil, dan pihak dari Soeharto. Madjid menggandeng Saudillah Mursyid dan Yusril
Ihza Mahendra meminta Soeharto turun dengan damai dan terhormat. Soeharto pun
menerima dan terhindar dari tindakan lebih lanjut dan digantikan oleh Habibie.
Pertanyaan mayornya adalah
bagaimana pendekatan Paramadina terhadap budaya dan komunikasi sebagai bagian
yang dilakukan masyarakat sipil? dengan kata lain, sejauh mana masyarakat sipil (masyarakat madani) dan
Paramadina di dunia melayu: tradisional dan modern? Siapa saja lingkup
masyarakat sipil yang didekati oleh paramadina? Dan bagaimana proses menuju
masyarakat sipil dalam Islam; pendekatan paramadina terhadap perkembangan
budaya?
Penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan terhadap budaya dan komunikasi
yang dilakukan oleh Paramadina memulai sistem demokrasi yang tepat ketik kelas
menengah Indonesia telah ditunjukkan jalan menuju demokrasi. Paramadina mampu
menjadi jembatan dalam pengunduran Soeharto melalui pendekatan komunikasinya
sebagai cerminan dari masyarakat madani atau civil society.
Untuk menganalisis, perspektif teori yang digunakan adalah Civil Society dari John Hall (1995) ia
mendefinisikan civil society sebagai
aktor-aktor di luar pemerintah yang punya cukup kekuatan untuk mengimbangi
negara. Civil society ini, sekalipun
tidak mempersoalkan peran negara sebagai penjamin ketertiban dan kesejahteraan,
berkepentingan untuk mencegah agar negara tidak melakukan dominasi dan
manipulasi terhadap rakyatnya.
Adapun konsep yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dari Nurcholis Madjid (1996). Ia mendifiniskan ulang civil society dengan istilah ‘masyarakat
madani’. Yang diambil dari KH. Sahal Mahfudz tentang mutamaddun, madaniyah (sivilitas). tamaddun
(civilization). Masyarakat ini merujuk kepada masyarakat di Madinah yang
dibentuk Nabi Muhammad dalam “Piagam Madinah”, kepada orang berdasarkan
prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya, keterbukaan
(partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan,
toleransi dan pluralisme serta musyawarah.
Analisis pertanyaan ini memberikan jawaban pertama, bahwa masyarakat Melayu
menerapkan konsep masyarakat sipil adalah masyarakat nuulani yang meneladani konsep Piagam Madinah oleh Rasulullah dan
bukan murni dari barat. Kedua, Pandangan
progresif Madjid tersebar luas di kalangan Parumadina, baik jaringan lslam
Liberal, STAIN/IAIN atau/dan UIN, dan kalangan akademik di seluruh Indonesia. Ketiga, dalam komunikasi dan budaya,
pendekatan menggunakan istilah religius dengan istilah sekuler (toleransi,
demokrasi, sekularisasi) tujuan politik jangka panjang (masyarakat madani atau
komunitas Muslim).
Sebagai refleksi, bahwa masyarakat madani berbeda dengan masyarakat sipil
dalam mempromosikan hak asasi manusia. Masyarakat madani merupakan masyarakat
sipil kontekstualisasi lokal di Indonesia. Muslim hendaknya melihat sesuatu
bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya, keterbukaan (partisipasi seluruh
anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan
pluralisme serta musyawarah.
Kata kunci: Civil society, Masyarakat madani, Nurcholis Madjid, Paramadina,
Komunikasi dan Budaya
Islamic Dakwah in Southeast Asia
oleh Andi Faisal Bakti dalam oxford
journal, (2011) pp. 1-17.
ABSTRAK
Pengenalan Islam melalui dakwah berkembang dengan cara yang berbeda
berbagai negara di Asia Tenggara, dakwah pada dasarnya berarti mengajak untuk
kebaikan dan melarang kepada yang munkar, lebih khusus mendorong kemajuan
muslim dan Islam itu sendiri. Akan tetapi menjadi unik di Asia Tenggara, yang
mana kekuatan kolonial, masing-masing negara terjajah berjuang untuk
kemerdekaan, beberapa negara ini justru menggunakan dakwah untuk persaudaraan
dan solidaritas untuk melawan penjajahan.
Berdasarkan konteks di atas, pertanyaan mayornya adalah bagaimana peran
dakwah Islam di Asia Tenggara? Sedangkan pertanyaan minornya adalah sejauh mana
peran dakwah komunitas muslim di dunia Melayu? Seperti apa peran dakwah sebagai
kekuatan pemersatu dalam memerangi penjajahan di Asia Tenggara? Dan seperti apa
pola dakwah di Asia Tenggara?
Penelitian ini menyatakan bahwa dakwah di Asia Tenggara mampu menjadi media
atau alat pemersatu dalam melawan penjajahan di masing-masing negara-negara di
Asia Tenggara (Dunia Islam Melayu) yang meliputi Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand selatan, selatan Filipina, Kamboja, dan Vietnam. Dengan
pola struktur dakwah yang berbeda mengikuti kebudayan setempat, dakwah mampu masuk dan mengembangkan Islam
di negera tersebut.
Untuk menganalisis penelitian di atas, digunakan Teori peran/role theory melalui empat pendekatan,
yang terdiri atas perilaku peran, pelaku peran, kedudukan orang yang berperan,
serta kaitan antara orang dan perilaku.
Adapun konsep yang digunakan Andi Faisal Bakti dalam penelitian ini adalah konsep peran dakwah
di komunitas muslim di dunia Melayu. Hal ini berkaitan dengan kelompok etnis
yang berbeda wilayah mencoba untuk menggabungkan komunitas mereka untuk visi
yang sama. Dakwah adalah hal yang universal bagi muslim, sehingga dakwah sebagai kekuatan
pemersatu melawan penjajah, dakwah dalam gerakan dan pers, dakwah sebagai
ajaran Islam. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan yang dilakukan bukan hanya
semata-mata untuk penyebaran agama Islam. Melainkan untuk pemersatu antar umat
Islam di belahan wilayah lainnya.
Analisis penelitian ini memberikan jawaban pertama, peran dakwah di Asia Tenggara menciptakan persaudaraan dan
solidaritas untuk melawan penjajahan dengan menumbuhan peradaban Islam. Kedua, identitas baru masyarakat majemuk
yang dibuat oleh pemerintah kolonial justru disatukan melalui dakwah oleh
kelompok etnis yang berbeda wilayah yang luas dan populasi besar datang untuk
menggabungkan komunitas mereka di dunia Melayu. Ketiga, sistem pendidikan Islam tidak hanya mencakup sekolah
tradisional pesantren dan sekolah sekuler, tetapi juga pendidikan informal yang
disebut pengajian atau majelis taklim di Indonesia, atau syarahan (komentar)
atau bayan (penjelasan) di Thailand, Malaysia, Vietnam dan Kamboja).
Sebagai refleksi dakwah pada dasarnya mengajak kepada yang makruf dan
mencegah pada yang munkar. Guna mendorong muslim di belahan dunia. lebih khusus
mendorong kemajuan muslim dan Islam itu sendiri. Di Asia Tenggara,
masing-masing negara terjajah berjuang untuk kemerdekaan, beberapa negara ini
menggunakan dakwah untuk persaudaraan dan solidaritas untuk melawan penjajahan.
Setelah kemerdekaan, dakwah menjadi instrumen untuk pembangunan dan kelompok
belajar agama muncul di kalangan kelas menengah, menarik pria dan wanita
dewasa, pemuda.
Kata kunci: Dakwah, Asia Tenggara, Islam, Penjajahan, Reformis
Major Conflicts In Indonesia: How Can
Communication Contribute to a Solution
Oleh Andi Faisal Bakti dalam Jurnal Human
Factor Studies, Volume 6, nomor 02 (2000), pp. 33-56.
ABSTRAK
Konflik horizontal yang terjadi antarsuku, agama,
ras, golongan dan sejumlah fenomena budaya lainnya, serta konflik vertikal
antarmasyarakat dengan pemerintah, menyebabkan kekerasan di berbagai daerah di Indonesia,
dalam hal ini komunikasi sangat diperlukan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan, demokrasi, kemanusiaan dan pluralisme dalam pergaulan di masyarakat
yang mempunyai latar belakang kultural yang beragam.
Pertanyaan mayornya adalah bagaimana komunikasi
karakteristik integritas manusia di Indonesia dalam meredakan konflik
horisontal antar budaya, agama dan politik? Dengan kata lain, siapa aktor yang
berperan dalam memperebutkan kekuasaan untuk meredamkan konflik ini? Sejauh
mana peran komunikasi dan karakteristik integritas manusia dalam menghadapi
konflik horizontal di Indonesia? Seperti apa intregitas manusia yang bisa
diiterapkan sebagai solusi untuk menyatukan lndonesia dalam pilar ‘Bhinneka
Tunggal lka’?
Penelitian ini menyatakan bahwa konflik
horizontal yang terjadi antarsuku, agama, ras, golongan dan sejumlah fenomena
budaya lainnya di Indonesia belum bisa diredakan secara sepihak oleh pemerintah
melalui gagasan nasionalisme yang dibangun, pembedaan kaum yang diprakarsai
oleh Belanda masih berlangsung selama berabad-abad 17-20 dan mewarnai sampai
hari ini pada lingkup kehidupan religius, sosial dan politik di seluruh Indonesia.
Secara aplikatif, kajian ini menerapkan
perspektif teori antropologi, Barth (1969), pertama,
pandangan primordialis. Perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti
suku, ras (dan juga agama) yng mengakibatkan benturan-benturan kepentingan
etnis maupun agama. Kedua pandangan
instrumentalis, suku, agama dan identitas lain dianggap sebagai alat yang
digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik
dalam bentuk materiil maupun non-materiil. Ketiga,
konstruktivis, identitas kelompok tidak bersifat kaku sehingga bisa diolah
hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial.
Konsep yang relevan dengan teori ini adalah dari
Andi Faisal Bakti (2004) juga mengemukakan adanya tiga model, yaitu kulturalis,
komunikasionis, dan peace recognitionist
(pengakuan akan perdamian dan kedamaian). Pandangan pertama dan kedua Barth di
atas, masuk dalam kategori pandangan pertama Bakti, sedangkan pandangan Barth
yang ketiga mirip dengan pandangan Bakti yang ke dua. Namun, Barth tidak
menyinggung aspek ke tiga dalam pandangan Bakti.
Analisis pertanyaan di atas memberikan jawaban pertama, aktor dan kekuasaan yang
berperan adalah ulama melalui dakwahnya, sentralisasi dan penjajahan, kekuatan
militer, pebisnis yang memiliki kuasa, paham sekuler, konsep modernisasi dan
paham maskulinisasi. Kedua,
integritas manusia paling kuat sejauh ini terbentuk karena faktor agama,
konflik terkuat pun masalah agama, sehingga permasalahan kembali diselesaikan
dengan ajaran agama masing-masing di Indonesia. Ketiga, mentalitas manusia sebagai spektrum karakteristik
kepribadian positif berfungsi di berbagai segmen kehidupan institusi sosial,
ekonomi dan politik.
Sebagai refleksi, pluralisme dan konflik
horizontal bisa ditemui di mana saja dan kapan saja di berbagai daerah.
Karakteristik integritas manusia berasosiasi dengan sesama manusia, sangat
penting bagi setiap orang untuk merenungkan dan menciptakan budayanya sendiri.
Kata kunci: Komunikasi, Kekerasan, Integritas,
Budaya, Politik
Islam and Modernity: Nurcholish
Madjid's Interpretation of Civil Society, Pluralism, Secularization, and Democracy
Oleh Andi Faisal Bakti dalam Asia
Journal of Social Science, Volume 33, nomor 3 (2005), pp. 486-505.
ABSTRAK
Perdebatan tentang penerapan konsep barat
“modern” masyarakat sipil, pluralisme, sekularisasi dan demokrasi berkembang
pesat sejak tahun 1970an di Indonesia. Khususnya sejak munculnya Nurcholish
Madjid. Pada tahun 1980, melalui Yayasan Paramadina, Majdid, mengembangkan
gagasannya sendiri tentang masyarakat sipil. Madjid adalah salah juaranya dalam
menggagas “Neo-Modernisme” di Indonesia, karena gagasan “modernisme” dan
“tradisionalisme” ini digabungkan saat relevan dan sesuai untuk masyarakat.
Berdasarkan konteks di atas, pertanyaan mayornya
adalah bagaimana Majdid menafsirkan tentang konsep masyarakat sipil,
pluralisme, sekularisasi dan demokrasi sebagai wacana utama? Sedangkan
pertanyaan minornya adalah bagaimana cara mendefinisikan dan mempercepat jalan
bagi pembangunan Islam di Indonesia? pendekatan apa yang digunakan Majdid?
Penelitian ini menyatakan bahwa dalam perjalanan
menuju pencapaian masyarakat madani (masyarakat sipil) Madjid melalui konsep yang dikembangkannya lewat Paramadina
yakni tentang inklusivisme, pluralisme, integralisme, toleransi dan demokrasi nampaknya belum mampu mempromosikan
nilai-nilai kemanusiaan lokal dan global, hubungan internasional dan
komunikasi. Madjid juga terbatas pada nasionalisme Indonesia,
tidak terbuka terhadap partikular maupun globalisme pluralisme.
Untuk menganalisis, perspektif teori yang
digunakan adalah Civil Society dari
John Hall (1995) ia mendefinisikan civil
society sebagai actor-aktor di luar pemerintah yang punya cukup kekuatan
untuk mengimbangi negara. Civil society
ini, sekalipun tidak mempersoalkan peran negara sebagai penjamin ketertiban dan
kesejahteraan, berkepentingan untuk mencegah agar negara tidak melakukan
dominasi dan manipulasi terhadap rakyatnya.
Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dari Nurcholis Madjid (1996). Ia mendifiniskan ulang civil society dengan istilah ‘masyarakat
madani’. Masyarakat ini merujuk kepada masyarakat di Madinah yang dibentuk Nabi
Muhammad SAW dalam “Piagam Madinah”, yang memiliki ciri utama yaitu egalitarianism atau penghargaan kepada
orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya,
keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan
keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah.
Analasis penelitian ini memberikan jawaban bahwa pertama, pendekatan humanistik dan
global - seperti yang dikemukakan oleh pendekatan komunikasi terhadap
pembangunan manusia dapat berkontribusi pada emansipasi warga setempat, dari
nasionalisme paroki dan terpusat yang dipegang oleh banyak pemimpin Indonesia. Kedua,
pendekatan budaya dan nasionalistik dalam semangat juang nasionalisme Indonesia,
yang mana dapat memberi kontribusi pada kristalisasi budaya, partikularisme,
lokalisme dan pertentangan.
Sebagai refleksi, berpikir secara global dan
bertindak secara lokal bisa menjadi kekuatan yang membebaskan semua orang.
Madjid lewat Paramadia berusaha mempromosikan utivensalisme (kebenaran sejati
dan nilai-nilai), karena bagaimana pun, gagasannya mungkin akan berkontribusi
dalam memecahkan konflik antara nasionalis sekuler dan Pemuka agama Islam di Indonesia,
Kata Kunci: Islam, Modernitas, Nurcholish Madjid,
Pluralisme, Paramadina, Demokrasi.
The Role of Islamic Media In The
Globalization Era; Between Religious Principles And Values Of Globalization,
Chalkenges, and Opportunities
Oleh Andi Faisal Bakti dalam The
2nd International Conference on Islamic Media (2011), pp. 1-15.
ABSTRAK
Islam adalah agama yang penuh dengan
prinsip, berasal dari etika, moral, hukum, mistik dan ajaran filsosofis. Lebih
dari milyaran pengkutnya dari berbagai belahan dunia. mereka mempunyai pesan
serta misi yang universal yang sama, untuk mendakwahkan segenap umat manusia
untuk menyembah kepada satu Tuhan yang sejati. Namun, terkadang prinsip prinsip
dakwah
Islam tersebut
bertabrakan dengan prinsip prinsip modern, termasuk nilai-nilai yang dibawa
bersama dengan era globalisasi.
Pertanyaannya mayornya adalah bagaimana peran
media Islam dalam era globalisasi untuk dakwah? Pertanyaan minornya adalah
bagaimana media menjembatani antara prinsip-prinsip agama Islam dan
prinsip-prinsip globalisasi? Apa tantangan dan peluang untuk dunia muslim,
dalam artian untuk memahami prinsip-prinsip globalisasi? Apa peran media Islam dalam era globalisasi
ini?
Penelitian ini memaparkan pernyataan bahwa peran media Islam di era
globalisasi untuk berdakwah memiliki tantangan dan peluangnya sendiri. Sebab prinsip
globalisasi tidak selalu diterima oleh muslim tradisionalis. Hanya sedikit muslim yang menerima bahwa media merupakan bagian dari
alat Islam (washilah) untuk berdakwah, banyak yang percaya bahwa hal tersebut
tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam, sebagai media, ia justru terlihat sebagai alat untuk menyalurkan pesan-pesan globalisasi
(westernisasi).
Secara aplikatif, kajian ini menerapkan
perspektif teori globalisasi (Branston dan Stafford, 2003) dan beberapa teori
yang relevan. Perspektif teori globalisasi ini kemudian telah melahirkan
berbagai perspektif dan pendekatan, seperti pendekatan imperialisme budaya,
homogenisasi, oligopoli, dan beberapa perdebatan yang pada gilirannya telah
melahirkan beberapa konsekuensi kecenderungan.
Konsep dari Andi Faisal Bakti menggunakan teori peran. Menurut teori
ini, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang
diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Teori peran adalah perpektif dalam
sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap sebagian kegiatan sehari-hari
menjadi pemeran dalam kategori sosial. Menurut teori ini, dalam pergaulan sosial
sudah ada scenario yang disusun oleh masyarakat, yang notabennya mengatur apa
dan bagaimana peran setiap orang dalam pergaulannya.
Analisis ini memberikan jawaban bahwa pertama, media dapat menyampaikan pesan
Islam kepada penerima di setiap sudut celah dunia. Kedua, muslim harus bisa mengembangkan media mereka sendiri,
sebanding dengan media sekuler barat saat ini. Muslim harus bisa bersaing dan
memenangkan persaingan melawan media yang meliput dan menyebarkan pesan
non-Islam dari negara-negara non-muslim. Ketiga,
Melalui media Islam ini, umat Islam dapat mengendalikan isi pesan yang akan
dikirim melalui saluran yang diciptakan oleh kaum muslim seraya mengendalikan
pesan dakwah.
Sebagai refleksi, peran muslim berkedudukan
sebagai penerima, dan media sebagai sumber globalisasi dari barat. Peran muslim
menjadi pengirim, dan orang barat adalah penerima nilai-nilai Islam.
Kemungkinan ketiga: Muslim mengirim pesan globalisasi, dan orang-orang barat
mengirimkan pesan ajaran Islam. Kemungkinan keempat adalah bahwa muslim dan
orang barat dapat melayani baik isu globalisasi maupun ajaran Islam pada saat
bersamaan.
Kata kunci: Globalisasi, Media, Islam,
Westernisasi, Tantangan
Major Conflicts in Indonesia: How Can
Communication Contribute to a Solution
Oleh Andi Faisal Bakti dalam Jurnal Human
Factor Studies, Volume 6, nomor 02 (2000), pp. 33-56.
ABSTRAK
Selama tiga dekade (1966-1996), lndonesia relatif "stabil" di
bawah pemerintahan yang otoriter. Namun, dalam empat tahun terakhir
(1997-2000), serangkaian konflik
terjadi mengatasnamakan agama dan etnis. Alasan di balik banyak konflik tersebut, seperti perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan.
Akibatnya, kecenderungan terhadap interpretasi dan iming-iming
janji transparansi oleh para pemimpin
negara tersebut mulai bermunculan
dengan maksud untuk menyetabilkan keadaan.
Berdasarkan
permasalahan di atas, pertanyaan mayornya adalah bagaimana komunikasi
memberikan solusi konfik
besar di Indonesia tanpa mengembalikan
kepemimpinan otoriter seperti sebelumnya? Dengan kata lain, siapa pelaku utama
yang berperan dalam konflik besar yang terjadi di Indonesia tersebut? Bagaimana
perkembangan karakteristik manusia pada saat itu? Dan bagaimana solusi dalam
meredakan konflik di Indonesa melalui pembangunan kesadaran karakteristik human factor lewat komunikasi?
Penelitian
ini memiliki pernyataan bahwa konflik meningkat ketika masyarakat lebih kuat
dibanding pemerintah. Pemerintah mengalami kelemahan justru saat sistem
demokrasi dijalankan.
Hal ini menunjukkan
bahwa tidak adanya karakteristik faktor manusia merupakan alasan dasar
terjadinya berbagai konflik besar di Indonesia, yang mana menyebabkan banyak
pertumpahan darah, sementara pemerintah harus tetap bertanggung jawab atas
demonstrasi dan korban yang meluas.
Secara
aplikatif, penelitian ini menganalisis dengan menggunakan perspektif konsep human factor studies, Adjibolosoo (2000:
3-20). Dalam perspektif ini terdapat dua unsur penting, yakni personality
characteristics dan dimensions of
human performance. Konsep personality
characteristics menunjukkan faktor manusia yang menimbulkan perilaku, dan
tindakan tertentu. Sedangkan dimensions
of human performance menunjukkan dimensi kinerja
manusia yang terpengaruhi oleh dan untuk institusi sosial, ekonomi, dan politik
yang berfungsi seiring berjalannya waktu.
Konsep dari Andi Faisal Bakti adalah human factor efektif dalam usaha pengembangan masyarakat melalui social engineering, yang mana berisi
integritas, trust, respect,
responsibility, akuntabilitas dan komitmen. Human factor, akan berhasil jika fokus pada aspek personal. Human factor, dapat diadopsi dalam
kajian civil society. Atau lebih
cenderung pada sisi manusianya.
Analisis
penelitian ini memberikan jawaban bahwa pertama,
konflik besar di Indonesia ini terjadi antara Muslim dan non-Muslim; Jawa dan non-Jawa; militer dan sipil; pedagang
lokal dan asing; nasionalis sekuler dan kaum
religius; dan Muslim modernis dan tradisionalis. Kedua, konflik terjadi disebabkan perdebatan perbedaan
antar kaum yang menyebabkan banyak pertumpahan darah, demonstrasi dan korban
yang meluas. Ketiga, program berbasis
Human Factor sangat dibutuhkan dalam
rangka mengembangkan kualitas manusia, dalam konteks non-sektarian, dari personal
integritas, akuntabilitas, tanggung jawab, dan kepercayaan.
Sebagai
refleksi, tidak ada perbaikan cepat dalam menangani konflik di Indonesia.
Pengembangan program positive human
factor merupakan agenda jangka panjang. Mungkin akan memakan waktu beberapa
generasi untuk memperoleh hasil yang signifikan. Akan tetapi, jika setiap
golongan memiliki kesadaran sisi kemanusiaan, hal ini bisa meminimalisir
konflik besar di berbagai daerah di Indonesia pada khususnya.
Kata
kunci: Human Factor, Konflik, Komunikasi,
Solusi, Pemerintah Indonesia.
Majelis Azzikra: New Approach to Dakwah for Civil Society in Indonesia
Oleh Andi Faisal Bakti dalam Mimbar Jurnal Agama dan Budaya, Volume 23,
nomor 01 (2006) pp. 14-24.
ABSTRAK
Selain Daarut Tauhid dari Abdullah Gymnastiar,
terdapat majelis taklim lain yang mana menggunakan pendekatan dakwah yang
berbeda, Majelis Adz zikra yang diketuai oleh Muhammad Arifin Ilham saat
berusia 34 tahun. Yang menarik, Arifin mengadopsi pendekatan terhadap Allah SWT
dengan mengingat Tuhan melalui bacaan nama-nama Tuhan, firman dari Tuhan yang
diambil dari Al-Qur’an dan kata-kata taubat dari dosa.
Berdasarkan konteks di atas, pertanyaan mayornya
adalah bagaimana keunikan pendekatan Majelis Adz Dzikra? Sedangkan pertanyaan
minornya adalah apa sajakah komponen dzikir yang digunakan Adz Dzikra? Dan,
Sejauh mana respon masyarakat terhadap majelis dzikir Adz Dzikra?
Penelitian ini memiliki pernyataan bahwa Arifin
Ilham melalui Majelis dzikir Adz Dzikra yang didirikannya mampu mengajak masyarakat
Indonesia dalam menegakkan kembali spiritualitas muslim dengan konsep berbeda
dari majelis lainnya, yakni dengan mengingat Tuhan, Arifin dan Majelis Az Zikra
mengajarkan ketulusan melalui mengingat Tuhan. dengan puncak ketulusan adalah
istiqamah. Selalu berpikir tentang Tuhan. Karena inti kehidupan ini adalah
bagaimana mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.
Untuk menganalisis penelitian ini, secara
aplikatif teori yang digunakan adalah teori Kepribadian, dan beberapa teori
yang relevan. Perspektif teori kepribadian ini kemudian melahirkan berbagai
perspektif dan pendekatan, yakni Pendekatan Ciri Gordon Allport (1966)
mengarahkan perilaku individu pada konsistensi dan khas. Pendekatan
Psikodinamik, Kepribadian dibentuk dari pengalaman proses mental.
Konsep yang relevan dengan teori ini adalah
Al-Qur’an surat Al-A’raf 7:10, yakni menyebut asmaul husna dan meninggalkan
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Thariqah, yakni (metode) untuk menempuh
jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan, dalam keadaan
mana seseorang dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya (ainul bashirah).
Analisis penelitian ini memberika jawaban pertama, dzikir Adz Dzikra menggunakan 4
kompenen, yakni dzikir hati, dzikir pikiran, dzikir di lidah, dan terakhir
adalah aksi dari dzikir tersebut. Kedua,
Respon masyarakat terlihat jelas. Arifin Ilham kemudian memperluas dakwahnya di
pulau jawa dan sekarang pengikutnya sudah mencapai kancah nasional. Tiap
pertemuan, pengikutnya tidak lebih berjumlah 3000 orang dan biasanya dihadiri
oleh lebih dari anggota pengajian dari 10 masjid.
Arifin Ilham bagaimanapun, merupakan cara baru
untuk mengingatkan orang, untuk kembali ke praktik yang benar. Dia mungkin
menjadi saluran di mana individu memilih untuk menjelaskan dengan aman dan
tidak mengancam kebencian mereka terhadap pemimpin mereka. Muhammad Arifin
Ilham disibukkan dengan introspeksi diri. Dia menekankan diri sebagai titik
awal untuk mengendalikan satu diri, selain anggota keluarga dan masyarakat.
Tujuannya bukan hanya melibatkan masyarakat Indonesia tapi juga dunia muslim.
Kata kunci: Majelis AdzDzikra, Arifin Ilham,
Dakwah, Islam, Ormas.
Communications Parallels in The Influence Of Religious
Values in The Development of Japan And Indonesia
Oleh Andi Faisal Bakti, Review of Human Factor Studies, Vol. 6. No. 1. (2000) pp. 1-32
ABSTRAK
Seharusnya kemajuan Indonesia
dalam hal pembangunan dan komunikasi harus bisa ditentukan oleh kepribadian Indonesia
sendiri, akan tetapi dalam hal pembangunan, Indonesia banyak bercermin dari
pengalaman beberapa negara lain di Asia. Khususnya Jepang dalam kaitannya
dengan perkembangan nilai-nilai agama. Terlepas dari banyak perbedaan antara
masyarakat Indonesia dan Jepang. Akan tetapi tampaknya Indonesia juga
menerapkan nilai yang pararel dengan nilai-nilai agama Jepang.
Berdasarkan persoalan di
atas, pertanyaan mayornya adalah apakah nilai-nilai yang menjadi panutan dalam
perkembangan Jepang dan Indonesia? Sedangkan pertanyaan minornya adalah sejauh
mana pengembangan dan nilai-nilai agama model Jepang digunakan oleh negara Asia
Timur lainnya? Apakah negara Asia lainnya mengikuti garis pengalaman Jepang
atau memulai jalan yang berbeda?
Penelitian ini menyatakan
bahwa ada kedekatan teoretis yang mendalam antara gerakan religius di Indonesia
dan di Jepang. Terlepas dari banyak perbedaan antara masyarakat Indonesia dan
Jepang. Indonesia bahkan Mesir memiliki konsep tatanan manusia
yang selaras dengan prinsip Jepang yang mengakar. Yakni konfusianisme, kerja
keras, kesalehan (kesetiaan pada Tuhannya), sosial harmoni, wewenang dan
kepemimpinan telah membentuk sistem sosial.
Secara aplikatif, penelitian
ini menganalisis dengan menggunakan perspektif human factor studies,
Adjibolosoo (2000: 1-32). Dalam perspektif ini terdapat dua unsur penting,
yakni personality characteristics dan dimensions of human performance. Teori personality characteristics menunjukkan
faktor manusia yang menimbulkan perilaku, dan tindakan tertentu. Sedangkan dimensions of human performance menunjukkan
dimensi kinerja manusia yang terpengaruhi oleh dan untuk institusi sosial,
ekonomi, dan politik yang berfungsi seiring berjalannya waktu.
Adapun konsep Al-Quran yang
digunakan adalah QS. Ar-Ra’ad ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri
mereka”. Dalam ayat ini menerangkan bahwa perubahan seseorang, kaum, atau
bangsa dinilai ari seberapa besar usaha dari kaum atau bangsa itu sendiri.
Analisis ini memberikan
pandangan bahwa pertama, Indonesia adalah negara mayoritas muslim, dan Islam
mendorong pemeliharaan tradisi yang berguna dan mengadopsi tradisi baru yang
sesuai dengan kebutuhan sekarang, tanpa mempercayai takhayul dan mistis (Konfusianisme)
seperti nilai agama untuk pembangunan yang diterapkan Jepang. kedua, di Asia
Timur, khususnya masyarakat Mesir telah mengadaptasi model pembangunan di
Jepang, terutama dalam hal kinerja nilai-nilai agama yang telah berhasil
dicapai Jepang.
Sebagai refleksi, penguasa
Jepang telah mengadopsi rasionalisme religius untuk tatanan Jepang, setiap
individu diajari rasa tanggung jawab yang kuat; kesetiaan, tanggung jawab
kepada keluarganya, atasannya, dan untuk itu secara umum, individu harus hidup
sesuai dengan status sosial dan kewajibannya. Hal ini sesuai dengan ajaran
Islam yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia maupun negara Asia lainnya.
Kata
kunci: Human Factor, Jepang,
Religiusitas Jepang, Komunikasi, Konfusianisme
Daarut
Tauhiid; New Approach to Dakwah for Peace in Indonesia
Oleh Andi Faisal Bakti, Jurnal Kajian Dakwah dan
Komunikasi, Volume. III. Nomor. 1 (2006) pp. 1-29
ABSTRAK
Sebagaimana digenggam sebagai fenomena baru dalam
sejarah perkembangan Islam di Indonesia pada pergantian milenium. Awal
millennium ketiga ditandai ini dengan munculnya dai-dai di perkotaan. Hal ini
menarik karena umumnya dai-dai ini
berlatar belakang ilmu umum dan bukan dari ranah studi Islam. Satu diantaranya
adalah dai fenomenal yang banyak mendapat perhatian publik, yakni Abdullah
Gymnastiar (Aa Gym), melalui yayasan Daarut Tauhid yang dibangunnya yang
membawa pesan perdamaian di Indonesia.
Berdasarkan pernyataan di atas, pertanyaan
mayornya adalah bagaimana Aa Gym membawa Daarut Tauhid sebagai pendekatan jalan
dakwah untuk perdamaian di Indonesia? Sedangkan pernyataan minornya adalah
seperti apa latar belakang Aa Gym dan Daarut Tauhid yang dibangunnya? Bagaimana
pendekatan Aa Gym dalam menghadapi publik (khalayak umum), individu tertentu,
Negara serta pasar? Sejauh mana pendekatan Aa Gym menggunakan pendekatan jalan
dakwah untuk perdamaian di Indonesia?
Penelitian ini memiliki pernyataan bahwa Aa Gym
cukup piawai mendekati setiap unsur masyarakat publik (khalayak umum), individu
tertentu, Negara serta pasar. Sehingga dakwahnya diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat. Yang membuat Aa Gym menarik dan membedakan dengan dai-dai lain
bukan pada aspek penguasaan keilmuan agamanya, akan tetapi pada pendekatan yang
digunakannya. Aa Gym seseorang yang berlatarbelakang wirausahawan dan bukan
studi Islam, akan tetapi berhasil memperlihatkan wajah Islam yang damai dan
sejuk, yang pada gilirannya layak menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat
dalam membawa pesan perdamaian di Indonesia.
Untuk menganalisis penelitian ini, secara
aplikatif menggunakan kajian dakwah dan komunikasi, dan beberapa unsur yang
relevan, yakni komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. Dalam kajian ini
fokus membahas pendekatan yang digunakan komunikator kepada komunikan. Konsep
yang relevan dengan teori ini adalah dari Andi Faisal Bakti (2004) juga
mengemukakan adanya tiga model, yaitu kulturalis, komunikasionis, dan peace recognitionist (pengakuan akan
perdamian dan kedamaian).
Analisis pertanyaan di atas memberikan jawaban pertama, Aa Gym merupakan pebisnis
berbakat yang mengenal roda bola pasar sehingga Ia memiliki pengetahuan
terhadap kebutuhan pendengar yang ia rumuskan dalam dakwahnya. Kedua, Aa Gym mengajak masyarakat
melalui ilmu umum yang dimilikinya untuk memusnahkan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, dan berkonsentrasi pada 'manajemen hati’, seperti kesabaran,
toleransi, rasa hormat, kerja keras, dan introspeksi diri. Ketiga, Aa gym sejauh ini berhasil membawa pesan perdamaian melalui
pribadi maupun Daarut Tauhid-nya dengan menyentuh berbagai segmen masyarakat di
Indonesia.
Sebagai refleksi, kemunculan Aa Gym tepat pada
waktunya. Memberi kebutuhan kelas menengah untuk menerima dukungan (atau
persetujuan) Islam dalam bisnis, untuk memusnahkan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, Aa Gym disambut hangat oleh lingkungan publik, khususnya penghuni
perkotaan, terlepas darimana latar belakangg mereka.
Kata Kunci: Dakwah untuk Perdamaian, Abdullah
Gymnastiar, Daarut Tauhiid, Masyarakat Sipil
The Integration of Dakwah
in Journalism: Peace Journalism
Oleh Andi Faisal Bakti, Jurnal
Komunikasi Islam, Volume 05, Nomor 01 (2015) pp. 1-19.
ABSTRAK
Sensitivitas konflik,
konstruktifitas konflik, dan resolusi konflik selama tahun-tahun
terakhir dalam pemberitaan pers selalu dikontrol dan disensor oleh pemerintah.
Masyarakat Indonesia telah berjuang keras sehingga sekarang
dapat menikmati pers bebas, atau untuk menikmati jurnalistik yang relatif
obyektif. Dimana pesan digambarkan seimbang, wartawan muslim bisa berekspresi menggabungkan jurnalisme dan dakwah.
Berdasarkan persoalan di
atas maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana mengintegrasikan dakwah di dalam jurnalisme?
Dengan kata lain, sejauh mana komunikasi Islam (dakwah) di Indonesia masuk ke
dalam ranah jurnalisme? Dan sejauh mana hubungan antara jurnalisme dan dakwah
bisa lebih baik mendidik penerima pesan, baik itu pembaca, pemirsa, atau
pendengar?
Penelitian menunjukkan
bahwa integrasi baik Islam maupun Islam dalam lingkup Komunikasi bisa
bermanfaat bagi jurnalisme perdamaian. Terutama untuk mengabadikan dan
memadamkan sensitivitas konflik, konstruktifitas konflik, dan resolusi konflik.
Wartawan Muslim bisa menghasilkan artikel tentang Islam untuk mempromosikan
ajaran Islam relevan dengan nilai universal, termasuk inklusifitas untuk nilai
kemanusiaan yang inklusif.
Secara aplikatif, kajian
ini menerapkan perspektif teori Jurnalisme Perdamaian dari Lynch (2005), ia
mendefinisikan jurnalisme perdamaian: "kapan editor dan reporter membuat
pilihan - apa yang harus dilaporkan, dan bagaimana caranya meaporkan - yang
menciptakan peluang bagi masyarakat luas untuk dipertimbangkan dan nilai
tanggapan tanpa kekerasan terhadap konflik.
Jurnalisme komunikasi dalam
Islam sama dengan Komunikasi Islam. Komunikasi Islam pada dasarnya adalah
jurnalisme perdamaian. Komunikasi islam terdiri dari tabligh, taghyir, khairu ummah dan akhlaq al-karimah. Penjelasan tentang tabligh yakni informasi yang dimuat, taghyir berarti adanya perubahan sosial, khairu ummah berarti komunitas teladan, dan akhlaq al-karimah atau perilaku mulia/ masyarakat sipil.
Analisis pertanyaan di atas
memberikan jawaban pertama, dahulu
jurnalisme dakwah pun harus melalui persetujuan pemerintah, akan tetapi kini
Jurnalisme dakwah bisa digabungkan sedemikian rupa untuk mempertahankan objektivitas
yang menjadi inti dari apa itu jurnalisme yang mempertahankan kredibilitas
tanpa campur tangan pemerintah. Kedua,
jurnalis pada dasarnya dipercaya sebagai perwakilan dari penonton yang
dipercaya untuk mengajukan pertanyaan yang benar dan tepat. Sehingga sesuai
dengan nilai komunikasi Islam guna menciptakan sebuah platform untuk berbagi
informasi dan nilai agama yang bisa didiskusikan khalayak.
Sebagai refleksi,
jurnalisme perdamaian mengajak para wartawan untuk memberitakan suatu hal yang
objektif guna meredam konflik yang disebabkan oleh ketidaksesuaian berita.
Dalam Islam, bisa dikatakan sebagai dakwah untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat umum dari bawah ke atas dengan mengadopsi pemerintahan yang baik dan
masyarakat sipil. Memerintahkan yang benar dan memberikan pelarangan kepada
yang batil.
Kata kunci: Integrasi Dakwah dalam
jurnalisme, kedamaian Jurnalistik, Komunikasi
Raising Public Consciousness About The Importance of Freedom of Expression in a Democratic Society and on Enhancing The Quality of Life of The Ordinary Citizen: The
Case of Indonesia
Oleh Andi Faisal Bakti, Volume 24, Nomor 1 (2013) pp. 1-14.
ABSTRAK
Idealnya masyarakat demokratis menikmati kebebasan pers dan meningkatkan
kualitas hidup masyarakatnya secara umum, termasuk dalam perkembangan
komunikasi. Perkembangan komunikasi di negara kurang berkembang sebagian besar
telah terimplementasikan, akan tetapi tetap pada ranah kontrol sosial, termasuk
konsep Komunikasi (Komunikator, komunikan, pesan, media dan efek). Akibatnya,
viktimisasi, otoritarianisme, pemaksaan, rayuan, dan monopoli seringkali tidak
dapat dihindari.
Pertanyaan mayornya adalah bagaimana mengembangkan kesadaran publik tentang
kebebasan berekspresi sebagai salah satu kemampuan demokratis untuk
meningkatkan kualitas kehidupan warga Indonesia? Dengan kata lain mengapa teori
Komunikasi justru tampak membatasi ekspresi manusia? Bagian mana yang salah
dengan konsep Komunikasi di atas? Sudut mana yang perlu ditangani dalam
perspektif komunikasi dan pengembangan agar bisa membuka jalan bagi demokrasi
masyarakat Indonesia?
Makalah ini akan berpendapat bahwa pendekatan model komunikasi di atas telah
mengabaikan karakteristik kualitas manusia dan peran aktif warga (masyarakat
atau penerima, masyarakat demokratis belum benar-benar terealisasikan dalam
lingkup komunikasi). Ada finalisme antara peran dan tuntutan penerima manfaat
sebagai penerima manfaat dan jenis program pembangunan yang dimulai serta persepsi
populasi dari program ini.
Perspektif yang digunakan dalam makalah ini adalah Revault (1986-1982)
teori Active Reception, menurut teori
ini pendekatan penerimaan aktif atau sama dengan teori bumerang. Urutan dalam
model ini bukanlah batasan waktu dan ruang harus komunikator dan berakhir efek,
tetapi juga bisa sebaliknya. Ini adalah dasar dari pendekatan pembangunan. Pendekatan
ini diadopsi di sini, bersamaan dengan pelajaran yang diambil dari berbagai
upaya komunikasi.
Konsep yang sesuai dengan teori di atas adalah Andi Faisal Bakti (2000) tentang
model penerima yang aktif, menurut Bakti, pendekatan pengembangan menekankan
kepada kualitas manusia. "penerimaan-aktif" yang menegaskan bahwa
komunikasi manusia terjadi tidak melalui media, di mana peralatan dan teknologi
memainkan dalam pembentukan pesan, akan tetapi dalam manusia, adalah
jawabannya. pendekatan ini mengakui pentingnya demokrasi.
Analisis pertanyaan di atas memberikan jawaban pertama bahwa, penggunaan konsep
komunikasi tanpa melihat kekuatan model komunikasi kreatifitas manusia justru
menjadi pemaksaan dan tidak efektif. Kedua,
pendukung model komunikasi tidak selalu tahu bagaimana komunikasi bekerja.
Beberapa pengembang memahami cara orang-orang yang menjadi sasaran melihat
program pembangunan dikembangkan untuk mereka. Ketiga, Upaya memberi
penekanan yang cukup pada faktor manusia, yang menurut model
"active-reception”, akibatnya, pentingnya penerima belum dikenali. tujuan
mewujudkan masyarakat demokratis belum tercapai.
Sebagai refleksi, kesuksesan komunikasi nampaknya
bergantung pada model atau model pembangunan yang diadopsi. Sangat penting
untuk memeriksa model perkembangan saat ini, dan untuk menunjukkan kekurangan
masing-masing, sebagai langkah pertama menuju pembentukan strategi baru yang
lebih dapat diterapkan. Strategi ini sangat diperlukan untuk memfasilitasi
penerima dan untuk meningkatkan dan memberdayakan mereka, yang merupakan
satu-satunya jenis pemberdayaan yang efektif.
Kata kunci: Unsur Komunikasi, demokrasi,
perkembangan komunikasi, kreatifitas manusia
The Role Communication in Addressing Comprehensive Security
Issues and Human Factor Characteristics in Indonesia
Oleh Andi Faisal
Bakti, Volume 1 Nomor 1 (2014) pp. 109-102.
ABSTRAK
Komunikasi dapat berfungsi untuk meredakan
ketegangan di antara berbagai segmen. Akan tetapi isu dugaan penyebaran orang
Jawa dan nilai-nilai di seluruh negeri atas nama persatuan di dalam konteks
penjajahan sentralisasi adalah salah satu faktor yang paling sering disebut
sebagai penyebab ketidakpuasan, menunjukkan kebencian, dan protes oleh orang
luar, sebuah situasi yang berkembang biak ketidakamanan dan mengancam negara.
Keamanan domestik yang komprehensif, faktor manusia adalah yang paling
berpengaruh dalam konflik tersebut.
Pertanyaan mayornya adalah peran komunikasi dalam
mendaftarkan isu keamanan komprehensif dan karakteristik faktor manusia di
Indonesia? dengan kata lain, siapa aktor dan faktor-faktor penyediaan
komprehensif di Indonesia? Sejauh mana peran dari
komunikasi serta faktor manusia (Human factor) dalam menyikapi isu keamanan di Indonesia?
Makalah
ini menyatakan bahwa kurangnya keamanan manusia secara komprehensif dan karakteristik faktor manusia menjadi dasar
ketidakamanan negara. Konflik yang terjadi di
Indonesia tidak bisa diselesaikan hanya dengan militer dan pemerintahan
sendiri, karakteristik komunikasi dan faktor manusia yang lemah menjadi
penyebab utama sulitnya meredam konflik di berbagai daerah di Indonesia.
Secara aplikatif, penelitian
ini menganalisis dengan menggunakan perspektif human factor studies,
Adjibolosoo (2000: 1-32). Dalam perspektif ini terdapat dua unsur penting,
yakni personality characteristics dan dimensions of human performance. Teori personality characteristics menunjukkan
faktor manusia yang menimbulkan perilaku, dan tindakan tertentu. Sedangkan dimensions of human performance
menunjukkan dimensi kinerja manusia yang terpengaruhi oleh dan untuk institusi
sosial, ekonomi, dan politik yang berfungsi seiring berjalannya waktu.
Konsep yang
relevan dari
Andi Faisal Bakti menggunakan teori peran. Menurut konsep ini, peran adalah
serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari
pemegang kedudukan tertentu. Konsep ini menyangkut konsep sosiologi dan psikologi sosial yang
menganggap sebagian kegiatan sehari-hari menjadi pemeran dalam kategori sosial.
Analisis ini memberikan jawaban pertama, aktor dan faktor
penyedia komprehensif di Indonesia yaitu keamanan
Muslim Beragama-Non-Muslim, pribumi-sentralisasi atau dominasi jawa, kelompok
keagamaan-proses sekularisasi, modernisasi-tradisionalis, dan
gender-maskulinisasi. Kedua, Peran dari komunikasi dan faktor manusia sebagai
solusi yang bisa diterapkan yakni referendum, federasi, dialog dan negosiasi agama, kebijakan ekonomi baru, menghentikan fungsi ganda militer dan pendekatan neo-modernis.
Sebagai
refleksi komunikasi dapat berfungsi untuk meredakan ketegangan di antara
berbagai segmen ini. Dialog dan kegiatan bersama di antara beragam institusi
keagamaan dapat memainkan peran sentral dalam hal ini. Nilai komunikasi manusia
ini perlu terus dikomunikasikan oleh orang-orang yang memiliki kepedulian
terhadap masalah keamanan komprehensif dan karakteristik faktor manusia. Mengomunikasikan
dan pembelajaran karakteristik human
factor akan berkontribusi pada pencapaian sebuah solusi meski membutuhkan
waktu yang lama.
Kata kunci: human
factor, karakteristik komunikasi, keamanan negara, konflik
Hello, dear :)
BalasHapusPlease visit my site
SIKONTIL - Apk Bokep & Website bokep Indo, Jepang, Barat, Korea, Film Semi
------------------- Download APK BOKEP ---------------------------
FORUM TANTE GIRANG
INFO TANTE GIRANG
LIVE CAM SEXY GIRL
SKANDAL SEKS ARTIS INDONESIA
NONTON FILM BOKEP BARAT
NONTON FILM BOKEP JEPANG
NONTON FILM BOKEP KOREA
NONTON FILM SEMI TERBARU
------------------- Download APK BOKEP ---------------------------