Pemikiran Dakwah KH. Sahal Mahfudz dalam Sebuah Pendekatan Atropologi


Pemikiran Dakwah KH. Sahal Mahfudz dalam Sebuah Pendekatan Atropologi

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
KH. Sahal Mahfudz (almarhum) merupakan sosok ulama dengan pemikiran kritis-transformatif. Sebagai seseorang yang lahir dan berkembang dari kalangan santri dan pesantren, KH. Sahal tidak lagi diragukan keilmuannya terutama dalam bidang ilmu fiqh. Pengembaraan beliau di berbagai macam peradaban pesantren di Indonesia secara tidak langsung membentuk karakter kepribadian dan visi pemikiran yang terus digelorakan beliau. Salah satu pemikiran fenomenal beliau adalah fiqh sosial. Sebagai seseorang yang lahir dan berkembang dari kalangan santri dan pesantren, KH. Sahal tidak lagi diragukan keilmuannya terutama dalam bidang ilmu fiqh.[1]
Berawal dari kegelisahan beliau terhadap stagnasi fiqh dalam kehidupan modern dianggap masyarakat tidak bisa membaur dengan permasalahan umat. Beliau kemudian meracik dan menyelaraskan fiqh dengan pemikiran kritis kontemporer, sehingga gagasan pemikiran fiqhnya tidak terlalu fulgar bahkan lebih menuju pada fiqh sosial. Artinya, fiqh tidak hanya menjadi ilmu akhirat yang menafikan kehidupan. Tetapi beliau meracik dan mengapliksaikan dalam bentuk pemberdayaan manusia.[2] Dan memproyeksikan bangunan fiqh yang mempunyai keberpihakan terhadap lingkungan.[3] Bagaimanapun rumusan fiqh yang dikonstruksi ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Hukum harus berputar sesuai ruang dan waktunya. Karena banyak ketidakpahaman masyarakat terhadap fiqh.[4] Harus diakui bahwa yang harus bertanggungjawab atas lahirnya kondisi ini adalah kalangan agamawan yang tidak mampu mengkomunikasikan kondisi ideal yang diharapkan, yang tentunya dapat diwujudkan melalui fiqh. Jika hanya melulu berlandaskan rumusan teks, bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqh? Apakah harus mauquf? Padahal memauqufkan persoalan hukum sendiri hukumnya tidak boleh bagi ulama. Di sinilah perlunya‚ fiqh baru yag mengakomodir permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat.[5]
Makalah ini dikaji melalui pendekatan Antropologi Budaya dari Geertz,[6] dan Marx Weber, teori antropologi yang berkaitan dengan interaksi sosial. teori kebudayaan dari Geertz mengatakan “kebudayaan sebagai sistem-sistem makna yang dapat digunakan untuk menginterpretasi dan memahami sistem makna lainnya yang ada dalam kebudayaan masyarakat” dan “kebudayaan berhubungan dengan tingkah laku yang dipelajari dan fenomena mental”.[7] Teori ini menghasilkan beberapa teori lain, untuk menganalisis makalah ini, maka teori Fungsional dan Struktural digunakan untuk melihat hubungan atau korelasi yang fungsional yang penuh makna pada kebudayaan, kelakuan, pelaku, dan lingkungan serta sejarah lokal sebagai konteknya. Setiap gejala yang ada dalam masyarakat akan selalu dilihat mempunyai makna, sesuai dengan fungsinya dalam struktur kehidupan yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga akan mempengaruhi manusia sebagai pendukung kebudayaan dengan kebudayaan yang dijadikan dan digunakan sebagai pedoman hidup.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Seperti apakah biografi KH. Sahal Mahfudz?
2.      Bagaimana situasi masyarakat di era KH. Sahal Mahfudz?
3.      Bagaimana pemikiran dakwah KH. Sahal Mahfudz?
4.      Sejauh mana kiprah dakwah KH. Sahal Mahfudz?
5.      Apa saja karya-karya KH. Sahal Mahfudz?
6.      Siapakah guru dan tokoh ulama lain yang hidup di era KH. Sahal Mahfudz?
3.      Hipotesa
KH. Sahal Mahfudz merupakan ulama yang berkiprah dalam mengkaji fiqh sosial lewat karya-karya dan dakwahnya guna menyelaraskan fiqh di era baru.



B.     PEMBAHASAN
1.      Biografi KH. Sahal Mahfudz
KH. Sahal Mahfudz lahir pada 17 Desember 1937 di desa Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah. di desa Kajen, Margoyoso Pati Jawa Tengah, meninggal jum‘at 24 Januari 2014 pukul 01.05 WIB. Desa Kajen dikenal sebagai desa santri, karena di desa ini bertebaran  pondok pesantren dan ribuan santri. Kelurga ini masih mempunyai rantai nasab dengan KH. Ahmad Mutamakkin, seorang perintis agama Islam di daerah Kajen khususnya di  Kabupaten Pati umumnya. KH. Mahfudz bin Abd. Salam adalah saudara misan (adik sepupu) KH. Bisri Samsuri, salah seorang pendiri jam‘iyah NU.[8]
Dari ayah maupun ibu, Sahal berada di lingkungan KH yang mendalami  tradisi penguasaan khazanah klasiknya (kitab kuning), mengedepankan harmoni sosial dan sopan santun (tawaḍu‟), serta jauh dari kesan menonjolkan diri. sejak kecil ia diasuh bapak dan ibunya dengan penuh kasih sayang. Saudaranya berjumlah enam, yaitu M. Hasyim, Hj. Muzayyanah (istri KH. Mansyur, pengasuh PP An-Nur Lasem), Salamah (istri KH.Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara, kakak istri KH. Abdullah Salam), Hj. Khodijah (istri KH. Maddah, pengasuh PP Assuniyah yang juga cucu dari KH. Nawawi, adik kandung KH. Abdullah Salam, kakek KH. Sahal.[9]
KH. Sahal Mahfudz sudah mulai belajar agama sejak umur 6 tahun di MI Kajen, selanjutnya beliau belajar di Madrasah Mathali’ul Falah. Saat itu beliau juga belajar‚ ilmu umum seperti filsafat, bahasa Inggris, administrasi, psikologi, dan tata Negara kepada H. Amin Fauzan.[10] Tamat Tsanawiyah beliau melanjutkan pendidikannya di Pare Kediri dan di Sarang Rembang, dan selanjutnya beliau nyantri di Mekkah selama 3 tahun di bawah bimbingan KH. M. Yasin Al-Fadani. Kelebihan beliau yang tidak dimiliki orang lain adalah beliau mampu mensemaikan fiqh dengan pemikiran kritis kontemporer, sehingga gagasan pemikiran fiqhnya lebih menuju pada fiqh sosial.[11]




2.      Situasi Masyarakat di Era KH. Sahal Mahfudz
Permasalahan yang menginspirasi KH. Sahal adalah adanya kegelisahan dari pakar hukum Islam dan masyarakat terhadap keberadaan fiqh yang selama ini dianut oleh umat Islam karena tampak terdapat kejumudan dalam memahami dan mengaplikasikan fiqh. Kegelisahan tersebut menjadi motivasi tersendiri bagi para (ahli fiqh) termasuk salah satunya KH. Sahal untuk menemukan fiqh alternatif yang lebih fleksibel.[12]
Selain itu, pada zaman tasyri' sebelumnya orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Nabi. Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka pada saat itu, atas dorongan inilah, KH. Sahal juga melakukan ijtihad fiqh yang sama untuk era-nya.[13]
KH. Sahal mengkritik terhadap dua mainstream pemikiran yang berkembang saat itu, yakni: pertama, kelompok yang menekuni wilayah praksis tanpa dibekali dengan kemampuan memadai. Kedua, kelompok agamawan yang sibuk berdiskusi beretorika tetapi lupa terhadap kondisi yang berkembang di masyarakat. Sehingga permasalahan fiqh menjadi utopia, dan tidak berkontribusi jelas di dalam masyarakat.[14]
Pergulatan panjang KH. Sahal dalam lapangan fiqh sosial ini membawa perubahan besar terhadap pemikiran pesantren dan akademis (perguruan tinggi), ekonomi kerakyatan, kebudayaan, kelembagaan (pesantren dan NU), dan politik kebangsaan.[15] Dari kalangan pesantren, pemikiran progresif fiqh sosial KH. Sahal mendorong santri untuk mendalam ilmu usul fiqh dan mengembangkan untuk merespons tantangan modernisasi di eranya maupun kehidupan masyarakat selanjutnya.
Meneliti suatu masyarakat, perjalanan dakwah KH. Sahal Mahfudz dikaji dalam antropolgi Geertz yakni adanya hubungan atau korelasi yang fungsional yang penuh makna pada kebudayaan, kelakuan, pelaku, dan lingkungan serta sejarah lokal sebagai konteknya.[16] Setiap gejala yang ada dalam masyarakat akan selalu dilihat mempunyai makna, sesuai dengan fungsinya dalam struktur kehidupan yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga akan mempengaruhi manusia sebagai pendukung kebudayaan dengan kebudayaan yang dijadikan dan digunakan sebagai pedoman hidup. Hal inilah yang dilakukan KH. Sahal, menelaah kebutuhan masyarakat sekitarnya, lalu menyelaraskan kebutuhan fiqh yang pada saat itu stagnan an tekstual. KH. Sahal perlu berdakwah untuk mengajak kepada kebaikan menjawab masalah fiqh sosial yang diterima oleh berbagai kalangan. Hal ini karena dalam masyarakat Muslim terdiri dari berbagai varian sebagaimana yang dikenalkan oleh antropolog Clifford Geertz; santri, abangan, dan priyayi. Tiga varian tersebut memiliki latar belakang yang berbeda dari berbagai segi, seperti pendidikan, ekonomi, politik, budaya, sehingga tidak membuat umat terpecah belah.[17]
Tafsir teks emansipatoris hendak mengubah strategi top-down ala tafsir teosentris menjadi bottom up, yang mana tafsir tidak lagi berangkat dari teks akan tetapi berangkat dari realitas kemanusiaan. Dalam tafsir emansipatoris, analisa sosial merupakan alat bantu guna memahami problem-problem sentral kemanusiaan. Hal ini didasari keyakinan bahwa tataran sosiologis-antropologis merupakan proses akulturasi dengan budaya. Di satu sisi, agama membentuk budaya, akan tetapi di sisi lain budaya juga membentuk agama.[18]
KH. Sahal melakukan revitalisasi fiqh kontemporer ke dalam fiqh sosial. Revitalisasi dimaknai pembaharuan terhadap paham agama yang dianggap sebagai bagian dari gerakan perubahan sosial berdasarkan nilai-nilai agama. Senada dengan Teori interaksi Max Weber dipaparkan dalam karyanya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalisme.[19] Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa tiga tema utamanya adalah interaksi pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, interaksi antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan karakteristik budaya Barat dan Timur. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan alasan-alasan budaya Barat dan Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda.[20] Dalam analisisnya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama puritan atau revital memiliki dampak besar dalam perkembangan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat.[21]

3.      Pemikiran dakwah KH. Sahal Mahfudz
Pemikiran dakwah KH. Sahal Mahfudz lebih condong kepada fiqh sosial. Beliau berpendapat bahwa fiqh bukanlah konsep dogmatif-normatif, tapi konsep aktif-progresif. Fiqh harus bersenyewa langsung dengan sikap perilaku, kondisi, dan sepak terjang orang-orang muslim dalam semua aspek kehidupan, baik ibadah maupun mu’amalah. Fiqh dipahami oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sangat formal, sehingga tidak jarang masyarakat merasa terbatasi ruang sosialnya.[22] Sehingga fiqh bukanlah ilmu yang stagnan, fiqh justru ilmu yang langsung bersentuhan dengan kehidupan riil umat, oleh karena itu fiqh harus didinamisir dan revitalisir agar konsepnya mampu mendorong dan menggerakkan umat Islam meningkatkan aspek ekonominya demi mencapai kebahagiaan dunia-akhirat.[23]
Pemikiran KH. Sahal yang menonjol dari ”paradigma ber-fiqh” baru itu yaitu: pertama, mengupayakan interpretasi ulang terhadap teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru. Kedua, makna bermazhab berubah dari bermazhab tekstual (mazhab qauly) ke bermazhab secara metodologis (mazhab manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar antara ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.[24]
 KH. Sahal tampak kritis terhadap agama terhadap masyarakat pada masanya. Beliau mencari celah bagaimana masyarakat Kajen pada khususnya dan umat muslim pada umumnya dapat memahami hukum tidak stagnan dan tekstual, sedangkan problematika semakin kompleks dan harus tetap memakai pedoman Al-Qur’an dan Hadits. Kritisisme agama tercermin dalam dialektika agama dengan budaya sepanjang sejarah, karena agama dapat berperan menjadi simbol sosial dan praktik-praktik yang menghasilkan komitmen sosial. Karena itu, agama diharapkan dapat menjadi peran kunci dalam melakukan transformasi dan perubahan kultur sosial kemasyarakatan.[25]
Berdasarkan pengembangan teoritis dalam metode berijtihad,  maka muncul penegasan secara teoritis dalam hal metode dan prosedur penggalian hukum, metode manhajiy merupakan suatu perkembangan yang ideal karena konsekuensi penggunaan metode ini adalah harus mengacu pada metode penggalian hukum mazhab empat secara komprehensif dengan memperhatikan ragam dan hirarkinya. Sebenarnya hal itu saja tidak cukup, karena baik kaidah fiqh maupun ushul fiqh dalam batas tertentu akan tidak mampu memecahkan problem hukum kontemporer. Oleh karenanya agar metode itu compatible dengan dunia modern, maka perlu ada pengembangan metodologi yang lebih tepat.[26]
Pada titik ini, KH. Sahal memahami problem seperti yang dijelaskan Rumadi, yakni masuk ke dalam tahap praksis tafsir emansipatoris adalah: Pertama, bagaimana secara adil mendefinisikan apa yang dipahami sebagai problem kemanusiaan. Kedua, bagaimana memperlakukan teks dalam tahap refleksi kritis. Teks diperlakukan sebagai alat untuk mempertajam nurani dalam melihat problem kemanusiaan, karena teks bukan satu-satunya rujukan dalam melakukan refleksi kritis. Ketiga, bagaimana teks diperlakukan sebagai sumber kritik. Hal ini membutuhkan metodologi tersendiri yang berbeda dengan yang dipakai selama ini. Keempat, teks bukan satu-satunya alat yang dipakai untuk pencerahan kemanusiaan.[27]
Rumusan konsep dan pemikiran KH. Sahal diaplikasikan pertama kali pada realitas sosial masyarakat Kajen, Pati dan sekitarnya melalui proses dan dalam fiqh, yang berujung pencapaian kemaslahatan umum masyarakat sekitarnya dan berdimensi Kedua, metode penerapan fiqh sosial KH. Sahal dalam realitas masyarakat Indonesia yang plural, atau proses penggalian hukum-hukum terhadap permasalahan masyarakat kontemporer dengan menggunakan metode dan pemikiran yang merujuk pemikiran atau ulama di lingkungan mazhab Syafi’i, serta fokus pada pencapaian kemaslahatan umum.[28]
KH. Sahal menekankan pemahaman dari mazhab tekstual ke mazhab metodologis, yaitu dengan revitalisasi ijithad kontemporer di pesantren, transformasi fiqh sosial melalui dakwah partisipatif, optimalisasi peran pesantren sebagai sentra pendidikan dan kegiatan sosial keagamaan. Metode itu berguna untuk menjawab persoalan seperti hubungan antara agama dan negara, krisis ekologi, prostitusi dan industri seks, pendidikan kontekstual, dan ekonomi sosialis.[29]
Untuk lebih memahami alur pemikiran KH. Sahal Mahfudz, beliau merespon persoalan-persoalan waqiyah yang aktual dan berupaya menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat dengan tanpa meninggalkan keotentikan teks-teks klasik (kitab kuning) dan nilai historisnya. Tapi, juga mempertimbangkan dinamika yang terjadi dalam masyarakat yang sangat dinamis. Sedangkan kata Mujamil Qomar, pemikiran KH. Sahal Mahfudh ini bisa dipahami sebagai ekletik, responsif, integralistik, dan divergen.[30]
Sehingga dihasilkan pemikiran dakwahnya yang lebih khusus ke fiqh Pikiran-pikiran modern Kiai Sahal dalam rangka menjawab, mengaktualisasikan dan mengembangkan hukum fikih telah menjadi salah satumodel fikih Indonesia.Kumpulan pemikiran tersebut mengkristal dalam satu corak yang dinamakan fiqih sosial. Suatu istilah yang baru muncul era Sembilan puluhan melalui bukunya yang merupakan kumpulan dari berbagai tulisan lepas di media massa yang berjudul ―Nuansa Fiqih Sosial. Dengan mainstream itu, karya tersebut seakan-akan telah memproklamirkan metode alternative terbaru bagi kajian fiqih Indonesia.[31]
Dalam riset yang dilakukan oleh Sumanto al-Qurtuby, disitu dinyatakan bahwa KH. Sahal termasuk pemikir yang bercorak neo modernisme‖ yang mencakup tiga unsur sekaligus. Pertama, Islam Rasional‘ karena penguasaan yang mendalam terhadap ushul fqih (sebagai basik filsafat hukum Islam). Kedua, Islam Transformatif, hal ini mengingat aksi-aksi yang ditempuh KH. Sahal lebih mengarah kepada pemberdayaan masyarakat melalui kendaraan-kendaraan LSM. Dan yang ketiga adalah menggerakkan Islam peradaban.[32]
Seperti yang diungkapkan oleh Nurcholis Majid, dalam melakukan pembaruan pemikiran Islam, “Diperlukan kesadaran akan kekayaan tradisi, sekaligus kemampuan untuk senantiasa membuat inovasi (dalam) “ruang” Indonesia dan “waktu” di zaman modern”.[33]

4.      Kiprah Dakwah KH. Sahal Mahfudz
Selama hidupnya, selain berdakwah melalui buku dan pesantren, beliau juga berdakwah melalui aktifitas mengajar yang telah digeluti, bahkan beliau memegang jabatan penting dari organisasi sosial keagamaan hingga jabatan akademik disandangnya. Pada tahun 1958-1961 KH. Sahal Mahfudz telah menjadi tenaga pengajar di pesantren Sarang Rembang, pada tahun 1966-1970 ia menjadi dosen pada kuliah Takhassus Fiqih di Kajen, Pati. Pada tahun 1974-1976, ia menjadi dosen di Fakultas Syari‘ah UNCOK Pati, pada tahun 1982-1985, ia menjadi dosen di IAIN Walisongo Semarang, mulai tahun 1989, ia menjadi rektor di Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara sampai 2004. Mulai tahun 1988-1990, ia menjadi kolomnis di majalah Aula.[34]
Dakwah yang beliau dedikasikan membuat beliau banyak diamanahkan dalam beberapa jabatan dalam organisasi keagamaan. Menjadi Ketua koordinator Ma‘arif NU Kecamatan Margoyoso, Wakil Ketua Ma‘arif Cabang Pati, Katib Syuriyah Partai NU Cabang Pati, Wakil Ketua Syuriyah NU Cabang Pati, pada tahun 1971, Wakil Ketua RMI Pati, Katib Syuriyah PWNU Jateng. Mulai tahun 1984, ia mulai menjabat sebagai Rais Syuriyah PBNU. Kemudian Muktamar NU ke-30 di Lirboyo. Beliau terpilih menjadi Rais ‗Am PBNU. Mulai 1991, beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah, setelah itu baru menjadi Ketua Umum MUI Pusat sejak tahun 2000, pada tahun 2006 kembali menjadi Ketua MUI Pusat di Jakarta.[35]
KH. Sahal bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, atau seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, melainkan juga seorang pemikir dan penulis ratusan risalah makalah berbahasa arab dan Indonesia. Penghargaan yang diterima beliau terkait dengan masyarakat kecil adalah penghargaan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fiqih serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.[36]
                                
5.      Karya-karya KH. Sahal Mahfudz
Berbicara tentang karya beliau, pada bagian fiqh beliau menulis seperti Al-Tsamarah al-Hajainiyah yang membicarakan masalah fuqaha, al-Barokatu al- Jumu’ah ini berbicara tentang gramatika Arab. Sedangkan karya Kyai Sahal yang berbentuk tulisan lainnya adalah:
a.         Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Surabaya: Diantarna, 2000)
b.        Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999)
c.         Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfdz al-Lumd", (Semarang: Thoha Putra, 1999)
d.        Telaah Fiqh Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, (Semarang: Suara Merdeka, 1997.
e.         Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994)
f.         Ensiklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu'ah al-Ij ma'). (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987)
g.        Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t)
h.        Luma' al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).
i.          Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)[37]
            Menurut KH. Sahal banyak teks-teks fiqh klasik yang masih relevan, namun membutuhkan kemampuan interpretasi yang baik supaya produk pemikiran yang dihidangkan menjadi kontekstual, seperti dalam kasus KB (Keluarga Berencana), klasifikasi nafkah dalam keluarga, zakat produktif, dan pelestarian lingkungan.[38]


6.      Guru dan Tokoh Ulama Lain yang Hidup di Era KH. Sahal Mahfudz
Pendidikan formal KH. Sahal diawali sejak usia 6 tahun (1943) di perguruan Islam Mathali‘ul Falah, madrasah pimpinan ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar di madrasah yang sama hingga tahun 1953. Setelah itu ia melanjutkan ke pesantren Bendo, sebuah pesantren yang diasuh oleh KH Muhajir, beliau adalah murid Syekh Cholil Bankalan Madura yang dikenal mempunyai karomah dan luar biasa keilmuannya. Saat itu, Sahal sudah diasuh oleh Mbah Fadiroh (istri ke-4 KH. Abdussalam).[39]
Di pondok pesantren inilah Sahal memperdalam keilmuan tasawuf dan fiqih, termasuk kitab yang dikajinya adalah Ihya Ulumuddn, Mahalli, Fathul Wahhab, Fathul Mu‘in, Bajuri, Taqrib, Sulamut Taufiq, Sullam Safinah, Sullamul Munajat dan kitab-kitab kecil lainnya. disamping itu Sahal juga aktif mengadakan halaqah-halaqah kecil-kecilan dengan teman santri senior. Kala itu Sahal belajar bersama dengan Syam‘ani (menjadi KH besar di Jember).[40]
Hal yang menarik dari KH. Sahal sewaktu mondok di Bendo kata KH Aziz Cibolek adalah kekuatan muṭalaah beliau di atas rata-rata, jika ia belajar mulai ba‘da isya‘ sampai jam sepuluh sambil jongkok. Menurut penuturan Gus Mujib Shohib, KH. Sahal pernah bercerita pernah mengkaji kitab Minhaj yang jumlahnya 11 juz sampai hatam. Jadi, selain musyawarah/berdiskusi, kekuatan muṭala’ah KH. Sahal tidak dapat diragukan lagi. Beliau menyarankan untuk tetap belajar setiap waktu, membaca, membaca dan membaca. Yang membedakan satu orang dengan orang lainnya adalah lamanya muṭala’ah dan konsistensi.[41]
Tidak berhenti di satu pesantren, KH. Sahal melanjutkan pendidikannya ke pondok Sarang untuk memperdalam ushul fiqihnya dibawah asuhan kiai Maimun Zubair. Setelah belajar di Sarang, KH. Sahal lalu ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji sekaligus berguru kepada salah seorang ulama yang tersohor yang dikenal ahli hadis Syekh Yasin.[42]
Pemikiran Kiai Sahal banyak dipengaruhi Imam al-Ghazali dan al-Syatibi, banyak konsep-konsepnya yang lahir melewati kedua tokoh tersebut. Selama belajar di pesantren beliau sering berinteraksi dengan berbagai orang dengan latar belakang yang berbeda-beda, baik aktifis, jelata, elit, akademisi bahkan orang asing yang kesamaan paradigma sehingga secara tidak langsung hal ini mempengaruhi pola piir beliau. Pengalaman yang di dapat itulah menjadikan kiai sahal dijuluki kiai yang multi disipliner.[43]
KH. Sahal adalah ulama’ yang hidup di era 1937-2014. Adalah zaman di mana era modern mulai berkembang, KH. Mustofa Bisyri, Quraisy Sihab, KH. Ali Mustofa Yakub, dsb.

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
KH. Sahal Mahfudz merupakan ulama kharismatik yang memiliki pemikiran luas dalam berbagai bidang kehidupan. Beliau lahir pada 17 Desember 1937 di desa Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah. di desa Kajen, Margoyoso Pati Jawa Tengah, meninggal jum‘at 24 Januari 2014 pukul 01.05 WIB.  Desa Kajen dikenal sebagai desa santri, karena di desa ini bertebaran  pondok pesantren dan ribuan santri. Kelurga ini masih mempunyai rantai nasab dengan KH. Ahmad Mutamakkin, seorang perintis agama Islam di daerah Kajen khususnya di  Kabupaten Pati umumnya. KH. Mahfudz bin Abd. Salam adalah saudara misan (adik sepupu) KH. Bisri Samsuri, salah seorang pendiri jam‘iyah NU.
Pada masanya, KH. Sahal mengkritik dua mainstream pemikiran yang berkembang pada saat itu, yakni: pertama, kelompok yang menekuni wilayah praksis tanpa dibekali dengan kemampuan memadai. Kedua, kelompok agamawan yang sibuk berdiskusi beretorika tetapi lupa terhadap kondisi yang berkembang di masyarakat. Sehingga melupakan permasalahan fiqh yang menjadi utopia, dan tidak berkontribusi jelas di dalam masyarakat. Atas kegelisahan inilah, beliau mrevitalisasi sebagian fiqh kontemporer ke dalam fiqh sosial.
Pemikiran KH. Sahal Mahfudz lebih banyak difokuskan terhadap fiqh. Menurutnya, fiqh bukanlah konsep dogmatif-normatif, tapi konsep aktif-progresif. Pertama, KH. Sahal mengupayakan interpretasi ulang terhadap teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru. Kedua, makna bermazhab berubah dari bermazhab tekstual (mazhab qauly) ke bermazhab secara metodologis (mazhab manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar antara ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.
Kiprah KH. Sahal dalam berdakwah, beliau tuliskan melalui buku dan pesantren, beliau juga berdakwah melalui aktifitas mengajar yang telah digeluti. Pada tahun 1958-1961 telah menjadi tenaga pengajar di pesantren Sarang Rembang, pada tahun 1966-1970 menjadi dosen pada kuliah Takhassus Fiqih di Kajen, Pati. Pada tahun 1974-1976, ia menjadi dosen di Fakultas Syari‘ah UNCOK Pati, tahun 1982-1985, ia menjadi dosen di IAIN Walisongo Semarang, mulai tahun 1989, menjadi rektor di Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara sampai 2004. Selain itu dalam organisasi keagamaan. Beliau menjadi Ketua koordinator Ma‘arif NU Kecamatan Margoyoso, Wakil Ketua Ma‘arif Cabang Pati, Katib Syuriyah Partai NU Cabang Pati, Wakil Ketua Syuriyah NU Cabang Pati, pada tahun 1971, Wakil Ketua RMI Pati, Katib Syuriyah PWNU Jateng. Mulai tahun 1984, ia mulai menjabat sebagai Rais Syuriyah PBNU. Kemudian Muktamar NU ke-30 di Lirboyo. Beliau terpilih menjadi Rais ‗Am PBNU. 1991, beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah, setelah itu baru menjadi Ketua Umum MUI Pusat sejak tahun 2000,  pada tahun 2006 kembali menjadi Ketua MUI Pusat di Jakarta. Sampai pada akhir hayat beliau mendedikasikan diri di pesantren sampai tahun 2014.
Karya-karya beliau antara lain Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, Pesantren Mencari Makna, Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfdz al-Lumd., Telaah Fiqh Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Ensiklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu'ah al-Ij ma'). Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t), Luma' al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, Al-Faraid al-Ajibah, dsb.
Masa kanak-kanak KH. Sahal diasuh dan dididik langsung oleh kedua orang tua. Usia 6 tahun 1943-1953 beliau berguru di perguruan Islam Mathali‘ul Falah. Setelah itu ke pesantren berguru kepada Syekh Cholil Bankalan Madura, KH. Syam‘ani Jember. Kemudian ke Sarang, berguru kepada KH. Maimun Zubair. Sampai akhirnya beliau ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus berguru kepada Syekh Yasin. KH. Sahal adalah ulama’ yang hidup di era 1937-2014. Adalah zaman di mana era modern mulai berkembang, KH. Mustofa Bisyri, Quraisy Sihab, KH. Ali Mustofa Yakub, dsb.


[1] Ikhwan Sam, Pandu Ulama Ayomi Umat-Kiprah Sosial 70 Tahun KH. Sahal, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2007), hlm. 2.
[2] Beberapa langkah praksis KH. Sahal di masyarakat kaitannya dengan fiqh sosial dapat dilihat di M. Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid, Keluarga Maslahah: Terapan Fiqh Sosial KH. Sahal (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2010), hlm. 302-313.
[3]Ahmad Syafi'i, SJ , Fiqh Lingkungan: Revitalisasi Ushûl Al-Fiqh Untuk Konservasi Dan Restorasi Kosmos. Makalah yang dipresentasikan pada Annual Conference of Islamic Studies Direktur Pendidikan Tinggi Islam Depag RI, Surakarta 2-5 Nopember 2009.
[4] Marwan Ja’far (Penyunting), Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hlm. 88.
[5] Aziz Hakim Syaerozy (Penyunting), Wajah Baru Fiqh Pesantren, (Jakarta: Citra Pustaka, 2004), hlm. 13.
[6] Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama. (Jogjakarta: Kanisius, 2001), hlm. 3-21.
[7] Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama. (Jogjakarta: Kanisius, 2001), hlm. 21.
[8] Sumanto al-Qurtubi, KH. MA Sahal Mahfudz Era Baru Fiqih Indonesia, (Suarabaya:Cermin, 1999),  hlm. 71-71.
[9] Jamal Ma‘mur Asmani, Fiqh Sosial KH. Sahal Mahfudz Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya : Khalista. 2007),  hlm. 11.
[10] Aziz Hakim Syaerozy (Penyunting), Wajah Baru Fiqh Pesantren, (Jakarta: Citra Pustaka, 2004). hlm. 13-14.
[11] Ikhwan Sam, Pandu Ulama Ayomi Umat-Kiprah Sosial 70 Tahun KH. Sahal, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2007), hlm. 2-3.
[12] Arief Aulia Rachman, Metodologi Fiqh Sosial MA Sahal Mahfudz (Studi Keberanjakan dari Pemahaman Fiqh Tekstual ke Pemahaman Fiqh Kontekstuak dan Relevansinya dengan Hukum Keluarga Islam (Masters thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), hlm, 76.
[13] Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari'ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, alih bahasa Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Cet. III (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 34
[14] Khalil Abdul Karim, Historisitas Syari’at Islam, alih bahasa M. Faisol Fatawi (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), hlm. 1.
[15] Ahmad Ali Riyadi,”Respon Pesantren Terhadap Perubahan Sosial-Politik (1970- 2000),” dalam Hermenia, Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni, 2004. hlm. 37. Baca pula tulisannya Ahmad Ali Riyadi, Politik Pendidikan: Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2006).
[16] Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama. (Jogjakarta: Kanisius, 2001), hlm. 21.
[17] Efa Ida Amaliyah, Islam Dan Dakwah: Sebuah Kajian Antropologi Agam, (Stain Kudus: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, Vol. 3. 2015), hlm. 342.
[18] Zuhairi Misrawi,”Islam Emansipatoris: Dari Tafsir Menuju Pembebasan,” dalam Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris, (AS: PPPM, 2014), hlm. 117.
[19] Max Weber, The Protestant Ethic Spirit of Capitalism (New York: Routledge, 1992). Dalam edisi bahasa Indonesia lihat Max Weber, Eika Protestan dan Spirit Kapitalisme: Sejarah Kemunculan dan Ramalan Tentang Perkembangan Kultur Industrial Kontemporer Secara Menyeluruh, penerj. TW Utomo dan Yusup Priya
Sudiarja (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 422.
[20] Max Weber, The Protestant Ethic Spirit of Capitalism (New York: Routledge, 1992). Dalam edisi bahasa Indonesia lihat Max Weber, Eika Protestan dan Spirit Kapitalisme: Sejarah Kemunculan dan Ramalan Tentang Perkembangan Kultur Industrial Kontemporer Secara Menyeluruh, penerj. TW Utomo dan Yusup Priya
Sudiarja (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 423.
[21] Max Weber, The Protestant Ethic Spirit of Capitalism (New York: Routledge, 1992). Dalam edisi bahasa Indonesia lihat Max Weber, Eika Protestan dan Spirit Kapitalisme: Sejarah Kemunculan dan Ramalan Tentang Perkembangan Kultur Industrial Kontemporer Secara Menyeluruh, penerj. TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 45.
[22] KH. Sahal Mahfudz, Dialog dengan KH. Sahal Mahfudz (Solusi Problematika Umat), Cet. I (Surabaya: Ampel Suci Bekerjasama dengan LTN NU Wilayah Jawa Timur, 2003), hlm. 316.
[23] Lihat karya beliau, Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 5.
[24] Ali Yafie, Tajdid; Adakah Suatu Kemestian dalam Pesantren, No. 1/Vol.V/1988 (Jakarta: P3M, 1988), hlm. 6.
[25] Mochamad Sodik, Gejolak Santri Kota: Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain (Yogyakarta: Tiara Wacana, 200),  hlm. 68.
[26] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 13.
[27] Rumadi,  Masyarakat  Post  Teologi:  Wajah  Baru  Agama  dan  Demokratisasi Indonesia (Jakarta; Gugus Press, 2002), hlm. 98.
[28] Arief Aulia Rachman, Metodologi Fiqh Sosial MA Sahal Mahfudz (Studi Keberanjakan dari Pemahaman Fiqh Tekstual ke Pemahaman Fiqh Kontekstuak dan Relevansinya dengan Hukum Keluarga Islam (Masters thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), hlm. 83.
[29] 5Arief Aulia Rachman, Metodologi Fiqh Sosial MA Sahal Mahfudz (Studi Keberanjakan dari Pemahaman Fiqh Tekstual ke Pemahaman Fiqh Kontekstuak dan Relevansinya dengan Hukum Keluarga Islam (Masters thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), hlm. 85.
[30] Zubaedi, Pemberdayaan Msyarakat Berbasis Pesantren: Kontribusi Fiqih Sosial Kiai Sahal Dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.201.
[31] KH. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 2012, edisi khusus komunitas), hlm. 181.
[32] Sumanto al-Qurtuby, Era Baru Fiqih Indonesia (Yogyakarta: Cermin, 1999), hlm. 171-174.
[33] Sumanto al-Qurtuby, Era Baru Fiqih Indonesia (Yogyakarta: Cermin, 1999), hlm. 170.
[34] KH. Sahal Mahfudz, Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2014 Cet. II), hlm. 465.
[35] azharmind.blogspot.com/2014/01/biografi-kyai-sahal.html. diakses pada tanggal 13/03/18, pukul 15.29 WIB.
[37] Ahmad Ali Riyadi, Landasan Puritanisme Sosial Agama Pesantren: Pemikiran Kiai Sahal Mahfudz (Jurnal Universitas Darul ‘Ulum Jombang Volume 1, Nomor 1, Januari-Juni 2016), hlm. 119.
[38] KH. Sahal Mahfudz, Mengaktualkan Fiqh Klasik di Era Global. pengantar dalam, Epistemologi Fiqh Sosial; Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat.(Pati: Fiqh Sosial Institute, 2014), hlm. 172.
[39] Sumanto al-Qurtubi, KH. MA Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia, (Suarabaya:Cermin, 199), hlm. 13.
[40] Sumanto al-Qurtubi, KH. MA Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia, (Suarabaya:Cermin, 199), hlm. 13-14.
[41] Jamal Ma‘mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya : Khalista. 2007), hlm. 13.
[42] Beliau adalah Syekh Muhammad Yasin Bin Muhammad isa Al-fadani lahir di Mekkah 17 Juni 1915 dan wafat 20 Juli 1990. Namun beliau merupakan keturunan asli Indonesia tepatnya di kota padang. Beliau salah satu ulama asal Indonesia yang produktif dan disegani di dunia karena beliau menguasai beragam ilmu seperti ilmu hadist dan ilmu falak. Tercatat beliau meninggalkan maha karya berjumlah sekitar 22 buah kitab.
[43] Sumanto al-Qurtuby, Era Baru Fiqih Indonesia (Yogyakarta: Cermin, 1999), hlm. 4.

Komentar