Aku Generasi
Unggul Kebanggaan Bangsa Indonesia
(Esai ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
aplikasi Program Beasiswa Unggulan Kategori Masyarakat Berprestasi Batch 1 tahun 2018 dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan)
Apakah
Saya Generasi Unggul Kebanggaan Bangsa Indonesia?
Saya sangat jauh sekali, terlebih
dibanding dengan teman-teman saya yang lolos kuliah di luar negeri, mendapatkan
beberapa beasiswa, mewakili Indonesia di kancah Internasional, itu semua
terkadang membuat saya malu. Minder? Sedikit si, terkadang. Tetapi menyerah,
semuanya selesai. Saya putuskan tetap bersyukur, dari jutaan anak Indonesia,
saya menjadi salah satu anak Indonesia yang beruntung bisa mengenyam pendidikan
sampai sekarang di Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Akan tetapi, jangan sampai juga kita baru bisa bersyukur
saat melihat orang lain lebih susah dari kita. Sebaiknya kita menjadi generasi
yang bersyukur saat orang lain lebih baik, menjadikannya sebagai motivasi.
Serta menjadi generasi yang ikut merasakan susah saat orang lain kesusahan.
Dengan begitu, kita bisa mulai belajar memimpin diri, memupuk toleransi akan
perbedaan pendidikan karena nasib dan pilihan hidup orang lain.
Menurut saya, kuliah S2 itu hanya bisa
dilakukan oleh dua jenis orang. Pertama, orang kaya, dan yang kedua adalah
orang nekat, dan saya termasuk yang kedua. Ya, nekat. Sekalipun nekat tetap
harus dengan perhitungan, perkiraan, rencana, dan plan-plan lain agar belajar
di bangku magister tidak berhenti. Kebetulan, saya adalah orang yang optimis,
meskipun sesekali pesimis, tapi saya ingat orang tua saya, adik-adik saya,
nenek kakek saya yang harus bekerja di masa tuanya, saya kira itu tidak benar.
Dan saya harus mengubah nasib dengan harapan-harapan baru.
Kendala
VS Tantangan
Saya lahir dan besar di desa Bawang,
Kabupaten Batang, salah satu kawasan yang menjadi distribusi sayur mayur di
wilayah Jawa Tengah. Di daerah saya, mengenyam gelar sarjana adalah suatu
kemewahan tersendiri melihat sebagian besar penduduk rata-rata setingkat SMA.
Bahkan, masih ada masyarakat yang hanya mengenyam sampai SD. Sebagai anak yang
terlahir dari keluarga pra-sejahtera, pencapaian ini tentu sangatlah besar,
meski pun saya hanya lulus Sarjana di Universitas Swasta sebelumnya. Akan
tetapi usaha yang lumayan menguras keringat tentunya menjadi tantangan
tersendiri, terlebih sebelumnya saya belum pernah menerima beasiswa selama
kuliah, ditambah mahalnya kampus swasta. Sehingga saya harus melakukan banyak
hal untuk tambahan biaya kuliah. Selain dari orang tuam tentunya saya harus
menambahkan sendiri biaya-biaya lainnya, dengan mengikuti lomba-lomba, membuat
karya tulis, mengikuti PKM, ikut seminar gratis untuk mendapatkan ilmu dan
makan siang, ikut penelitian dosen, dsb.
Proses panjang wajib belajar 9 tahun di
daerah saya tergolong bagus, karena Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tetap
berjalan meskipun selalu ada tambahan-tambahan biaya yang tidak terduga.
Sekalipun tidak sudah ada BOS, tetap saja pembayaran tidak terduga tersebut terkadang
tidak mampu saya bayar langsung, seperti LKS, Ekstrakurikuler dll. Sehingga
dari kecil, saya sudah terbiasa membayar di waktu paling mepet, sudah paling
akhir, dan bahkan telat. Namun, hal tersebut tidak menjadi kendala untuk saya
tetap belajar. Perjalanan menyelesaikan program sarjana saya lalui dengan
berbagai hambatan, baik finansial, fisik, maupun mental. Tetapi, itulah yang mendorong
saya untuk lebih baik. Beberapa pengalaman berkesan saya tandai sebagai salah
satu pencapaian besar dalam hidup saya.
Saya adalah anak yang tidak cukup
beruntung karena dilahirkan dalam kondisi yang tidak berkecukupan dan tidak
memiliki banyak pilihan. Serta tidak begitu banyak berpretasi semasa SD-SMA,
sehingga saya sangat sulit mendapatkan beasiswa semasa sarjana. Akan tetapi
dari kekurangan itulah, membuat saya merasa harus berjuang lebih banyak
daripada mereka yang kecukupan dan mendapat dorongan dari pemerintah yang
memberikan beasiswa, maupun dorongan dari keluarga yang mapan, dan saya sangat
beruntung mendapatkan kesempatan mencari dan memaknai pencapaian-pencapaian
melalui proses yang panjang. Namun, semua itu menjadi sia-sia jika pada
akhirnya tidak memberikan manfaat untuk orang lain.
Prestasi
Ayah saya adalah seorang pekerja keras,
beliau tidak pernah membiarkan saya merasa malu dalam keadaan benar apapun.
Sehingga mental saya dari kecil sudah dilatih untuk ‘Menerima’ dan ‘Tetap
Usaha’. Sedangkan Ibu saya adalah seorang yang mengajarkan saya tentang
keuletan, seni, sosial, dll sehingga saya mampu bersaing dalam lomba atau pun
prestasi lain di sekolah sampai bangku kuliah dengan optimis. Sekalipun tidak
semuanya menang.
Tidak diterima di universitas negeri
tidak menjadikan saya hilang arah. Saya akhirnya merantau dari Batang Jawa
Tengah sendirian ke Kota Jakarta yang biasanya hanya bisa saya lihat dari TV. Di
Jakarta saya diterima di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Universitas Muhammadiyah Jakarta. Program studi yang paling mudah untuk masuk.
Dua tahun saya ditempa dengan tekanan dengan mahalnya biaya hidup, serta
interaksi sosial yang harus saya bangun perlahan-lahan hingga saya mulai
menemukan satu dua topik yang menarik dan mulai bisa membangun minat saya
belajar.
Setelah kuliah semester 2, tahun 2013 saya
mulai aktif berkegiatan di Himpunan Mahasiswa KPI, masuk ke Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah sampai tahun 2014, lalu aktif diamanahkan sebagai Kepala Bidang
Ekonomi Sosial Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas. Lalu mengikuti Lembaga
Dakwah Kampus sampai sekarang yang sifatnya kekeluargaan. Berinteraksi dengan
para senior juga semakin mengasah minat saya di organisasi, untuk membangun
relasi dan kehidupan sosial. Beberapa kali saya terlibat lomba mewakili
beberapa organisasi yang saya ikuti maupun mewakili universitas. Saya mulai
memupuk diri saya, sampai akhirnya saya mengikuti lomba-lomba nasional yang
belum pernah saya bayangkan akan menang pada sebelumnya, mengingat saya kurang
begitu berprestasi di masa SMA.
Berikut prestasi saya selama saya kuliah
pada jenjang sarjana (S1) dari tahun 2012, antara lain: Mawapres ke-6 Universitas
Muhammadiyah Jakarta 2016, Juara III Duta Koperasi Nindya Propinsi Banten 2016,
Juara I Duta Koperasi Kota Tangerang Selatan 2015, Finalis ke-6 Duta
Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak oleh Kementerian dan UHAMKA 2015, Juara
II Voice of Arabic Al Arobiyah Lil Funun Tingkat Nasional 2014, Juara I
Accoustic IMM FIPCUP Universitas Muhammadiyah Jakarta 2014, Juara I Ansambel
Musik Tradisional Angklung (Kelompok) Tangerang Selatan 2014, Juara II Retorika
IMM Universitas Muhammadiyah Jakarta 2013.
Akan tetapi dari semua itu, prestasi yang
paling saya ingat, adalah ketika saya tampil membacakan puisi Gus Mus "Aku
Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu" di STIE AD Cirendeu Ciputat tahun 2014.
Selesai membaca, semua orang berdiri dan memberi tepuk tangan yang sangat
meriah dan sangat lama. Ya, saya ingat, semua orang berdiri. Meski bukan lomba,
tapi saat itu saya merasa saya juara, meski tanpa piala, tanpa piagam
penghargaan, akan tetapi saya merasa mendapatkan penghargaan yang lebih dari
itu semua.
Pencapaian-pencapaian tersebut belum
tentu diperoleh mahasiswa lain sehingga mustahil jika saya tidak menandai hal
tersebut sebagai bagian dari kesuksesan terbesar dalam hidup. Hal ini juga
pernah saya sampaikan ketika saya menjadi Mawapres meski ke-6 di tahun 2016
lalu ketika saya semester 7, waktu itu beruntung masih dibolehkan ikut. Saya
dipilih untuk menyampaikan sedikit pidato, di dalam pidato tersebut saya
mengingatkan dan baru saya sadari waktu itu juga, bahwa Mahasiswa itu ke sana
ke sini Prestasi, bukan Koalisi.
Pada akhirnya dapat menyelesaikan kuliah
dalam waktu 4 tahun dengan predikat Cum
Laude, merupakan pencapaian yang sangat besar bagi orang yang lahir di
kampung yang sebelumnya minim prestasi. Melalui bidang ini, saya dapat
menemukan benang merah antara minat saya dengan permasalahan-permasalahan yang
relevan dengan wilayah tempat saya tinggal, serta justru menjadi ladang saya
sehingga saya beberapa kali mengikuti riset yang bergabung dengan dosen untuk
membahas sesuai topik tema yang saya pelajari. Tidak ada yang sia-sia.
Selesai S1, saya berniat untuk langsung
melanjutkan studi strata II (S2), saya mencari beberapa beasiswa, akan tetapi
mungkin belum rejekinya. Akhirnya tuntutan finansial memaksa saya untuk mencari
pekerjaan. Pekerjaan apapun, bahkan yang tidak sesuai dengan minat dan latar
belakang saya. Sehingga sampai akhirnya saya bisa melanjutkan studi strata II
(S2) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Meski bukan menjadi lulusan
terbaik ketika S1, saya masih sangat bersyukur masih dikarunia geliat untuk
meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Di tahun 2016 saya merencanakan untuk
membuat perpustakaan desa di kampung saya, akan tetapi baru terealisasi di
tahun 2017 awal, saya sangat bersyukur dengan kesulitan-kesulitan dan sempat
mendapatkan penolakan-penolakan, akhirnya saya bisa sedikit memberikan wadah
bagi masyarakat untuk belajar meski dengan keterbatasan tempat yang sempit dan
buku-buku yang tidak banyak yang baru.
Generasi unggul tentu saja adalah tafsir.
Kembali lagi, menisbatkan diri sebagai generasi unggul kebanggaan bangsa
Indonesia rasanya cukup berat. Tetapi, saya bisa menegaskan bahwa saya adalah
salah satu pemuda yang sedang menyiapkan diri untuk berkontribusi sesuai dengan
kapasitasnya sebagai akademisi, karena generasi unggul kebanggaan bangsa
Indonesia tidak ada artinya tanpa memberikan manfaat untuk orang lain di
sekitarnya, sekecil apapun itu. Jadi, belajarlah apapun, karena kita tidak
pernah tahu kapan ilmu tersebut mendadak dibutuhkan, dan berfaedah untuk hajat
orang banyak.
Komentar
Posting Komentar