PEMIKIRAN DAKWAH PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB. M.A (PENDEKATAN ANTROPOLOGI)


A.    Biografi KH. Ali Mustafa Yaqub
Ali Mustafa Yaqub lahir di desa Kemiri, kecamatan Subah, Kabupaten Batang Jawa Tengah, pada tanggal 02 Maret 1952, ia lahir dari sebuah keluarga yang taat menjalankan agama.[1] Beliau berdomisili di Jl. SD. Inpres No. 11 RT.002 RW.09 Pisangan-Barat Ciputat, Tangerang-Selatan Banten. Secara garis besar, pendidikan Ali Mustafa Yaqub adalah: Pondok Pesantren Seblak Jombang (1966–1969), Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang (1969–1971), Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang (1972–1975), Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia S1 (1976–1980), Fakultas Pascasarjana Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia, Spesialisasi Tafsir Hadits S2 (1980–1985), Universitas Nizamia, Hyderabad, India, dengan Spesialisasi Hukum Islam S3 (2005–2008).[2]
Ali Mustafa Yaqub merupakan seorang imam besar di masjid Istiqlal. Ali Mustafa Yaqub lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang taat beragama Islam dan berkecukupan. Pada masa kecilnya setelah pulang dari belajar di sekolah dasar (SD) di tempat kelahiranya, ia membantu temannya menggembala kerbau di lereng-lereng bukit pesisir Utara Jawa Tengah.[3] Kebiasaan ini kelak membentuk karakter dan kepribadiannya yang tegas, kritis dan peduli.
Ayahnya bernama Yaqub, seorang muballig terkemuka pada zamannya dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah. Ayahnya memiliki misi “Menegakkan Amar Ma’ruf dan memberantas kemungkaran”. Sejak matahari terbit sampai terbenam ayahnya melakukan rutinitas belajar dan mengajar. Ayahnya mengajar tanpa pamrih dan hanya mengharap Ridha Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, berjiwa besar, bersahaja dan tegas dalam membela agama Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Sedangkan ibunya bernama Zulaikha, seorang ustadzah dan ibu rumah tangga yang ikut membantu perjuangan suaminya (Yaqub). Zulaikha meninggal pada tahun 1996. Ali Mustafa Yaqub memiliki tujuh bersaudara, dari tujuh bersaudara tersebut, dua diantaranya meninggal dunia, dan yang masih hidup lima bersaudara, salah satu kakaknya yang bernama Dahlan Nuri Yaqub mengikuti jejak ayahnya, dan sekarang menjadi pengasuh pondok pesantren Darussalam di Batang Jawa Tengah.[4]
Kakek dari ayah beliau bernama Joyo Truno, pekerjaannya seorang petani. Nama   nenek dari ayah (beliau lupa). Pekerjaan nenek beliau ibu rumah tangga. Beliau menikah pada tahun 1986, nama istri beliau Ibu Hj. Ulfah Uswatun Hasnah, dari pernikahannya dengan  Hj.  Ulfah,  Beliau  dikaruniai  seorang  anak perempuan  yang bernama Ziaul haramain yang lahir pada tahun 1991, dan sekarang sedang menduduki pendidikan kelas tiga aliyah di Pondok Pesantren Sunan Pendanaran Yogyakarta.[5]
Setelah sekian lama mengabdikan diri untuk agama dan umat, tidak pernah berhenti berkontribusi positif untuk nusa dan bangsa, baik melalui lisan maupun tulisan, akhirnya Ali Mustafa Yaqub menghembuskan nafasnya yang dterakhir di Rumah Sakit Hermina, Ciputat, pada pukul 06.00 dalam usia 64 tahun.[6]

B.     Situasi Masyarakat di Zaman Ali Mustafa Yaqub
Pada zaman KH. Ali Mustafa Yaqub semasa hidupnya, banyak penafsiran yang kurang tepat selama ini dalam memahami hadits, dan hal ini terus berkembang di masyarakat. KH. Ali Mustafa Yaqub termasuk ulama Indonesia garda depan yang mengamatinya sekaligus meluruskannya. Salah satu cara yang ia lakukan adalah dengan menulis buku atau makalah, di majalah, jurnal atau koran serta mengisi seminar atau ceramah-ceramah.
Yang melatarbelakangi motifasi KH. Ali Mustafa Yaqub untuk belajar hadits adalah ia merasakan dua kenikmatan dengan belajar hadits yaitu bisa mempelajari kehidupan Nabi Saw., sehingga seakan-akan melihat Nabi Saw. dan yang kedua bisa banyak bershalawat kepada Nabi Saw.
Peran terpenting Ali Mustafa Yaqub di dalam ranah dakwah adalah pada kajian hadits di Indonesia adalah berusaha mengembangkan wawasan pemikiran dalam ilmu hadits dan berupaya melakukan pembelaan dari serangan orientalis dan rasionalis murni.[7] Pemikiran orientalis yang gencar menyerang Islam, seperti Goldziher dan Josep Schacht yang sering dijadikan rujukan ketika membahas sejarah hadits dan kritik sanad, benar-benar dibendung oleh Ali Mustafa Yaqub. Pemikiran-pemikiran orientalis tersebut cenderung menolak dan meragukan orisinalitas hadits berasal dari Rasulullah saw. Banyak pengkaji hadits di Indonesia yang menganggap kesimpulan orientalis sebagai sebuah kebenaran. Kehadiran Ali Mustafa Yaqub di panggung kajian hadits di Indonesia memberi cakrawala baru bagi pemahaman hadits, terkhusus di Indonesia.
C.    Pendidikan KH. Ali Mustafa Yaqub
Ali Mustafa Yaqub awalnya lebih berminat ke pendidikan umum, namun atas arahan ayahnya, beliau dimasukkan ke pesantren. Setelah belajar di SD dan SMP di desa kelahiranya, dengan diantar ayahnya ia mulai mondok di pesantren Seblak Jombang sampai tingkat Tsanawiyah, rentang waktu 1966-1969. Kemudiaan beliau pindah ke pesantren Tebu Ireng Jombang yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari pondok pesantren Seblak Jombang, yaitu pada tahun 1969-1972. Selanjutnya pada pertengahan tahun 1972 beliau melanjutkan menuntut ilmu pada program study Syari’ah Universitas Hasyim Asy’ary Jombang dan selesai pada tahun 1975.[8]
Di pesantren Tebu Ireng beliau belajar kepada kiai-kiai sepuh dalam menekuni kitab-kitab kuning. Adapun di antara guru-guru Ali Mustafa Yaqub selama di Tebu Ireng diantaranya yaitu: KH. Idris Kamali; KH. Adhlan Ali; KH. Shobiri; KH. Syamsuri Badawi dan lain-lain.
Dari KH. Idris Kamali ia belajar ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadits dan tafsir dengan metode sorogan (individual) dimana ia diwajibkan menghafal lebih dari sepuluh kitab, antara lain Alfiyah Ibn Malik, al-Baiquniyyah, al-Waraqat dan lain-lain. Dari KH. Adhlan ia belajar akhlak dan lain-lain. Dari KH. Sobari ia belajar ia belajar ilmu hadits dan lain-lain. Sedangkan dari KH. Syamsuri ia belajar ilmu hadits dan ilmu ushul al-Fiqh. Selain belajar dengan guru-guru yang telah disebutkan di atas Ali Mustafa Yaqub juga pernah belajar dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), yaitu dalam bidang ilmu bahasa Arab dan kitab Qatr al-Nada.[9]
Pada pertengahan tahun 1976 Ali Mustafa Yaqub mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi. Ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia sampai tamat dengan ijasah Licence (Lc), pada tahun 1980. Masih di kota yang sama, ia melanjutkan studi lagi di Universitas King Sa’ud departemen studi Islam jurusan Tafsir Hadits sampai tamat dengan ijasah master pada tahun 1985. Dalam menjalani bidang tafsir hadits inilah beliau bertemu dengan guru besar hadits universitas King Saud yang bernama Muhammad Mustafa al-A’zami. Dipilihnya fakultas Syari’ah (S1) dan departemen Tafsir Hadits (S2) oleh Ali Mustafa Yaqub bukanlah sebuah kebetulan, tetapi karena dalam pandangannya kedua ilmu ini (Syari’ah dan Hadits) sangat diperlukan masyarakat.[10]
Ali Mustafa Yaqub tidak bisa langsung melanjutkan pada program doktor, karena ketika itu di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, belum di buka program doktor, kemudian beliau memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
Pada tahun 2006 Ali Mustafa Yaqub melanjutnya studi doktoralnya di Universitas Nizami Hyderabad India di bawah bimbingan M. Hasan Hitou, guru besar fikih Islam dan Usul Fiqh Universitas Kuwait dan direktur lembaga studi Islam International di Fraktur Jerman. Pada pertengahan 2007 Ali Mustafa Yaqub mampu menyelesaikan program doktornya pada konsentrasi Hukum Islam Universitas tersebut.[11]
Secara garis besar, pendidikan KH. Ali Mustafa Yaqub adalah:
1.      Pondok Pesantren Seblak Jombang (1966–1969).
2.      Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang (1969–1971).
3.      Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang (1972–1975).
4.      Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia (S1, 1976–1980).
5.      Fakultas Pascasarjana Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia, Spesialisasi Tafsir Hadits (S2, 1980–1985).
6.       Universitas Nizamia, Hyderabad, India, Spesialisasi Hukum Islam (S3, 2005–2008).
Selama belajar di pascasarjana King Saud Riyadh Saudi Arabia. Beliau termasuk salah seorang murid ulama terkenal yang juga pakar di bidang hadits asal Saudi Abia, yaitu professor M. M. Azami. Setelah pulang ke Indonesia pada tahun 1985 beliau ingin sekali pergi ke papua/Irian Jaya untuk mengabdikan dan mengamalkan ilmunya disana, akan tetapi beliau diminta oleh pemerintah untuk mengbdikan dirinya dikota Jakarta untuk aktif mengajar. Di antara tempat mengajarnya yaitu di Institute Ilmu al-Qur`an Jakarta, Istitute Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an (ISIQ/PTIQ), Pengajian Tinggi Islam Masjid Istiqlal, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lain sebagainya.[12] Dan Beliau juga mengasuh Pesantren Mahasiswa Darus Sunnah Jakarta.[13]

D.    Pemikiran Dakwah KH. Ali Mustafa Yaqub dalam Pendekatan Antropologi
Secara garis besar, pemikiran KH Ali Mustafa Yaqub dimulai dari beliau bersama teman- teman santri Darus- Sunnah mengaji dan mengkaji kitab- kitab Hadis yang enam (al-Kutub al-Sittah) yaitu: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tarmidzi, Sunan al-Nasa’i dan Sunan Ibn Majah, mereka mendapatkan ketengan-keterangan tentang “keakraban” hubungan antar umat- Islam dengan orang- orang non-Muslim (antar umat beragama). Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub hal tersebut sangat menarik untuk dikaji, mengingat selama ini ada beberapa golongan umat yang mencapur adukan rasa toleransinya dengan akidah yang dimiliki. Pada saat beliau berdiskusi, beliau mendapat telepon dari perwakilan Departemen Agama untuk menyampaikan uraian terkait Nuzul al-Qur’an. Tema yang akan beliau bawakan terkait permasalahan Indonesia saat itu, yaitu Meningkatkan Kerukunaan dan Persatuan bangsa. Beliau mengumpulkan Kitab-kitab Hadis dan Sirah Nabi Saw. Beliau mencari materi yang dapat memberikan petunjuk untuk hal tersebut. Mulai dari mencari petunjuk dari Al-Quran mengenai Nabi Saw memberikan contoh terkait, mencari apakah masyarakat yang di pimpin Nabi Saw terdapat Pluralisme, sebagaimana seperti halnya Indonesia.[14]
Dalam konstruksi pemahaman hadits, Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa pada dasarnya hadits Nabi harus dipahami secara tekstual atau apa adanya (lafzdiyyah).[15] Jika tidak memungkinkan, maka sebuah hadits diperbolehkan untuk dipahami secara kontekstual.[16] Menurut Ali Mustafa, hadits-hadits yang mestinya dipahami secara tekstual adalah hadits yang berkenaan dengan perkara gaib (al-umu>r al-ga’ibiyyah) dan ibadah murni (al-‘ibadah al-mahdah).[17] Dengan lebih terperinci mengenai perkara gaib, Ali Mustafa menyebutkan bahwa perkara gaib dapat dibedakan menjadi dua kategori: pertama, gaib yang relatif (ga’ib nisbi); seperti keberadaan Kota New York. Bagi orang yang belum berkunjung, kota tersebut masih disebut gaib tetapi tidak demikian halnya bagi orang yang pernah berkunjung ke sana. Kedua, gaib mutlak (ga’ib haqiqi), seperti perihal datangnya hari Kiamat, hakikat Allah, surga, neraka dan sebagainya. Untuk hal-hal seperti ini.
Ali Mustafa Yaqub dalam pemikiran dakwahnya banyak mengkritik hadits dalam ilmu hadits disebut dengan naqd al-Hadits merupakan inti dari kajian-kajian dalam ilmu hadits. Sebab dengan kritik hadits dapat diketahui mana hadits yang shahih dan mana hadits yang tidak shahih. Selanjutnya, hadits yang shahih dijadikan hujjah, sedangkan hadits yang tidak shahih tidak dijadikan hujjah.
Menurut Ali Mustafa Yaqub kritik hadits mencakup dua aspek, yaitu kritik terhadap matan dan kritik terhadap sanad hadits. Dalam sejarahnya, kritik matan hadits lahir lebih awal dari pada kritik sanad hadits. Kritik matan sudah ada pada zaman nabi Muhammad, sementara kritik sanad baru muncul sesudah terjadinya fitnah di kalangan umat Islam, yaitu perpecahan di kalangan mereka menyusul terbunuhnya khalifah Usman bin Affan pada tahun 35 H.[18] Sejak itulah setiap orang yang menyampaikan hadits selalu ditanya dari siapa ia memperoleh hadits itu. Apabila hadits itu diterima dari Ahl al-Sunnah, maka ia diterima sebagai hujjah dalam agama Islam. Namun, apabila hadits itu diterima dari Ahl al-Bid’ah,  maka ia ditolak sebagai hujjah.[19]
Karena jumlah rawi-rawi hadits semakin hari semakin banyak, sementara matan yang diriwayatkan tidak bertambah, maka dalam perkembangan selanjutnya, porsi untuk melakukan kritik sanad yang merupakan silsilah keguguran rawi-rawi itu semakin banyak jumlahnya. Sedangkan penelitian terhadap matan tidak mengalami perkembangan seperti itu. Inilah yang membuat seolah-olah para ulama kritikus hadits hanya mencurahkan perhatianya pada kritik sanad saja, dan tidak melakukan kritik matan. Faktor inilah yang membuat sementara kaum orientalis dan murid-muridnya menuduh bahwa bahwa para ulama ahli hadits hanya melakukan kritik sanad, dan tidak melakukan kritik matan, sehingga hadits yang semula dinyatakan shahih, setelah dilakukan penelitian terhadap matanya dikemudian hari, ternyata ia tidak shahih.[20]
Di jaman modern ini, Ali Mustafa Yaqub pernah menyebut nama-nama sebagai pihak-pihak yang berpandangan kritis terhadap hadits nabi diantaranya yaitu Muhammad Abduh (w. 1905), Rasyid Ridha (w. 1935), Ahmad Amin, Ismail Adham, dan Abu Rayyah.[21]
Ada banyak hadis yang dikaji atau diteliti oleh Ali Mustafa Yaqub. Salah satu contoh yang di kritik oleh beliau adalah seperti contoh di bawah ini:
“Orang yang beribadah haji di Baitullah, dan ia tidak menziarahi aku, maka sesungguhnya ia telah memusuhi aku.”[22]
Sumber kelemahan atau kepalsuan hadis ini adalah dua hal, yaitu sanad dan matan. Dari segi sanad, dalam hadis ini terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Muhammad, dan kakeknya al-Nu’man bin Syibl. Dua orang rawi cucu berkakek ini sangat lemah periwayatan hadisnya. Muhammad bin Muhammad dalam beberapa sumber terdapat salah cetak sehingga tertulis Muhammad bin Mahmud adalah matruk (dituduh berbuat dusta ketika meriwayatkan hadis karena perilaku sehari-harinya dusta). Sementara kakeknya, al-Nu’man bin Syibl, dimana Muhammad bin Muhammad meriwayatkan hadis daripadanya juga dijuluki sebagai pembohong. Karenanya, kedua perowi ini gugur periwayatan hadisnya, dan hadis-hadis yang mereka riwayatkan dinilai sebagai hadis palsu.[23]
Dari segi matan, hadis ini juga tidak sahih (palsu). Sebab menyetrui nabi adalah perbuatan yang membawa konsekuensi dosa besar atau dapat disebut kafir. Hal ini berarti orang yang beribadah haji wajib berziarah ke makam nabi itu hukumnya wajib sebagaimana ibadah haji. Tampaknya tidak pernah ada seorang ulama yang berfatwa demikian. Bahkan orang awampun tidak mengatakan seperti itu.[24]


E.     Kiprah KH. Ali Mustafa Yaqub
KH. Ali Mustafa Yaqub merupakan sosok pribadi intelektual muslim. Ia dikenal sebagai pakar ilmu hadits. Sebab itu tidak mengherankan bila ia mengembangkan dakwah Islamiah lewat perspektif hadits. Dan kalau berbicara soal hadits berikut kisi-kisi kehidupan, perilaku dan tindakan Rasulullah Saw., KH. Ali Mustafa Yaqub memang memiliki otoritas.
Semasa hidupnya, KH. Mustafa Yaqub aktif berdakwah melalui mengajar dan pesantren yang didirikannya dan keluarganya. Pada tahun 1989 beliau bersama keluarga mendirikan Pondok Pesantren Darussalam di batang Jawa Tengah Desa kelahirannya dan sekarang Pondok Pesantren tersebut diasuh oleh kakaknya yang bernama K.H. Ahmad Dahlan Nuri Yaqub.[25]
Selain berdakwah dan mengajar di Pesantren keluarganya, beliau juga diangkat sebagai dosen tetap IIQ Jakarta, perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ), dan selain profesinya sebagai pengajar (Dosen) beliau mengisi Pengajian dan sebagai Imam Besar di Masjid Istiqlal Jakarta, dan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sekarang berubah menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga pernah mengajar di Institut Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi (INISA) Tambun Bekasi, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STDIA) Al-Hamidiyah Jakarta.
KH. Ali Mustafa Yaqub juga terlibat di berbagai lembaga dan organisasi. Ia dikenal luas sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal dari tahun 2005 sampai 2016. Selain itu, ia juga mejbat Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Fatwa (2010-2016). Ia juga aktif di MUI, mulai menjadi anggota Komisi Fatwa MUI (1986-2005), Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI (1997-2010), juga Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI (2005-2010). Terakhir sejak 2015, bersama beberapa ulama, ia menggagas organisasi Ikatan Persaudaraan Imam Masjid (IPIM) se-Indonesia.
Yang  menarik, meskipun belum menempuh studi doktoral, ternyata Kiai Ali telah diangkat menjadi Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di IIQ Jakarta pada tahun 1998. Ia menyelesaikan jenjang doktoralnya pada tahun 2006 di Universitas Nizhamia, Hyderabad, India di bawah bimbingan Syekh M. Hassan Hitou, seorang Guru Besar Fikih Islam dan Ushul Fiqh Universitas Kuwait serta Direktur salah satu lembaga studi Islam internasional yang berpusat di Frankfurt, Jerman. Pada tahun 2008, Kiai Ali mendapat penghargaan dari Presiden RI berupa Satya Lencana Wirakarya atas kiprahnya dalam dakwah dan pengajaran Islam di Indonesia.[26]
Secara garis besar, aktifitas dakwah yang sudah dan sedang KH. Ali Mustafa Yaqub lakukan diantaranya adalah:
1.      Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus Sunnah, Pisangan-Barat, Ciputat (1997- sekarang).
2.      Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2005–2010).
3.      Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) Majlis Ulama Indonesia (MUI)  (1997–2010).
4.      Guru Besar Hadits & Ilmu Hadits Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta (1998–sekarang).
5.      Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta (2005–sekarang).
6.      Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Fatwa (2010–sekarang).
7.      Penasihat Syariah Halal Transactions of Omaha Amerika Serikat (2010–sekarang).
Bukan hanya kancah dakwah dalam negeri, beliau juga mengembangkan sayap dakwahnya hingga ke luar negeri. Hal itu bisa kita lihat dari tugas luar negeri yang pernah KH. Ali Mustafa Yaqub laksanakan, diantaranya adalah:
1.      Anggota Delegasi MUI untuk Mengaudit Pemotongan Hewan di Amerika (2000).
2.      Ketua Delegasi MUI untuk Mengaudit Pemotongan Hewan di Amerika dan Kanada (2007).
3.      Peserta & Pemakalah dalam Konfrensi Internasional tentang Metode Penetapan Fatwa di Kuala Lumpur, Malaysia (2006).
4.      Studi Banding tentang Metode Pelestarian al-Quran, di Iran, Mesir dan Saudi Arabia, Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2005).
5.      Studi Banding tentang Metode Pelestarian al-Quran, di Turki, Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2006).
6.      Peserta Konfrensi Internasional ke-6, Lembaga Keuangan Islam, Bahrain (2007).
7.      Safari Ramadhan 1429 H di Amerika dan Kanada (2008).
8.      Naib Amirul Hajj Indonesia, 1430 H/2009 M.
9.      Narasumber Seminar Takhrij Hadits Serantau, Kuala Lumpur Malaysia, (Desember 2009).
10.  Narasumber Seminar Kepimpinan Pegawai-pegawai Masjid, Bandar Seri Begawan Negara Brunei Darussalam (November 2010).
11.  Narasumber Pengajian Ramadhan ad-Durus al-Hassaniyah 1432 H/ 2011 M, Kerajaan Maroko (Agustus 2011). Karya-karya KH. Ali Mustafa Yaqub.[27]
Setelah sekian lama mengabdikan diri untuk agama dan umat, tidak pernah berhenti berkontribusi positif untuk nusa dan bangsa, baik melalui lisan maupun tulisan, akhirnya Ali Mustafa Yaqub menghembuskan nafasnya yang dterakhir di Rumah Sakit Hermina, Ciputat, pada bulan April 2016 pukul 06.00 dalam usia 64 tahun.[28]

F.     Karya KH. Ali Mustafa Yaqub
Ali Mustafa Yaqub adalah seorang ulama yang produktif, di samping kegiatanya yang padat, beliau masih meluangkan waktunya untuk menulis banyak buku.
Adapun karya-karya Ali Mustafa Yaqub di bidang hadits antara lain yaitu: Kritik Hadits, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Hadits-Hadits palsu seputar Ramadhan, Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadits (1991), Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Alih Bahasa dari Muhammad Mustafa Azami, 1994), Kritik Hadits (1995), Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997), Peran Ilmu Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam (1999), Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Quran dan Hadits (2000), M.M Azami Pembela Eksistensi Hadits (2002), Hadits-hadits Bermasalah (2003), Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan (2003), Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadits (2005), Kriteria Halal-Haram untuk Kiblat Menurut al-Quran dan Hadits; Kritik Atas Fatwa MUI No.5/2010 (2011), dll.[29]
Ali Mustafa Yaqub memiliki karya buku yang tidak sedikit jumlahnya, ada sekitar 37 karya buku. Dari banyaknya buku-buku tersebut yang paling banyak adalah tentang hadits, karena memang Ali Mustafa Yaqub merupakan ulama ahli hadits, sehingga kebanyakan karya-karya yang dihasilkannya meliputi tentang hadits.




DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasjim. (2004) Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha. Yogyakarta: Teras.
Abdul Wahid, Ramli.  (2010) Sejarah Pengkajian Hadits di Indonesia. Medan: IAIN Press.
Cholidah, Ni’ma Diana. (2011)“Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer Di Indonesia”. Skripsi, di  UIN Syarif Hidayatyllah Jakarta.
Faury, AlauddĪn Aly Ibn Hisām al-DĪn al-Muttaqy al-Hindy al-Burhan. (1981) Kanzu al Amāl Fi Sunnani al-Aqwāl wa al-Af’āl. tp.: Mu’asasah al-Risālah.
Husnul Mubarak, Muhammad. (2015) “Pemikiran Ali Mustafa Yaqub Tentang Arah Kiblat”. Skripsi, UIN Sunan Kalijaga.
Miski, (2016) Pemahaman Hadits Ali Mustafa Yaqub: Studi atas Fatwa Pengharaman Serban dalam Konteks Indonesia, Riwayah: Jurnal Studi Hadits, vol. 2, no. 1.
Ruslan, Heri. (2011) Hadis-Hadis Palsu. ttp: Republika.
Yaqub, Ali Mustafa. (2003) Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
________________. (1995) Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
________________.(2008) Kerukunan Umat Perspektif Al-Quran dan Hadis. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus.
________________. (1997) Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
________________. (2006) Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
________________. (2012) Hadis-Hadis Bermasalah. Jakarta: Pustaka Firdaus.




[1] Ali  Mustafa  Yaqub, Hadits-Hadits  Palsu  Seputar  Ramadhan,  (Jakarta:  Pustaka  Firdaus, 2003), 143
[2] Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), 240
[3] Ali Mustafa Yaqub, Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm, 143
[4] Ni’ma Diana Cholidah, “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadits Kontemporer Di Indonesia”, (Skripsi, di  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm, 11-12
[5] Riki Efendi, “Pemikiran dan Aktifitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub”, (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), hlm. 40
[6] Nafiysul Qodar‚ Detik-detik Wafatnya Mantan Imam Besar Istiqlal Ali Mustafa,‛ Diambil dari http://news.liputan6.com/read/2494653/detik-detik-wafatnya-mantan-imam-besar-istiqlal-ali-mustafa. Diakses pada 20 Maret 2018.
[7] Ramli Abdul Wahid, Sejarah Pengkajian Hadits di Indonesia, (Medan: IAIN Press, 2010), 37- 40
[8] Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 240
[9] Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 240
[10] Ni’ma Diana Cholidah, “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadits Kontemporer Di Indonesia”, hlm. 12-13
[11] Ni’ma Diana Cholidah, “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadits Kontemporer Di Indonesia”, hlm. 14
[12] Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 240
[13] Muhammad Husnul Mubarak, “Pemikiran Ali Mustafa Yaqub Tentang Arah Kiblat”, (Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, 2015), hlm. 62
[14] Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Perspektif Al-Quran dan Hadis (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 13
[15] Miski, Pemahaman Hadits Ali Mustafa Yaqub: Studi atas Fatwa Pengharaman Serban dalam Konteks Indonesia, (Riwayah: Jurnal Studi Hadits, vol. 2, no. 1 2016), hlm, 19-21
[16] Ali MustafaYaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm, 152
[17] Ali MustafaYaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 21
[18] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 6-7
[19] Heri Ruslan, Hadis-Hadis Palsu, (tp: Republika, 2011), hlm. 4
[20] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, hlm. 6-7
[21] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 46-52
[22] ‘AlauddĪn Aly Ibn Hisām al-DĪn al-Muttaqy al-Hindy al-Burhan Faury, Kanzu al-Amāl Fi Sunnani al-Aqwāl wa al-Af’āl, (tp.: Mu’asasah al-Risālah, 1981), 5: 135
[23] Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012), hlm. 52
[24] Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Bermasalah, hlm. 52
[25] Riki Efendi, “Pemikiran dan Aktifitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub”, (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), hlm. 40
[28] Nafiysul Qodar‚ Detik-detik Wafatnya Mantan Imam Besar Istiqlal Ali Mustafa,‛ Diambil dari http://news.liputan6.com/read/2494653/detik-detik-wafatnya-mantan-imam-besar-istiqlal-ali-mustafa. Diakses pada 20 Maret 2018.
[29] Riki Efendi, “Pemikiran dan Aktifitas Dakwah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub”, (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), hlm. 46

Komentar