LEMBAGA INFORMAL (PERPUSTAKAAN, OBSERVATORIUM DAN HALAQAH)


1.      Lembaga Informal Pendidikan Tinggi Berupa perpustakaan
A.    Pengertian Perpustakan
Perpustakaan berasal dari kata ‘pustaka’ yang berarti kitab atau buku, bibliotheca (bahasa Italia), bibliotheque (bahasa Perancis), bibliothek (bahasa Jerman), bibliotheek (bahasa Belanda).[1] Dalam bahasa Inggris disebut library yang berarti room or building for collection of books kept there for reading (ruang atau bangunan tempat penyimpanan koleksi buku-buku untuk keperluan baca).[2] Liber atau libri (Latin) dan bibliotheek dengan akar kata biblos (Yunani), sebagai bentuk lanjut perkembangan kata ini, dalam kehidupan sehari-hari sering dikenal Bible artinya Alkitab. Dengan demikian istilah dan definisi perpustakaan selalu dikaitkan dengan buku atau kitab.[3]
Dalam bahasa Arab, kata perpustakaan diistilahkan dengan al-Maktabah, dengan asal kata kataba – yaktubu – katban – wakitaban yang diartikan menulis (buku/ kitab). Sedangkan al-Maktabah adalah bentuk masdar dari kata kataba yang memiliki dua pengertian yaitu : 1). Sebagai tempat jual beli buku dan peralatan-peralatan menulis atau dalam istilah lain adalah took buku dan alat tulis; 2). Sebagai tempat menyimpan­ dan memelihara buku.[4] Dari kedua pengertian tersebut, sudah tersirat makna bahwa ‘maktabah’ menunjukkan pada sebuah ruang/ gedung yang berfungsi sebagai tempat sesuatu. Pengertian ini, menandakan­ bahwa keberadaan perpustakaan dikenal sejak awal perkembangan Islam.
Sebuah perpustakaan mempunyai ciri-ciri dan persyaratan tertentu seperti tersedianya ruangan atau gedung yang digunakan khusus untuk perpustakaan, adanya koleksi atau bahan bacaan dan sumber informasi lainnya, adanya petugas yang menyelenggarakan kegiatan dan melayani pengguna perpustakaan, adanya komunitas masyarakat pengguna perpustakaan, diterapkan suatu sistem atau mekanisme tertentu yang merupakan tata cara, prosedur, dan aturan agar segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan perpustakaan dapat berjalan dengan lancar, adanya sarana dan prasarana yang diperlukan antara lain; meja, gedung, komputer, dan lain-lain.[5]
Perpustakan merupakan sistem informasi yang dalam prosesnya terdapat aktivitas pengumpulan, pengolahan, pengawetan, pelestarian, dan penyajian.[6] Sulistyo-Basuki mengatakan perpustakaan merupakan kumpulan buku atau akomodasi fisik tempat buku dikumpulsusunkan untuk keperluan bacaan, studi, kenyamanan ataupun kesenangan. Jadi konsep perpustakaan mengacu pada bentuk fisik tempat penyimpanan buku maupun sebagai kumpulan buku yang disusun untuk keperluan pembaca.[7] Adapun perpustakaan secara konvensional adalah kumpulan buku atau bangunan fisik tempat buku dikumpulkan, disusun menurut sistem tertentu untuk kepentingan pemakai.
Berdasar Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 perpustakaan memiliki pengertian yaitu institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, atau karya rekam secara profesional dengan sistem baku memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka.[8]
Pada dasarnya perpustakaan merupakan bagian dari budaya suatu bangsa, khususnya yang berkenaan dengan budaya literasi, budaya baca, budaya tulis, dokumentasi dan informasi. Dan kebudayaan itu sendiri dapat diartikan sebagai hasil cipta, karsa dan karya manusia, yang terjadinya membutuhkan waktu dan proses panjang, setelah diadaptasi, diuji, dikaji dan diterima oleh masyarakat. Perpustakaan merupakan salah satu simbol peradaban umat manusia, sehingga masyarakat yang telah memiliki perpustakaan yang berkembang baik dan maju, maka masyarakat itulah yang diindikasikan sebagai masyarakat yang berperadaban tinggi.


B.     Sejarah Perpustakaan
Sejarah perkembangan perpustakaan telah dimulai jauh sebelum Masehi. Perkembangan perpustakaan diwarnai dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia itu sendiri. Perpustakaan yang kita kenal seperti sekarang ini adalah lebih tua daripada kertas, buku dan mesin cetak. Sebab perpustakaan telah ada jauh sebelum benda-benda tersebut ditemukan orang.
Perkembangan perpustakaan diperkirakan diawali dengan berkembangnya budaya dan pengenalan bentuk huruf-huruf sebagai formulasi suara atau bahan komunikasi. Huruf-huruf tersebut kemudian dirangkai menjadi kata-kata yang mengandung arti tertentu. Sementara kata-kata dirangkai menjadi kalimat, kalimat yang sempurna disusun menjadi alinea, tulisan baik berupa artikel, kumpulan tulisan naskah, deskripsi maupun buku sebagai formulasi yang lengkap. Pada awal mulanya koleksi perpustakaan terdiri dari tulisan-tulisan pada papirus, perkamen, daun lontar, tablet tanah liat, gulungan-gulungan tulisan dan benda-benda lain.
Tradisi penulisan dan pelestarian informasi dalam suatu media­ tertentu, sudah berkembang sejak kelahiran Islam, yakni berupa penulis­ an wahyu al-Qur’an dan pelestariannya dalam media penyim­panan­ informasi seperti kulit binatang, batu, pelepah kurma dan lainnya. Nabi Muhammad, baik sebagai rasul maupun sebagai pemimpin ummat, sangat menaruh perhatian yang besar terhadap perlunya pencatatan dan penyimpanan dokumen. Ini dibuktikan dengan perintah menulis wahyu dan perlunya dibuat catatan-catatan tertulis sebagai bagian dari kegiatan administrasi. Pada masa Rasulullah, tidak ditemukan tempat khusus yang berfungsi sebagai suatu perpustakaan. Perpustakaan baru tumbuh pada masa Daulah Bani Umayyah.[9]
Sejarah berdirinya perpustakaan di dunia Islam terjadi pada decade keenam abad pertama Hijrah. Abd al-Hakam bin Amr bin Abdullah bun Sufwan al-Jumahi mendirikan perpustakaan umum yang berisi berbagai koleksi buku, serta dilengkapi ruangan untuk bermain. Di dinding dipasang gantungan baju sehingga orang yang masuk dapat menggantungkan bajunya disitu, lalu membaca atau bermain. Disamping itu, terdapat juga perpustakaan khusus untuk membaca al-Qur’an yang didirikan oleh Abd al-Rahman bin Abu Laila. Pada perpustakaan tersebut terdapat mushaf-mushaf dimana para qura’ berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Mereka tidak keluar kecuali untuk suatu keperluan seperti makan.
Merujuk pada pendapat ini, berarti perpustakaan telah berdiri pada sekitar tahun 50-60 Hijriah, atau masa Daulah Bani Umayyah yang berkuasa antara tahun 41-132 H (661-750 M). Perpustakaan pertama berdiri pada awal kekuasaan Bani Umayyah, pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyyah bin Abu Sufyan. Berdasarkan catatan sejarah, Mu’awiyyah menjadi khalifah kurang lebih 20 tahun, yaitu antara tahun 41-60 H.[10]
Seiring dengan perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan munculnya karya tulis para sarjana, berkembang pula produksi kertas yang tersebar luas diseluruh wilayah Islam hal ini kemudian memberikan dorongan besar tidak saja bagi gerakan penulisan, penerjemahan dan pengajaran, akan tetapi juga berpengaruh pada gerakan pengumpulan naskah. Keadaan ini berlangsung ketika seluruh peradaban muslim dilanda debad hebat dan buku menjadi kunci utama untuk menyamapikan gagasan. Kebutuhan akan buku menyebabkan merebaknya perpustakaan diberbagai penjuru dunia islam. Mereka berlomba untuk membeli karangan-karangan ilmiah dari para penulisnya begitu selesai ditulis. Sangatlah jarang istana, masjid-masjid dan madrasah tidak memiliki perpustakaan termasuk para hartawan dan ulama yang cinta akan ilmu pengetahuan, hampir semuanya pada memiliki perpustakaan.[11]





C.    Macam-macam Perpustakaan
Adapun jenis-jenis perpustakaan pada masa keemasan islam terdapat dua macam, yaitu perpustakaan umum dan perpustakaan pribadi.
1)      Perpustakaan umum
Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan atas swadaya masyarakat dan dibuka untuk memberikan layanan informasi bagi seluruh lapisan masyarakat secara mutlak.
Perpustakaan umum didirikan oleh para khalifah, Amir dan hartawan. Untuk perpustakaan tersebut, mereka mendirikan bangunan-bangunan khusus dan terkadang digabung dengan masjid-masjid atau madrasah-madrasah. Adapun perpustakaan umum pada masa keemasan islam antara lain:
a.      Bayt al-Hikmah
Lembaga ini menggabungkan perpustakaan, sanggar sastra, lingkaran studi dan observatorium. Pada umumnya para sejarawan mengaitkan pendirinya dengan khalifah Al-Makmun,tetapi Ahmad salabi mengatakan lain, bahwa lemabaga itu sudah berjalan semasa pemerintahan pendahulu Al-Makmun yakni khalifah harun Ar-Rasyid. Yang pasti Bait alHikmah mencapai puncaknya dalam kegiatan intelektual dimasa khalifah Al-Makmun.[12]
Di Bait alHikmah itu, Al-kindi mendirikan sekolah berbahasa arab yang mengajarkan filsafat parepatik yang kemudian dikembangkan oleh Al-Farobi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Ditempat ini juga Al-khawarizmi tidak hanya memberi sumbangan bagi filsafat, teologi dan matematika tetapi juga melakukan penelitian di laboraturium perbintangan.[13]
b.      Dar alHikmah
Dar al- Hikmah di kairo, didirikan pada tahun 1004 dibawah dukungan dinasti fatimiyah. Dar alHikmah mempunyai pengakuan khusus karena perlengkapannya yang luar biasa. Para pendukungnya yang kaya menyediakan tinta, kertas, meja-meja dan ruang belajar bagi para ilmuan dan para pelajar. Dar alHikmah berjalan selama lebih dari satu abad sebagai pusat utama pendidikan tinggi di mesir sampai Sultan Malik Al-Afdhal kemudian menutupnya pada tahun 1122.[14]
c.       Perpustakaan dinasti Fatimiyah kedua, Al-Aziz (975 samapi 996)
Dalam perpustakaa ini ada 100 karya mengenai leksikografi, yaitu jamhara karya ibn Durayd, yang secara keseluruhan ada empat puluh koleksi buku diperpustakaan istana yang masing-masing koleksi terdapat disatu ruangan, berarti diperpustkaan tersebut terdapat 40 ruangan yang penuh buku, adapun ilmu-ilmu kuno yaitu ilmu alam dan filsafat hellenistik yang ada diperpustakaan tersebut berjumlah 18000 buku.
Dengan memperhatikan uraian diatas, tampaknya perpustakaan umum didunia islam masa keemasan itu lebih merupakan dari sebuah universitas karena disamping terdapat kitab-kitab untuk dibaca atau diterjemahkan, disana juga diperbolehkan berdiskusi. 
2)      Perpustakaan Pribadi
Lembaga informal pendidikan tinggi – Yang dimaksud dengan perpustakaan pribadi adalah perpustakaan yang diselenggarakan atas pribadi seseorang bukan atas swadaya masyarakat dan pada umumnya hanya dimanfaatkan oleh pribadinya saja tidak buka untuk umum. Seluruh ruang perpustakaan dapat dilihat dari satu titik pusat dan dilengkapi dengan sebuah rak terbuka yang dekat dengan penyimpanan buku.
Contoh perpustakaan pripadi pertama yang dimiliki muslim berawal dari adanya minat yang besar akan ilmu pengetahuan dari para pemimpin ulama dan kaum intelektual terutama pada dinasti abbasiyah pada kepemimpinan khalifah Abu ja’far Al-Mansyur, khalifah Harun al-Rasyid dan Abdullah Al-Makmun. Khalifah-khalifah tersebut sangat menjaga dan memelihara buku-buku, baik yang bernuansa agama atau bernuansa umum baik karya ilmuan muslim atau non- muslim, baik karya-karya ilmuan yang semasanya atau pendahulunya. Ini terlihat jelas dari sikap para khalifah, seperti pesannya Harun Al-Rasyid kepada para tentaranya untuk tidak merusak kitab apapun yang ditemukan dalam medan perang. Begitu juga khalifah Al-Makmun yang menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan agama Kristen dan yang lainnya untuk menerjemahkan buku-buku yunani, sampai pada akhirnya Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
3)      Perpustakaan Masjid
Sejak awal perkembangan Islam, masjid menjadi lembaga pendidikan informal ajaran agama yang terbuka untuk masyarakat umum, untuk itu masjid dilengkapi dengan perpustakaan sebagai tempat belajar masyarakat. Keberadaan perpustakaan masjid mempunyai peran yang sangat strategis dalam mencerdaskan jama’ah khususnya dan masyarakat sekitar pada umumnya, maka dari itu perpustakaan masjid perlu ditunjang dengan koleksi buku yang memadai, sesuai dan tepat guna, serta sarana dan prasarana yang menunjang sehingga memudahkan jama’ah untuk mengakases informasi yang ada di perpustakaan.
Masjid tidak hanya ditujukan semata untuk tempat ritual ber­ ibadah, namun juga sebagai sekolah dan tempat untuk belajar. Hingga seperti­nya­ normal saja bila saat itu masyarakat Muslim memiliki ke­ biasaan untuk memberikan buku-buku kepada masjid. Hingga akhirnya dari sekian banyak buku-buku yang disumbangkan kepada masjid membentuk perpustakaan atau darul kutub di samping menjadi masjid itu sendiri.[15]
Seperti dikemukakan oleh al-Jaburi, bahwa Naila Khatum, se­ orang janda kaya berasal dari Turki, mendirikan masjid untuk mengenang suaminya Murad Afandi. Naila menempelkan masjid yang dibangunnya dengan madrasah dan perpustakaan, yang koleksinya dilaporkan berisi buku dan manuskrip berharga, semuanya ditanggung dari kantong sendiri. Di Aleppo, perpustakaan masjid terbesar dan juga tertua, yakni Sufiya yang berada di masjid Agung Kekhalifahan Umayyad. Memiliki jumlah koleksi yang sangat besar dan sekitar 10.000 disumbangkan oleh seorang penguasa yang sangat terkenal yaitu Pangeran Asyf al-Dawla. Di Irak terdapat perpustakaan masjid Abu hanifa, diantaranya penyumbangnya adalah seorang dokter yaitu Yahia Ibn Jazla pada 493 H/ 1143 M dan juga penulis sejarah al-Zamakhshari 538 H.[16]
Mackensen (1935) menyatakan umumnya masjid-masjid memang memilki perpustakaan, tetapi kebanyakan perpustakaan yang dimiliki cukup sederhana. Namun beberapa lainnya memiliki koleksi yang sangat kaya termasuk koleksi langka dan tidak ternilai. Banyak karya ilmiah yang juga termasuk dalam karya ilmiah tersebut adalah ekspresi rasa syukur para ilmuwan karena dijamin kehidupannya.[17]

D.    Peran Perpustakaan dalam Pendidikan Islam

            Perpustakaan pada awal kejayaan Islam menunjukkan perannya dalam menunjang pendidikan umat. Perpustakaan yang dikelola oleh orang-orang Islam tidak hanya memperhatikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keagamaan, seperti masalah ibadah dan teologi, tapi juga mengelola disiplin ilmu yang lain seperti kedokteran, sosial, politik dan sebagainya. Dengan berkembangnya perpustakaan inilah, dunia ilmu pengetahuan menjadi bergairah dalam sejarah pendidikan Islam.
            Secara garis besar, perpustakaan memiliki peran sentral dalam perkembangan pendidkan Islam, yakni:

1)      Pusat Belajar (Learning Center)

Setelah masa Khulafaur-Rasyidin, peradaban Islam berkembang dengan pesat. Perkembngan itu antara lain adalah proses pendidikan pertama pada masa Umaiyah dan Abbasiyah. Pada masa ini gairah dan apresiasi umat pada perpustakaan sangat tinggi. Mereka membangun per­ pustakaan, baik umum, khusus maupun perpustakaan pribadi. Sehingga tidak heran banyak masjid dan sekolah memiliki perpustakaan. Mereka menganggap bahwa perpustakaan sama pentingnya dalam membangun ilmu pengetahuan. Bahkan fungsi perpustakaan kadang-kadang tidak dapat dibedakan dengan fungsi lembaga pendidikan karena sama-sama memberikan sumbangan dalam pengajaran kepada umat.

2)      Pusat Penelitian

Sesungguhnya peran penelitian yang dilakukan oleh perpustakaan pada masa awal Islam sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat dari ber­ bagai peristiwa, misalnya utusan khalifah-khalifah atau raja-raja untuk membahas suatu bidang ilmu tertentu di perpustakaan-perpustakaan yang terkenal memiliki koleksi yang cukup besar dan lengkap seperti Bait al-Hikmah dan Darul Hikmah. Disamping itu, para peneliti dan cendekiawan yang mencoba mengembangkan suatu ilmu yang berkaitan­ dengan keahliannya. Banyak di antara mereka yang melakukan per­ jalanan dari suatu perpustakaan ke perpustakaan lain untuk merumuskan dan melakukan penemuan-penemuan baru. Tentu saja aktivitas semacam ini tidak pernah terhenti sampai sekarang dan begitu pula pada masa datang selama perpustakaan menjalankan fungsinya sebagai sumber informasi.

3)      Pusat Penerjemahan

Berdasarkan catatan sejarah, dunia perbukuan dalam Islam berkem­­ bang atas jasa para ahli penterjemah. Sehingga perpustakaan pada masa itu menjadi jembatan dari kebudayaan. Misalnya, kebudayaan dan ilmu pengetahuan Yunani Kuno diterjemahkan ke dalam bahasa Arab untuk dipelajari oleh masyarakat. Dalam konteks ini perpustakaan menjadi sponsor atas semua kegiatan tersebut. Aktivitas semacam ini telah men­ dapatkan respon positif sehingga para penerjemah memperoleh status yang baik dalam masyarakat. Situasi ini mulai pada saat didirikannya perpustakaan­ yang pertama dalam dunia Islam. Menurut Kurd Ali, orang yang pertama kali menekuni bidang ini ialah Chalid Ibnu Jazid (meninggal tahun 656 M). Di lain sumber dikatakan bahwa Ibnu Jazid telah mencurahkan perhatiannya terhadap buku lama, terutama dalam ilmu kimia, kedokteran dan ilmu bintang.



4)      Pusat Penyalinan

Salah satu hal yang dapat dibanggakan oleh kaum Muslimin yaitu sejak dari abad pertengahan telah dirasakan pentingnya bagian percetakan­ dan penerbitan dalam suatu perpustakaan. Oleh karena itu alat-alat percetakan sebagaimana yang kita lihat di abad modern ini belum ada di masa itu, maka untuk mengatasi hal ini mereka adakan seleksi penyalinan­ pada tiap-tiap perpustakaan. Penyalinan buku itu diselenggarakan­ oleh penyalin-penyalin yang terkenal kerapihan kerja dan tulisannya.

2.       Lembaga Informal Pendidikan Tinggi Berupa  Observatorium
A.    Pengertian Observatorium
Observatorium memiliki asal kata dari bahasa Latin observare atau observat yang berarti melihat, mengamati, kemudian kata tersebut menjadi observatorium yang artinya tempat pengamatan. Sedangkan asal kata observatorium dalam bahasa Inggris, yaitu observatory berasal dari bahasa perancis observatoire yang juga berasal dari kata Latin observare yang telah disebutkan sebelumny. Maka kata observatorium memiliki kedekatan dengan pengamatan.
Observatorium menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti “gedung yang di lengkapi alat-alat (teleskop, teropong bintang, dan sebagainya), untuk keperluan pengamatan dan penelitian ilmiah tentang bintang dan sebagainya.

B.     Peran Observtorium
Observatorium berperan penting dalam tranmsisi keilmuan, sebab di observatorium itu sering diadakan kajian-kajian terhadap ilmu pengetahuan. Khalifah Al-Hakim pernah membangun observatorium di Dar Al-Hikmah, penguasa dinasti hamadan juga pernah membangun observatorium dengan mengangkat Ibn sina untuk mengelolanya.
Disamping itu khalifah Al-Makmun mendirikan laboraturium perbintangan dan pada tahun 828 mengangkat seorang ahli matematika yang brilian, Al-khawarizmi untuk mengarahkan studi dan penelitian diobservatorium tersebut. Setelah abad ke 10 observatori-observatori memperoleh dukungan dari para penguasa yang membangun lembaga-lembaga itu untuk penjelajahan dunia angkasa yang lebih jauh. Pada sekitar tahun 1023 Ratu Al-Daulah di Hamadan, Persia membiayai pembangunan Laboratorium Bagi Ibnu Sina. Juga para penguasa pemerintahan Bani saljuq di Baghdad membangun sebuah observatori besar bagi Umar Al-khayyam dan teman-temannya dengan sebuah kepercayaan bagi mereka untuk menyusun sistem penanggalan yang lebih tepat. Hal ini mereka kerjakan pada sekitar tahun 1100.
Laboraturium yang paling terkenal dalam wilayah pemerintahan islam berdiri di kota maraghah, Persia pada tahun 1261. Anehnya pembangunannya telah dilakukan atas perintah Hulagu yang merupakan cucu raja Jengiskan dan memimpin pasukan mongol yang telah menghancurkan kota-kota penting diwilayah pemerintahan Islam di bagaian timur, termsuk baghdad. Observatori ini menyimpan perlengkapan yang paling maju untuk penelitian perbintangan yang kemudian terkenal dan ditempatkan dibawah pengaturan seorang multi disipliner besar, Al-Tusi. Observatori itu terkenal karena ketepatan quadrantnya dengan radius 430 cm. ukuran terbesar yang dikenal pada saat itu. perlengkapan observatori itu antara lain meliputi armillary sphers, solstitial armilla, equinoctial armilla dan azimuth rings yang semuanya sangat penting untuk pemetaan perputaran benda-benda angkasa, perpustakaan yang digabungkan dengan laboratorium itu menyimpan sekitar 400.000 volume mencakup semua bidang ilmu pengetahuan. 
3.      Lembaga Informal Pendidikan Tinggi Berupa Halaqah
A.    Konsep Dasar Halaqah
Halaqah bermakna lingkaran. Artinya proses belajar mengajar disini dilaksanakan dimana murid-murid melingkari gurunya.[18]  Seorang guru biasanya duduk dilantai, menerangkan, membacakan karangannya atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan dihalaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum termasuk filsafat. Oleh karena itu, halaqah ini dikelompokkan kedalam lembaga pedidikan yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum. Dilihat dari segi ini, halaqah dikategorikan kedalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengan college.[19]
Dari sistem halaqah ini kita mendapatkan gambaran tentang bagaimana Ibn sina menyelenggarakan halaqahnya mulai saat fajar dan berdiskusi serta membaca dihalaqah itu hingga pertengahan waktu pagi. Al-Ghazali juga digambarkan sebagai seorang yang telah mengucilkan diri dari kehidupan masyarakat umum, mendirikan sebuah lingkaran para ilmuan dirumahnya yang memperoleh perhatian secara pribadi. Jelas, reputasi seorang syaikh (guru) sangat menentukan kemampuannya untuk menarik para murid dan popularitas intelektual dari lingkarannya sendiri.[20]

B.     Metode dan Kurikulum Halaqah
Metode yang digunakan dalam sistem halaqah adalah metode diskusi. Seorang syaikh atau guru merangsang diskusi diantara pelajar dan mendorong mereka untuk saling menantang termsuk menantang dirinya, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis, bahkan para pendengar (tamu) yang hadir juga dirangsang  untuk terlibat dalam proses perdebatan yang juga merupakan metode pengajaran di halaqah dan tidak jarang diskusi menjadi memanas diantara para pelajar dan syaikh. atau guru.
Adapun kurikulum lingkaran studi sejalan dengan pengetahuan dan minat seorang syaikh dan tergantung pada pengalaman dan keahliannya. Namun, kajian filsafat yang tidak memperoleh tempat pijakan dalam standar kurikulum dilembaga-lembaga pendidikan formal, maka kajian filsafat mendapatkan tempatnya pada lingkaran studi informal. Dari forum ini, kemudian studi filsafat mempengaruhi kehidupan intelektual dalam peradaban islam. Sebuah kelas pengajaran tingkat permulaan didalam halaqah barang kali diawali dengan buku “isagoge” dan komentar tentang karya-karya aristoteles dan berlanjut dengan sejumlah manuskrip terjemahan karya-karya filsafat bangsa yunani yang dimiliki seorang pembimbing[21].
Apabila seorang syaikh atau guru dalam halaqah ini seorang multidisipliner sejati yang sangat pandai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan, pengajaran boleh jadi mencakup unsur-unsur ilmu pengetahuan alam dan kedokteran. Setiap syaikh memiliki kecendrungan sendiri dalam hal ilmu-ilmu Non- islam (ilmu-ilmu asing) dan mungkin dia sudah terkenal keterampilannya dalam mengajarkan mata pelajaran tertentu, tanpa harus mengabaikan mata pelajaran yang lain.
Semua lingkaran studi yang berlangsung dirumah sakit dan observatori cenderung menekankan pengajarannya pada ilmu-ilmu alam dan seni pengobatan. Lingkaran-lingkaran studi juga menyediakan tempat bagi para ilmuan muda untuk belajar keterampilan berdebat secara filosofis dan penggunaan logika dan penyanggahan untuk mempertahankan tesis-tesisnya sekaligus menguji atau menantang tesis-tesis orang lain.

C.    Peran Halaqah dalam Perekembangan Ilmu Pengetahuan
Lingkungan studi mengurai akar dalam islam dan berkembang dinegara-negara islam sampai sekarang, dengan munculnya gerakan tradisionalis dan penolakan yang perlahan-lahan terhadap filsafat dan teologi, lingkaran studi dirumah-rumah pribadi menjadi media utama bagi para ilmuan muda untuk mengenal  bidang-bidang kajian bangsa yunani dan memindahkan warisan kebudayaan itu kepada bangsa Eropa abad pertengahan. Tanpa halaqah tidaklah mungkin karya-karya Al-kindi, ibn sina, Al- Farobi dan ibn Rusyd tersebar begitu luas keseluruh penjuru wilayah kekuasaan islam.[22]


[1] Lasa. Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009, hlm. 262
[2] AS.Hornby. Oxford Advanced Dictionary English. Oxford: The University Press, 1989, hlm. 718
[3] Sulistyo-Basuki. Periodesasi Perpustakaan Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 2
[4] Ibrahim Anis, et al. al-Mu’jam al-Wasith. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973, hlm. 774-775

[5] Sutarno.Perpustakaan dan Masyarakat.Jakarta: Sagung Seto, 2006, hlm. 12
[6] Lasa. Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009, hlm. 262
[7] Sulistyo-Basuki. Periodesasi Perpustakaan Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 2
[8] (FOTENOOT UUD YG SESUAI)
[9] Agus Rifai. Perpustakaan Islam: Konsep, Sejarah dan Kontribusinya dalam Membangun Peradaban Islam Masa Klasik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 60

[10] Agus Rifai. Perpustakaan Islam: Konsep, Sejarah dan Kontribusinya dalam Membangun Peradaban Islam Masa Klasik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 60-61
[11] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm.36
[12] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 98
[13] Charles Micahel Stanton, Pendidikan tinggi dalam Islam, hlm,169
[14] Charles Micahel Stanton, Pendidikan tinggi dalam Islam, hlm, 170.
[15] Johannes Pedersen. Fajar Intelektual Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab. Bandung: Mizan, 1996, hlm. 169
[16] Agus Rifai. Perpustakaan Islam: Konsep, Sejarah dan Kontribusinya dalam Membangun Peradaban Islam Masa Klasik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 96
[17] Agus Rifai. Perpustakaan Islam: Konsep, Sejarah dan Kontribusinya dalam Membangun Peradaban Islam Masa Klasik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 96
[18] Charles Micahel Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, hlm. 169
[19] Charles Micahel Stanton, Pendidikan tinggi dalam Islam, hlm. 170
[20] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 42
[21] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 43
[22] Mansyur dan Mahfud Junaidi, Rekonstruksi sejarah Pendidikan di Indonesia (Jakarta: departemen Agama RI, 2005), hlm. 40
90

Komentar