Standarisasi Kecantikan Perspektif Ideologi dan Kekuasaan

ABSTRAK
Standar Kecantikan di Media Televisi Indonesia Perspektif Ideologies and Power
Wacana cantik merupakan konstruksi budaya, sehingga dinilai relatif. Akan tetapi dalam dunia materialis, televisi menggambarkan sosok manusia ideal akan selalu dikaitkan dengan seorang yang cantik dan tampan yang semuanya berorientasi pada fisik,  kesadaran ini telah menjadi kesadaran kolektif di masyarakat. Sehingga tidak heran jika banyak orang akan berusaha agar selalu cantik. Sosok manusia ideal di televisi digambarkan kulit mulus, putih, bibir merah merekah dll. Padahal kecantikan perilaku justru kecantikan hakiki.
Berdasarkan konteks di atas, pertanyaan mayornya adalah bagaimana standar kecantikan di media televisi dalam perspektif ideologies and power? Sedangkan pertanyaan minornya adalah seperti apa origin of the term marxist approaches memandang standar kecantikan? Bagaimana post marxism and critical pluralism mengkritik standar kecantikan yang telah terkonstruksi sebelumnya? Sejauh mana discourses and lived cultures mengkonstruksi standar kecantikan melalui meda televisi di Indonesia?
Makalah ini menyatakan bahwa standar kecantikan yang terkonstruksi oleh penguasa yang lebih memiliki wewenang seakan mampu mengotak-atik definisi cantik di Indonesia. Indonesia yang merupakan bekas jajahan Belanda Jepang menyebabkan konstruksi cantik masih mengikuti kelas mereka dan seakan-akan menjadi menjadi nilai mutlak.
Persoalan di atas dianalisis dengan menggunakan teori  Ideologies and Power dari Branston dan Stafford (2003: 117-133). Terdapat tiga unsur penting terkait teori  Ideologies and Power, yakni: (1) origin of the term marxist approaches, (2) post marxism and critical pluralism, dan (3) discourses and lived cultures. Teori ini menjelaskan bagaimana kekuasaan mempengaruhi ideologi di masyarakat. Pertama dikaji melalui pendekatan marxisme yang mengkategorikan kelas yang berkuasa dan yang dikuasai, kedua melalui kritik post marxisme dengan gagasan tentang satu kelas universal, dan yang ketiga melalui pendekatan berbasis budaya lokal dan berpikiran global terhadap komunikasi manusia.
Konsep al-Qur’an yang relevan dengan teori ideologi yaitu fikrah (pemikiran) dan thariqah (cara untuk menerapkan pemikiran itu). Sedangkan konsep kekuasaan adalah ulil amri (QS. An-Nisa: 58-59). Dan konsep Khalifah onsep Istikhlafu Al Insan.
Analisis jawaban pertama, Nilai kecantikan masih dianggap seperti apa yang media konstruksi, sehingga penjualan produk-produk kecantikan di Indonesia dan minat untuk cantik yang mahal justru membuat banyak perempuan melakukan banyak cara untuk mengikutinya, dan tentunya ini bukanlah hal yang sehat. Kedua, cantik dalam pandangan post Marxisme justru cantik yang dilihat dai sudut perilaku dan mengkritik standar cantik yang media bentuk. Ketiga, Perempuan cantik menurut budaya adalah yang berkulit yang putih, bersih tanpa noda, lembut, tanpa minyak, bersinar, sehat, rambut panjang hitam, tubuh tinggi dan ideal.
Sebagai refleksi, kecantikan adalah hal yang paling  diperhatikan oleh perempuan. Setiap perempuan di berbgai negara memiliki standr kecantikan yang berbeda-beda mengikuti standarisasi wilayahnya. Di Indonesia standar kecantikan dibangun televisi mengikuti negara yang pernah berkuasa yakni Jepang dan Belanda. Akan tetapi cantik yang secara hakiki adalah lebih dari itu, yaitu kecantikan perilaku.

            Kata kunci: Standarisasi cantik, Televisi, Konstruksi budaya, Ideologi, Kekuasaan.
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Kecantikan memang sangat identik dengan kaum perempuan. Sejak dulu kecantikan sudah dikonstruksikan oleh masyarakat dan menjadi kontrol sosial bagi perempuan. Konstruksi sosial tersebut membentuk persepsi perempuan akan standar kecantikan yang ideal dan diakui di masyarakat.
Menjadi “perempuan” berarti menjadi cantik, dan sebaliknya tidak cantik sangatlah tidak perempuan dan cantik adalah kata yang sebagian besar mengacu pada sifat fisikal, maka kecantikan hanyalah ornamen, bukan keanggunan yang sesungguhnya.” (Melliana, 2006 : 11).
Dalam hal ini, menjadi seorang perempuan seolah-olah dituntut untuk memiliki fisik yang cantik agar dapat diakui dan diterima oleh masyarakat. Kecantikan perempuan lebih dilihat melalui fisik dibanding dengan kecantikan dari dalam diri mereka, seperti kepribadian, moral, etika, cara berpikir dan sebagainya. Sedangkan kecantikan fisik bukanlah gambaran akan kecantikan perempuan yang sesungguhnya.
Beberapa pihak mengatakan bahwa kecantikan merupakan sesuatu yang relatif bagi masing-masing orang. Namun disadari atau tidak disadari, pada kenyataannya makna tentang kecantikan seakan-akan telah disamaratakan dan menjadi suatu kebenaran yang diyakini.
“Perempuan lebih mementingkan penampilan fisiknya dibanding laki-laki, juga karena pendapat bahwa keberhasilan dalam menyesuaikan diri di masyarakat dipengaruhi oleh bagaimana masyarakat memandang dan menilai penampilan fisiknya.” (Grinder dalam Melliana, 2006 : 16).
Pandangan akan kecantikan yang ideal bagi perempuan tidak terlepas dari pengaruh pewacanaan industri kecantikan global. Sebagai industri yang besar, industri kecantikan global sangat kuat dalam mendominasi dan mengarahkan pandangan publik terhadap standar-standar kecantikan. Hal ini tentu saja mempengaruhi dan mengobsesi banyak perempuan untuk dapat tampil sesuai dengan standar kecantikan ideal yang sedang berlaku di masyarakat. Dengan memiliki penampilan cantik maka perempuan merasa lebih mudah diterima dan diakui oleh masyarakat.
Kecantikan perempuan yang terus menerus diarahkan oleh media televisi dan dikontrol membuat posisi perempuan menjadi lemah, bahkan terhadap tubuh dan kecantikannya sendiri. Melihat kecenderungan tersebut, maka industri kecantikan menangkap dan memanfaatkan kelemahan perempuan sebagai potensi bisnis yang menjanjikan dengan menghadirkan klinik kecantikan berbasis hospitality.
Pentingkah menyoal isu kecantikan jika hal itu kerap dianggap sebagai sesuatu yang profan—bahkan oleh sebagian perempuan itu sendiri? Jika sebuah ikln atau film di televisi menjadikan kecantikan sebagai konflik (utama) di antara karakter-karakter yang bermain di dalamnya, itu berarti persoalan kecantikan barangkali memang bukan isu sepele. Dalam wacana gender, kecantikan dihubungkan dengan institusi patriarki, kontestasi antarperempuan, dan industri kapitalistik.[1]
Cantik-cantik yang digambarkan dalam iklan dan film dalam televisi menurut Naomi Wolf meracuni alam bawah sadar perempuan direpresentasikan.[2] Ada persoalan khas dalam cantik yang tidak sama dengan wacana kecantikan perempuan pada dunia pertama Wolfian. Masalah usia, misalnya. Menurut Wolf, bertambahnya usia adalah sesuatu yang sangat ditakuti oleh perempuan dalam kaitannya dengan kecantikan. Namun, dalam iklan di televisi, banyak iklan yang menganggap tua bisa diatasi, keriput di wajah bisa dihaluskan, seperti iklan, Olay, POND’S beauty dan Marks yang mengetahui bagaimana konsep ideal dari kecantikan untuk perempuan yang dibangun oleh iklan produk kecantikan kulit di televisi, sehingga perempuan setuju tanpa adanya paksaan. Hal ini adalah contoh dari konsep ideological state aparatus.[3]
Ideologi tersebut mempunyai keluwesan yang merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan ideologi yang bersangkutan tanpa menghilangkan atau meningkari jati diri yang terkandung pada nilai-nilai dasar tersebut.[4]
Penawaran gaya hidup mengenai tubuh dan kecantikan melalui media memang memiliki peran besar dalam mempengaruhi masyarakat, terutama kaum perempuan. Hal ini membuat perempuan menjadi target pasar yang sangat penting bagi para pemilik modal. Sama halnya dalam industri kecantikan, perempuan berpotensi untuk menjadi pembelanja yang boros dalam mengkonsumsi perawatan dan produk dari klinik kecantikan. Mengeluarkan banyak waktu dan uang untuk memelihara tubuh, merupakan karakter masyarakat konsumer.
Konstruksi identitas mengenai citra perempuan yang sesungguhnya adalah perempuan seperti apa yang digambarkan melalui kata-kata atau slogan yang ada dalam majalah cosmpolitan. Wanita yang cantik dan seksi dalam majalah ini seakan-akan menjadikan wanita sebagai subjek yang dipandang. Identitas perempuan dikonstruksikan semata-mata demi keuntungan ekonomi saja.[5]
Sampai saat ini masalah perempuan dan pandangan mengenai kecantikan masih menjadi masalah yang menarik. Banyak penelitian-penelitian yang meneliti tentang perempuan, iklan, kecantikan dan gaya hidup terutama karena pengaruh televisi.
Lantas mengenai konstruksi akan kecantikan yang dibentuk oleh televisi akan melihat bagaimana perempuan bisa begitu terbawa oleh makna kecantikan yang digambarkan televisi, sehingga mereka tergantung untuk terus melakukan perawatan kecantikan di sesuai yang digambarkan televisi.
2.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka masalahnya dirumuskan:
A.    Seperti apa origin of the term marxist approaches memandang standar kecantikan?
B.     Bagaimana post marxism and critical pluralism mengkritik standar kecantikan yang telah terkonstruksi sebelumnya?
C.     Sejauh mana discourses and lived cultures mengkonstruksi standar kecantikan melalui meda televisi di Indonesia?
PEMBAHASAN
Kerangka Teoritis Sebuah Perspektif Ideologies and Power (Ideologi dan Kekuasaan)
1.      Teori Ideologies and Power
Konsep ideologi merupakan kunci dari studi media, mengandung nilai, ideologi atau gagasan, dan mengesampingkan posisi politik praktis. Kekuasaan dan ideologi tergantung kepada kualitas tiga dimensi yang terdapat dalam ideologi tersebut, yaitu sebagai berikut.
a.       Kumpulan gagasan yang memberi beberapa catatan tentang dunia sosial, biasanya bersifat parsial dan selektif.
b.      Hubungan ide atau nilai merupakan jalan kekuatan kontribusi sosial
c.       Cara di mana nilai dan makna semacam itu biasanya diajukan secara alami dan jelas daripada disesuaikan secara sosial dengan atau melawan kelompok kekuatan tertentu. [6]
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut secara riil hidup di dalam dan bersumber dari budaya dan pengalaman sejarah masyarakat atau bangsanya. Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme yang memberikan harapan masa depan yang lebih baik melalui pengalaman di dalam praktik kehidupan sehari-hari secara bersama-sama. Ideologi tersebut mempunyai keluwesan yang merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan ideologi yang bersangkutan tanpa menghilangkan atau meningkari jati diri yang terkandung pada nilai-nilai dasar tersebut.
Reproduksi penyerahan kepada ideologi yang berkuasa untuk para pekerja, dan reproduksi kemampuan untuk memanipulasi ideologi yang benar dengan benar untuk agen eksploitasi dan represi, sehingga mereka juga akan menguasai dominasi kelas penguasa 'dengan kata-kata'.
Dengan kata lain, contoh: sekolah (tapi juga institusi Negara lain seperti Gereja, atau aparatur lain seperti Angkatan Darat) mengajarkan 'pengetahuan', namun dalam bentuk yang memastikan tunduk pada ideologi yang berkuasa atau penguasaan 'praktiknya'. Semua agen produksi, eksploitasi dan represi, untuk tidak berbicara tentang 'profesional ideologi' (Marx), bagaimanapun juga harus 'tenggelam' dalam ideologi ini untuk menjalankan tugas mereka 'secara sadar' - tugas dari yang dieksploitasi (kaum proletar), para penghisap (kapitalis), dari pelengkap alat peledak (para manajer), atau imam besar dari ideologi yang berkuasa (yang 'fungsionaris'), dll.[7]

A.    Origin of the term; Marxist approaches
Marxisme adalah sebuah paham yang berdasar pada pandangan-pandangan Karl Marx.[8] Teori marxist cenderung menekankan kepada peran media massa dalam perkembangbiakan status quo yang membedakan dengan paham liberal dan menekankan peran media dalam mengembangkan kebebasan berbicara. Biasanya, pandangan marxian tergantung pengaruh media dalam suatu pengembangan dan perluasan operasi yang menyangkut dugaan ideologi.
Marxists melihat masyarakat kapitalis sebagai salah satu kelas dominasi, media dipandang sebagai bagian dari arena ideologis di mana berbagai kelas yang sedang berjuang dilihat, walaupun dalam konteks dominasi dari kelas-kelas tertentu, kontrol pemikiran semakin terkonsentrasi di monopoli modal; media profesional, sambil menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma yang menginternalisasikan budaya yang dominan, media yang diambil secara keseluruhan, relay interpretif kerangka konsonan dengan kepentingan kelas yang dominan, penonton dan media, sementara terkadang terjadi kontes dan negosiasi dalam kerangka ini, kurangnya akses ke alternatif siap berarti sistem yang akan memungkinkan mereka untuk menolak definisi yang ditawarkan oleh secara konsisten dengan definisi. Menurut Karl Marx, hal paling mendasar yang harus dilakukan manusia agar dapat terus hidup adalah mendapatkan sarana untuk tetap bertahan hidup. [9]
Tiga dari penekanannya sangat penting untuk studi media:
1)      Ide dominan (yang menjadi 'sehat sehat') dari masyarakat mana pun yang bekerja demi kepentingan kelas rulling, untuk mengamankan peraturan atau dominasinya.
2)      Berkaitan dengan hal ini, ia mengemukakan sebuah model basis suprastruktur peran sosial institusi seperti media.
3)      Langkah penting terakhir adalah argumen bahwa, melalui rangkaian hubungan kekuasaan ini, kelas yang dominan mampu membuat pekerja percaya bahwa keluar dari hubungan eksploitasi dan penindasan adalah hal yang wajar dan tak terelakkan.[10]

B.     Post marxism and critical pluralism;
Beberapa perubahan terakhir di dunia telah mempengaruhi kekuatan teori marxist 'klasik':
1)      Runtuhnya sosialisme negara bagian timur.
2)      Teori media mereka setara: kecenderungan untuk merayakan kekuatan khalayak hanya dalam kaitannya dengan media.
3)      Pengaruh beberapa pos posisi modern, yang walaupun biaya 'dekontruktif' mereka sering nampaknya telah meninggalkan usaha untuk berkontraksi dunia yang akuntabel atau dapat ditingkatkan.
4)      Sebuah specticisme yang berkembang tentang klaim sains terhadap kebenaran absolut atau konsekuensi jinak yang penting.
Marxisme merupakan salah satu sudut pandang teoretis yang mengungkapkan pembagian seksual, ras, kelas, dan etnik dari masyarakat Barat modern. Post-Marxisme juga mempertanyakan ciri Marxisme yang reduktif dan antidemokratis, serta semua gerakan politik yang berupaya menjelaskan segala perubahan dalam sejarah di dalam kerangka peranan satu kelas atau pelaku istimewa tertentu. Post-Marxisme menerima ilham yang datang dari keterlibatan politik Marx, tetapi menolak penekanan Marx bahwa ekonomi adalah aspek yang paling menentukan, atau pada gagasan tentang adanya satu kelas universal. Sekarang Post-Marxisme mengusulkan adanya demokrasi radikal. Demokrasi radikal adalah demokrasi yang bertumpu pada ekuivalensi antar warganya, pada kesetaraan yang terbentuk lewat proses ekuivalensi diskursif (misalnya, pengakuan akan keseluruhan masyarakat sebagai sebuah masyarakat warga). Post-Marxisme menjadi paham intelektual yang sesuai dengan menang atas neo-liberalism dan mundurnya kelas-kelas pekerja. Kemenangan ini senantiasa diawali oleh kaum kiri Amerika latin yang berjuang penuh melawan kapitalisme, selain itu semakin didukung dengan besarnya suara teologi pembebasan yang berdengung di Amerika latin.[11]
Komponen Post-Marxisme: Penyokong para pemikir Post-Marxisme adalah kritik yang sistematis terhadap Marxisme dan situasi yang ada. [4] Terdapat lima diskursus yang menjadi penyokong hasil para pemikir Post-Marxisme:
Sosialisme adalah kegagalan dan seluruh teori-teori yang umum dari masyarakat dikutuk di dalam proses ini. Ideologi-ideologi selain Post-Marxisme tidak dibenarkan, karena yang lain itu merefleksikan satu dominasi ide dengan sistem ras kebudayaan.
Seperti Thompson menyarankan kita sekarang hidup di saat-saat bermain yang rumit antara beberapa macam kekuatan:[12]
                                         1)      Kekuatan ekonomi
                                         2)      Kekuatan politik
                                         3)      Koersif, terutama kekuatan militer
                                         4)      Kekuatan simbolis, sarana informasi dan komunikasi.[13]

C.    Discourses and lived cultures;
Studi wacana budaya adalah paradigma wacana dan studi komunikasi yang muncul yang ditandai oleh keprihatinan mendalam terhadap keragaman, pembagian dan pengembangan budaya manusia. Gerakan sains budaya ini memanifestasikan dirinya dalam bentuk partisipasi ilmuwan yang beragam secara budaya, terutama dari dunia yang berkembang, orientasi umum terhadap dekolonisasi wacana manusia, dan, khususnya pada perkembangan budaya sadar dan kritis, pendekatan berbasis lokal dan berpikiran global, terhadap komunikasi manusia.[14]
Paradigma multikultural ini berasal dari asumsi dasar bahwa komunikasi manusia kontemporer adalah situs kontestasi budaya, kerjasama, dan transformasi. dan karenanya berusaha mendekonstruksi etnosentrisme dalam wacana dan penelitian komunikasi, mengembangkan dan mempraktekkan kerangka kerja yang sensitif secara budaya untuk mempelajari wacana manusia, terutama di negara berkembang, dan untuk mendorong dialog antar budaya dan perdebatan intelektual, semua dengan maksud untuk meningkatkan koeksistensi budaya manusia, harmoni dan kemakmuran. Pencapaian signifikan telah dilakukan pada tingkat filosofis, teoretis, metodologis dan topikal tingkat wacana dan studi komunikasi.

2.      Konsep Metodologis
A.    Konsep Kekuasaan perspektif al-Qur’an
Konsep yang relevan dengan teori kekuasaan adalah ulil amri (QS. An-Nisa: 58-59).[15] Dan konsep Istikhlafu Al Insan.
Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip – prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah SWT.[16] Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Al-qur’an, ini menandakan adanya syumuliatul Islam.
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk.[17] Jika dikaji lebih jauh tentang kekuasaan dalam Surat An-Nisa 58-59, dalam latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat dalam Asbabun Nuzulnya.
B.     Konsep Khalifah
Kata istikhlaf adalah bentuk mashdar (invinitif) dari kata kerja istakhlafa yang berarti menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya , sedangkan kata khalifah berasal dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Namun demikian kedua konsep ini (khalifah dan istikhlaf), pada hakikatnya, berasal dari akar kata yang mencerminkan dua aspek yang memiliki arti yang sama. Kedua konsep ini merujuk pada fungsi manusia sebagai pemegang amanah Allah Swt di muka bumi ini. Sementara itu, konsep iskhtilaf lebih menekankan kepada proses bagaimana manusia boleh menjadi khalifah Allah.[18]
Ayat tersebut mengandung prinsip – prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah SWT. Prinsip-prinsip kekuasaan dan khalifah di atas, Allah dalam ayat tersebut tidak mengulang lafadz ati’u dalam menempatkan lafadz sebelum ulil amri, sehingga ulil amri atau penguasa dalam ayat tersebut diikutkan sesuai dengan ketaatan terhadap Rasul dan Allah. Sehingga yang dimaksud kekuasaan dalam hal ini adalah pemerintah yang  mana bertanggung jawab dalam memberikan pengertian konsepsi di masyarakat termasuk di dalamnya membuat aturan ‘cantik’ sesuai Al-Qur’an.

C.    Al-Fikrah/ Ideologi
Makna Al-Fikr atau Al-Fikrah:
1)      Idea mengenai sesuatu. Kata Sibawayh; Al-Fikr (idea) dan Al-‘Ilm (pengetahuan) dan An-Nazhar (pemerhatian) tidak akan berkumpul          bersama-sama.
2)      Pemikiran mengenai sesuatu atau tafakkur.
3)      Menurut Al-Layth; At-Tafakkur adalah nama lain bagi At-Tafkir
4)      Ada sebilangan Arab yang menyebut sebagai Al-Fukraa, namun tidak masyhur.
5)      Al-Jauhari mengatakan tafakkur itu maksudnya pemerhatian/pengamatan. Juga bermaksud hajat atau keinginan.
6)      Ada yang mengatakan lebih fasih jika dibaca Fakr atau Fakrah berbanding Fikr atau Fikrah.
Al-Fikrah – gambaran dalam bentuk pemikiran tentang apa-apa saja. Perlu difahami Islam seperti yang  Allah kehendaki, bukan menurut apa yang manusia ingin faham.
Fikrah dan Thariqah Allah Swt. memerintahkan kepada kaum Muslim untuk terikat dengan apapun yang berasal dari-Nya yang diturunkan melalui Sayyid al-Mursalîn Rasulullah Muhammad saw. Hal ini jelas sekali dalam banyak firman-Nya. (QS al-Hasyr [59]: 7).[19] Siapapun yang melakukan penelaahan terhadap hukum-hukum yang terdapat di dalam Islam akan menemukan ada dua jenis hukum/ajaran. Pertama: akidah dan hukum syariah yang terkait dengan penyelesaian persoalan yang ada dalam kehidupan. Akidah dan berbagai hukum/ajaran seperti itu dikenal dengan istilah fikrah. Fikrah lebih merupakan konsepsi.
Fikrah dan tharîqah harus dijalankan. Hukum/ajaran Islam baik yang terkategori fikrah maupun tharîqah ini membentuk mabda’ (ideologi) Islam. Memisahkan keduanya berarti melaksanakan sebagian hukum syariah dan meninggalkan sebagian hukum syariah lainnya. Tentu ini diharamkan. Berdasarkan hal ini, Islam yang wajib ditegakkan adalah Islam mabda’i (ideologis), dalam arti fikrah dan tharîqah-nya harus berasal dari syariah.
Kaum Muslim dikuasai oleh ideologi Kapitalisme baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan dakwah bagi perubahan dari sistem kufur menjadi sistem Islam. Untuk itu, diperlukan fikrah dan tharîqah yang jelas terkait dakwah sekaligus diperlukan adanya kelompok/gerakan/partai yang jelas, yang berpegang pada fikrah dan tharîqah tersebut. Ada beberapa alasan, antara lain: Pertama, berdasarkan realitas. Sebelum dan ketika membangun apapun, setiap orang atau kelompok perlu mengetahui apa yang akan dibangun (fikrah) dan bagaimana metode yang harus ditempuh untuk mewujudkannya (tharîqah).
Untuk membangun sebuah masyarakat Islam tentu memerlukan: (1) fikrah tentang masyarakat Islam dan negara yang akan diwujudkan secara jelas; (2) tharîqah untuk mewujudkannya; (3) kelompok/gerakan/partai yang memahami fikrah dan tharîqah tersebut yang terus secara konsisten memperjuangkannya. Tanpa itu semua, perubahan hanyalah sekadar berubah dengan cek kosong. Muaranya, perubahan mungkin terjadi, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Bahaya Ideologis dan Kelas Kemenangan tercapai jika Islam unggul di atas ideologi yang ada di dunia: Sosialisme/Komunisme dan Kapitalisme. Untuk mencapai kemenangan ini, mabda’ (ideologi) Islam mutlak tertanam dalam jiwa umat. Hukum/ajaran Islam baik menyangkut konsepsi pemecahan terhadap berbagai masalah masyarakat (fikrah) maupun metode pelaksanaannya (tharîqah) harus terus didakwahkan. Ideologi Islam harus ditanamkan. Pada saat umat memiliki opini umum yang didasarkan kesadaran umum atas ideologi Islam maka umat akan berjuang bersama serta mengharuskan dirinya untuk dipimpin oleh partai/jamaah (hizb) yang secara sungguh-sungguh memperjuangkan syariah dan menyatukan umat dalam Khilafah. Kepemimpinannya dilandasi oleh ideologi.[20]
D.    Konsep cantik dalam Islam
Rasulullah Saw. pun pernah menyebutkan pentingnya kecantikan hati dalam sabdanya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik kalian dan rupa kalian, tetapi Allah melihat hati kalian.[21]
3.      Objek Studi
Tulisan ini mengangkat iklan-iklan kecantikan dan film-flm yang ditayangkan di televisi dalam menggambarkan kecantikan,. Pokok-pokok masalah yang akan dibahas ada tiga. Pertama, mitos kecantikan memiliki ukuran tertentu.
Tulisan ini mendeskripsikan dan mengungkap wacana kecantikan dalam iklan-iklan dan tayangan televisi. Dengan menganalisis iklan-iklan tersebut akan dilihat mitos kecantikan perempuan yang relevan dengan mitos kecantikan dalam iklan-iklan dan tayangan tersebut. Perbedaan-perbedaan itulah yang kemudian dianggap merepresentasikan mitos kecantikan yang khas Indonesia.
4.      Analisis
A.    Standar Kecantikan Ditinjau dari Pemikiran Marx
Kecantikan dalam pemikiran Marx terlihat karena adanya ide dominan (yang menjadi 'sehat sehat') dari masyarakat mana pun yang bekerja demi kepentingan kelas rulling, untuk mengamankan peraturan atau dominasinya. Berkaitan dengan hal ini, ia mengemukakan sebuah model basis suprastruktur peran sosial institusi seperti media.[22]
Langkah penting terakhir adalah argumen bahwa, melalui rangkaian hubungan kekuasaan ini, kelas yang dominan mampu membuat pekerja percaya bahwa keluar dari hubungan eksploitasi dan penindasan adalah hal yang wajar dan tak terelakkan.
Indonesia adalah negara bekas jajahan Belanda dan Jepang, kekuasaan Belanda dan Jepang menjadikan mereka kelas penguasa yang mampu mengendalikan banyak hal di Indonesia, dari tatanan pemerintahan, bangunan, bahkan standar kecantikan yang putih sesuai dengan kulit orang Belanda dan Jepang. Hal ini tidak disadari oleh perempuan Indonesia, sehingga sampai sekarang standar kecantikan di Indonesia berbeda dengan negara-negara lainnya.[23]
Patriarki mitos kecantikan. Konflik internal tersebut sesungguhnya dianggap sebagai persoalan sepele yang tak pantas dipermasalahkan: rambut kusam, muka tembem, kuku tumpul, pinggul lebar, lengan bergelambir, dan sebagainya. Beauvoir menyebut hal ini sebagai narsisme, yaitu femininitas yang menguras waktu produktif perempuan.[24]
Masalahnya, struktur kekuasaan yang telah mereka dobrak pada dekade sebelumnya malih rupa menjadi kebiasaan makan yang menyimpang, industri kosmetik, pornografi, dan hantu usia. Televisi dan media lain mampu mengubah pemikiran audiens engan mudah apa yang disampaikan sebagai sesuatu yang absolut, sehingga meski gelombang emansipasi telah membuat perempuan menjadi mandiri secara finansial, berkuasa, dan mendapatkan pengakuan hukum, alam bawah sadar mereka dikontrol oleh perasaan tentang kondisi diri yang berkaitan dengan fisik. Obsesi tersebut meracuni semua pembicaraan tentang kecantikan.[25]

B.     Kritik teori Post Marxisme terhadap Standarisasi Kecantikan
Kecantikan sesungguhnya merujuk pada perilaku, bukan penampakan. Kualitas yang pada periode tertentu disebut sebagai kecantikan perempuan hanyalah simbol dari perilaku perempuan yang dianggap menggairahkan. Persaingan antarperempuan menjadi mitos yang memisahkan mereka satu sama lain. Kemudaan dan keperawanan menjadi ukuran kecantikan perempuan. Perempuan tua merasa terancam oleh perempuan muda. Sementara itu, perempuan muda takut menjadi tua. Identitas perempuan kemudian direduksi hanya sebatas pada kecantikan.

C.    Konstruksi Standar Kecantikan Melalui Meda Televisi di Indonesia
Kecantikan membutuhkan standar baku karena ia universal. Standar baku tersebut merupakan imajinasi tentang kesempurnaan perempuan. Mistik feminin yang menjadikan sosok ibu dan istri rumah tangga sebagai sosok sempurna telah berganti menjadi perempuan yang telah ditakar ukuran kualitas fisiknya.
Dalam konteks ini, menurut Branston dan Stafford seseorang mengidenifikasi dirinya sebagai pembaca yang aktif, penyerang yang bebas mengontrol remote televisi, dari pada sekadar menjadi pembaca yang pasif yang hanya menjadi korban penipuan pencucian otak oleh media. Hal ini jelas berbeda dari teori effect di atas yang terkesan bersifat jarum (hypodermic model). Maka teori UG lebih dekat apa yang ditekankan oleh Lee Thayer dan Ravault  sebagai active-reception. Bagi mereka si penerima tidak lagi menjadi korban, akan tetapi aktif memberikan pemaknaan, sesuai dengan kecenderungan, minat, tujuan, dan latar belakang budayanya. Ketidaksentralan pengirim ini ditegaskan pula oleh Andi Faisal Bakti dengan menyatakan bahwa komunikasi telah terjadi ketika di dalam dan di luar diri seseorang telah terdapat sesuatu yang memungkinkan seseorang memberikan pemaknaan.[26]
Keaktifan invidu dalam menentukan sebuah pesan ini sangat penting adanya. Bahkan menurut Bakti, ketertinggalan dan demokrasi tidak bisa tegak apabila masyarakat dibelenggu dengan sistem komunikasi top-dwon yang tidak menghargai potensi individu masyarakat.[27]  Karenanya, beberapa penulis belakangan seperti Lewis,[28]  Jenkins,[29] Berker[30] dan Brooks , dan Hills[31]  menggali keaktifan para penggemar dan pemirsa, yang telah berlari jauh dari makna yang diinginkan oleh pembuatnya atau makna yang diproduksikan oleh penonton lainnya. Lebih-lebih lagi, dengan perkembangan internet, para penggemar ini pun mampu, dalam batas tertentu, menjadi produser dalam menentukan episode tayangan favorit mereka. Mereka adalah konsumer aktif, yang bisa melobbi perusahaan TV agar mengeluarkan film favorit mereka misalnya. Akan tetapi tetap, konstruksi kecantikan yang dibuat televisi membuat mereka ingin melihat tontonan film yang pemerannya cantik dan tampan. Hal ini sangat sudah biasa dalam masyarakat Indonesia.

5.      Refeksi
Sebagai refleksi Indonesia adalah negara bekas jajahan Belanda dan Jepang, kekuasaan Belanda dan Jepang menjadikan mereka kelas penguasa yang mampu mengendalikan banyak hal di Indonesia, dari tatanan pemerintahan, bangunan, bahkan standar kecantikan yang putih sesuai dengan kulit orang Belanda dan Jepang. Hal ini tidak disadari oleh perempuan Indonesia, sehingga sampai sekarang standar kecantikan di Indonesia berbeda dengan negara-negara lainnya.
Kecantikan sesungguhnya merujuk pada perilaku, bukan penampakan. Kualitas yang pada periode tertentu disebut sebagai kecantikan perempuan hanyalah simbol dari perilaku perempuan yang dianggap menggairahkan. Persaingan antarperempuan menjadi mitos yang memisahkan mereka satu sama lain. Kemudaan dan keperawanan menjadi ukuran kecantikan perempuan. Perempuan tua merasa terancam oleh perempuan muda. Sementara itu, perempuan muda takut menjadi tua. Identitas perempuan kemudian direduksi hanya sebatas pada kecantikan.
Konstruksi kecantikan yang dibuat televisi membuat mereka ingin melihat tontonan film yang pemerannya cantik dan tampan. Hal ini sangat sudah biasa dalam masyarakat Indonesia.



[1] Strinati, 2009 : 199
[2] Naomi Wolf. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan MenindasPerempuan. Terjemahan Alia Swastika. (Yogyakarta: Penerbit Niagara, 2004). hlm. 29.
[3] Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, (Perancis: La Pensée, 1970)
[4] Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book, (USA: Routledge, 2003), hlm. 117.

[5] Majalah Cosmopolitan Indonesia. Identitas Kecantikan, Tulisan Eva Leiliyanti (2004)
[6] Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book, (USA: Routledge, 2003), hlm. 117.
[7] Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, (Perancis: La Pensée, 1970)
[8] Lorens Bagus, Kamus Filsafat. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000)  hlm. 572-575.
[9] Bryan Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta: Kanisius, 2008) hlm. 164-171.
[10] Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book, (USA: Routledge, 2003), hlm. 118.
[11] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer. (Yogyakarta: Kanisius. 2001), hlm. 269.
[12] Thompson, ThompsonTask–Technology and Individual Performance. (MIS. Quarterly, 2004). Hlm. 213.
[13] Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book, (USA: Routledge, 2003), hlm. 125.
[14] Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book, (USA: Routledge, 2003), hlm. 125-126.
[15] “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya “
[16] Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2002), hlm. 175.
[17] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996). Hlm. 342.
[18] Abu Ridha, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004), hlm. 33.
[19]Apa yang Rasul berikan kepadamu, terimalah. Apa yang ia larang atasmu, tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”
[20] Dari Al-Mu’jam Al-Waseet;
[21] Hadits Riwayat Muslim
[22] Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book, (USA: Routledge, 2003), hlm. 118.
[23] Ibid, hlm. 118.
[24] Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro. ( Yogyakarta: Jalasutra, 2010) hlm. 270-271.
[25] Naomi Wolf. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan MenindasPerempuan. Terjemahan Alia Swastika. (Yogyakarta: Penerbit Niagara, 2004). hlm. 25.
[26] Andi Faisal Bakti, Islam and Family Planning (Leiden-Jakarta: INIS, 2004),  72. 
[27] Andi Faisal Bakti, “Raising Public Consciousness About The Importance of Freedom of Expression  in A Democratic Society and on Enhancing the Quality of Life of the Ordinary Citizen: The Case of Indonesi,” The Journal of Development Communication, vol. 24. No. 1 (2013), 1-15.
[28] Justin Lewis, Constructing Public Opinion: How Political Elits Do What They Like and Why We Seem to Go Along with It (New York: Columbia University Press, 2001.
[29] Henry Jenkins, “Reception Theory and Audience Research: The Mystery of The Vampire’s Kiss, dalam Christine Gledhill and Linda Williams (eds) Reinventing Films Studies (London: Arnold, 2000).
[30] Martin Berker dan Kate Brooks, Knowing Audiences Judge Dredd: Its Friends, Fans, and Foes (Luton: University of Luton Press, 1998).

[31] Matt Hills, Fan Culture (London: Routledge, 2002).

Komentar