URGENSI ILMU, SUMBER ILMU PENGETAHUAN DAN METODE PEMBELAJARAN
(PERSPEKTIF AL-QUR’AN)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam, sebagai agama yang sarat nilai-nilai etis, sesuai dengan
penegasannya sebagai rahmat bagi semesta alam, sudah waktunya di-gumul-kan
dengan prinsip-prinsip dasar dan cara kerja ilmu pengetahuan. Hal ini
dimaksudkan agar teknologi dan industri dalam penerapannya senantiasa berdaya
dan tepat guna sesuai dengan tujuan dan fungsi ilmu pengetahuan untuk
kesejahteraan umat manusia.
Sejarah telah mencatat kemajuan
peradaban Islam dalam semua bidang ilmu pengetahuan. Para ilmuwan muslim pada
saat itu menjadi pioneer pengetahuan sekitar delapan abad sebelum masa Galileo
Galilie (1564-1642) dan Copernicus (1473-1543). Hal ini setidaknya menunjukkan
bahwa prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan telah disusun oleh ilmuwan muslim
jauh sebelum filsafat ilmu (philosophy of science) terformulasi sebagai sebuah
disiplin ilmu.
Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang
abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas
kemukjizatannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkannya kepada Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi wa Sallam, demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan
hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Para
sahabat sangat bersemangat untuk mendapatkan pengajaran Al-Qur’an Al-Karim dari
Rasulullah. Mereka ingin menghafal dan memahaminya. Seiring dengan itu, mereka
juga bersungguh-sungguh mengamalkannya dan menegakkan hukumnya.
Menarik apa yang dikatakan oleh
seorang juru dakwah abad 14 H Imam Syahid Hasan Al-Banna rohimahullah, seorang
mujtahid abad dua puluh, pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin:[1] “Islam
adalah suatu sistem yang komprehensif, ia mencakup segala persoalan kehidupan.
Seperti masalah negara dan tanah air, pemerintahan dan rakyat, moral dan
kekuatan, rahmat dan keadilan, budaya dan undang-undang, ilmu dan hukum, harta,
masalah kerja dan kejayaan, jihad dan dakwah, serta militer dan pemikiran,
selain itu, ia juga mengandung masalah akidah yang lurus dan ibadah yang
shahih.”
Abu Abdirrahman As-Sulami
meriwayatkan, bahwa orang-orang yang biasa membacakan Al-Qur’an kepada kami,
seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud, serta yang lainnya; apabila
mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka
enggan melewatinya sebelum memahami dan mengamalkannya. Mereka menagatakan,
"Kami mempelajari Al-Qur’an, ilmu dan amal sekaligus.[2]
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas di ambil rumusan masalah tema pokok Al-Qur’an
(Urgensi ilmu, sumber ilmu pengetahuan dan metode pembelajaran) yang dijabarkan
dalam sub judul sebagai berikut:
1.
Urgensi Ilmu dan
Sains.
2.
Al-Quran,
Motivasi dan Sumber Keilmuan.
3.
Al-Qur’an dan
metode pembelajaran.
C.
Tujuan
Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk malacak akar sains dalam prespektif Islam,
hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kerangka dasar bagi integrasi sains dan
ilmu-ilmu keIslaman. Sehingga dari tujuan dari rumusan masalah di atas adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk memahami
urgensi Ilmu dan Sains.
2.
Untuk
mengetahui Motivasi dan Sumber Keilmuan di dalam Al-Qur’an.
3.
Untuk membedah
metode pembelajaran di dalam Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Urgensi Ilmu dan
Sains
A.
Pengertian Ilmu dan Sains
Di Barat, kita
mengenal istilah knowledge dan science. Knowledge berasal
dari kata know yang berarti “tahu” dan science berasal dalam
bahasa Latin “scire” yang juga berarti “tahu”. Walau pemaknaan keduanya
hampir sama namun memiliki cakupan yang berbeda.
Knowledge merupakan bentuk umum (genus) dan science
merupakan bentuk khususnya (species). Science bisa saja disebut knowledge
tapi knowledge bukan hanya science. Hal ini karena science adalah
knowledge dengan ciri khusus.
Ciri khusus sains tersebut terdiri dari tiga
aspek, yaitu:
1)
Objek ontologis science adalah segala
sesuatu yang berada dalam ranah pengalaman empiris manusia;
2)
Landasan epistemologis science adalah
metode ilmiah (logico-hyphotetico-verification);
3)
Landasan aksiologis science adalah
kemanfaatan bagi manusia.
Segala knowledge yang memiliki tiga ciri
khusus di atas disebut science dan berhak dilekati kata sifat “scientific”.[3]
Menjadi diskursus yang menarik ketika dua tema
di atas kita cari padangannya dalam bahasa Indonesia. Umumnya, kita mengartikan
knowledge dengan “pengetahuan” dan science dengan “ilmu”.
Sehingga berlakulah “pengetahuan” sebagai genus dan “ilmu” sebagai speciesnya.
Pembagian ini disebabkan bahwa “pengetahuan” terdiri
dari “pengetahuan yang tidak terstruktur” dan “pengetahuan yang terstruktur”.
“Pengetahuan tidak terstruktur” bisa disebut “pengetahuan biasa” (common
sense), sedangkan “pengetahuan yang terstruktur” disebut dengan “ilmu”.[4]
Ada pula yang mengartikan knowledge
sebagai “ilmu” dan science sebagai “pengetahuan”.
Pembagian ini disebabkan karena menganggap “ilmu” sebagai genus yang terdiri
dari berbagai jenis ilmu, seperti ilmu agama, ilmu filsafat, ilmu pengetahuan,
dan ilmu-ilmu lain yang merupakan speciesnya. Jadi, salah satu bentuk ilmu itu
adalah “ilmu pengetahuan”.
Ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah scientific
knowledge yang merupakan sinonim science. Ilmu pengetahuan bisa
diartikan dengan “ilmu” yang bersifat “pengetahuan”. Di mana tema “pengetahuan”
berperan sebagai pembeda (differentia) suatu bentuk khusus ilmu dengan
bentuk khusus ilmu lainnya.
Diskursus semacam ini lumrah kita temukan dalam
buku-buku filsafat ilmu, terutama buku Jujun S. Suriasumantri. Dalam buku yang
ditulis Jujun di tahun 1970an itu juga mempermasalahkan penerjemahan kata
“science” menjadi “ilmu pengetahuan”. Menurutnya, akan menjadi janggal ketika
kita menerjemahkan kata “scientific” menjadi “pengetahuan ilmiah” atau “ke-ilmu
pengetahuan-an”. Dua penerjemahan itu akan menyesatkan dan kurang nyaman
digunakan.[5]
Di dalam sumber lain, kata ilmu, secara
etimologis, berakar dari bahasa Arab al-'ilm
yang berarti mengetahui hakikat
sesuatu dengan sebenarnya.[6]
Dalam bahasa Inggris, dikenal sebagai science, dan sepadan dengan kata al-ma’rifah yang berarti
pengetahuan (knowledge). Namun,
antara al ilm dengan al-ma’rifat biasanya dibedakan penggunaannya dalam kalimat. Al-‘ilm digunakan untuk mengetahui sesuatu yang
bersifat universal (al-kulli), sedang
al-ma’rifat dipakai untuk
mengetahui sesuatu yang bersifat partikular (al-juz’i).[7]
B.
Kedudukan Ilmu dan Sains di dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an, kata al-ilm disebut
sebanyak 105 kali, dan dari akar katanya disebut dalam berbagai bentuk tidak
kurang dari 744 kali.[8]
Hal ini menunjukkan tingginya
kedudukan ilmu dalam kehidupan
manusia. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad menyebutkan
pentingnya membaca, pena, dan ilmu bagi manusia:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-Alaq:
1-5).
Lebih dari itu, dalam sejarah penciptaan Adam,
al-Qur‟an menggambarkan bagaimana Allah mengajarkan kepadanya tentang
lingkungan (dunianya) yang karenanya Malaikat dan Jin disuruh bersujud di
hadapan Adam, sebagaimana difirmankan:
”Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat dan Dia
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu, jika kamu memang orang
yang benar. Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah: 31-32).
Adanya perintah bersujud yang ditujukan kepada
makhluk selain manusia di hadapan Adam dikarenakan pengetahuan yang diajarkan
Allah kepada manusia, sehingga dalam kesempatan lain Allah menegaskan keutamaan
mereka yang memiliki pengetahuan dari mereka yang tidak memiliki pengetahuan:
“Katakanlah,
apakah sama orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang yang tidak memilikinya”
(QS. az-Zumar:
9);
“Adalah niscaya
Allah meninggikan derajat orang-orang yang senantiasa mencari ilmu” (QS.
al-Mujadilah: 11).
Dari penelaahan ayat di atas, ada yang menarik
untuk digarisbawahi di sini, bahwa di dalam pemakaian kata ilmu, Al-Qur’an
membedakan antara allama dan ‘utu al’ilma. Kata pertama
mengisyaratkna adanya ilmu yang diajarkan langsung oleh Allah kepada manusia
tanpa proses pencarian (prosedur ilmiah), yang dalam istilah para ulama disebut
al-ilm al-ladunni.[9] Ilmu
yang didapat melalui proses pencarian ini juga disebut sebagi ilmu kasbi.
Sedangkan yang kedua mengisyaratkan adanya obyek dan subyek sesuai dengan
prosedur ilmiah, yang oleh karenanya Al-Qur’an menggunakan kata ‘utu
yang berarti mencari. Dalam proses pencarian selalu ada yang peneliti dan yang
diteliti. Hal ini dikuatkan juga dengan hadis Nabi yang menggunakan persamaan
makna kata dengan ‘utu, yakni tal’ab yang artinya juga mencari.
Ilmu yang didapat melalui prosedur ilmiah ini oleh para ulama disebut al-‘ulum
al-muktasabah.[10]
Keberadaan ilmu ladunni diisyaratkan secara implisit
dalam Al-Qur’an:
”Lalu mereka
(Musa dan muridnya) bertemu dengan seseorang dengan hamba Kami (Nabi Khaidir)
yang telah Kami anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (min ladunna ‘ilma)” (QS. al-Kahfi:
65).
Dengan demikian, pengertian ilmu dalam Al-Qur’an
secara garis besar dibagi menjadi dua:
1)
al-ilm al-ladunni
1lmu yang diajarkan langsung oleh Allah kepada
manusia melalui wahyu bagi para Nabi dan melalui ilham bagi orang saleh selain
Nabi.
2)
al-‘ilm al-kasbi atau al-ulum
al-muktasabah.
Ilmu yang mencakup segala pengetahuan di alam
semesta yang dapat dijangkau oleh manusia (empiris) melalui proses pengamatan,
penelitian, percobaan, dan investigasi.
Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama
Islam dan non-Islam. Marlilyn R. Wargman, seorang Islamisis Barat, menegaskan
bahwa tidak ada dikotomi dalam Islam.[11]
Hal ini didasarkan atas universalitas Islam sendiri yang ajarannya mencakup
semua aspek kehidupan dan ini sejalan dengan fungsi Al-Qur’an sebagai rahmat bagi semesta alam.
Spesialisasi-spesialisasi yang
berjalan secara kompetitif dan saling memberikan manfaat dalam semua aspek
kehidupan manusia. Al-Quran pun tidak mengajarkan adanya dikotomi keilmuan.
Al-Quran mengajak orang-orang yang mempercayainya untuk memperhatikan (ayat
qauliyyah) yang telah diturunkan dengan perantaraan rasul-Nya. Disamping itu,
al-Quran juga mengajak manusia untuk memperhatikan berbagai fenomena alam (ayat
kauniyah) sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya. Itu dapat dibaca, misalnya pada
ayat al-Quran yang menyatakan:
“Allah-lah
yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya
dengan izin-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat)
dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S.
Al-Jatsiyah: 12-13)
Mengacu pada ayat-ayat di atas, dapat dipahami
bahwa sesungguhnya Al-Quran memberikan dorongan cukup tinggi untuk
mengembangkan ilmu-ilmu yang bersumber pada wahyu Allah swt dan ilmu-ilmu yang
bersumber pada penalaran. Ilmu yang bersumber pada wahyu Allah itu jelaslah
Al-Quran, sedangkan ilmu yang bersumber pada penalaran itu merupakan hasil
pemikiran manusia yang dikembangkan secara sistematis dan ilmiah. Perpaduan
antara kedua macam ilmu itulah yang akan membawa pada kemajuan umat manusia
dalam arti yang sesungguhnya.
Sedangkan ayat-ayat tentang sains banyak
terungkap di dalam ayat-ayat mutasyabihat.[12] Ayat-ayat semacam itu dapat kita
pergunakan untuk meneropong masa
depan. Kita harus ingat bahwa al-Quran memuat informasi sains masa depan yang
memerlukan usaha keras kita untuk memahaminya. Sehingga kita tidak boleh
memaksakan informasi di dalam al-Quran agar senantiasa sesuai dengan penemuan
sains masa kini. Meskipun demikian, bahasa al-Quran mudah difahami oleh seluruh
lapisan masyarakat.
Para ilmuwan yang telah
mempelajari al-Quran mengungkapkan bahwa al-Quran is always one step ahead of science. Ungkapan tersebut artinya
bahwa penjelasan-penjelasan al-Quran selalu selangkah lebih maju dibanding
penemuan-penemuan modern. Dengan kata lain, sains selalu tergopoh-gopoh
mengikuti informasi al-Quran. Setiap penemuan hebat abad kontemporer, ternyata
sudah dijelaskan oleh al-Quran sejak abad ke-7 silam. Jelaslah bahwa al-Quran
merupakan suatu himpunan informasi tentang masa lalu, masa kini, sekaligus masa
depan yang tak dapat disangkal kebenarannya.[13]
C.
Hubungan Sains dengan Konsep ‘Ilm dalam Islam
Ayat-ayat Al-Qur’an
memberikan penjelasan global ataupun isyarat tentang bidang-bidang ilmu
pengetahuan, baik eksak (sains) maupun humaniora dengan berbagai percabangannya
yang berkembang hingga saat ini.
Apabila berkaca dari masa lalu, pendidikan Islam yang nondikotomis
telah melahirkan intelektual muslim yang memiliki karya yang sangat besar dan
berpengaruh positif terhadap eksistensi kehidupan manusia. Menurut Harun
Nasution, cendekiawan-cendekiawan Islam tidak hanya mempelajari ilmu
pengetahuan dan filsafat dari Yunani, tetapi menambahkan ke dalam hasil-hasil
penyelidikan yang mereka lakukan dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil
pemikiran dalam ilmu filsafat. Dengan demikian lahirlah ahli-ahli ilmu
pengetahuan dan filosof-filosof Islam seperti Al-Farazi (astronom Islam), Ibnu
Sina (ahli kedokteran dan dijuluki dengan julukan doctor of doctors), Al-Biruni
(ahli filsafat, astronomi, geografi, matematika, dan sejarah), Ibnu Rusyd
(filosof dan ahli fiqih sehingga dijuluki averous), dan yang lainnya.[14]
Eksplorasi cabang-cabang sains yang
mempertemukan ayat-ayat perspektif Al-Qur’anyah dengan ayat-ayat kawniyah
telah dimulai oleh para pilosof muslim di abad keemasan Islam (golden age of
Islam). Pengembangan filsafat dan sains dengan memadukan ayat-ayat kawniyah
dan ayat-ayat perspektif Al-Qur’anyah tesebut telah melahirkan nama-nama besar
para filosof dan ilmuan muslim seperti al-Farabi, al-Razi, Ibn Sina, al-Kindi,
Ibn Rushd, dll. Mereka kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh ilmuan zaman
berikutnya seperti al-Haythami, al-Biruni (dalam ilmu fisika); al-Khawarizmi,
‘Umar Khayam dan kelompok Ikhwan al-Safa (dalam bidang matematika dan
astronomi); Jabir ibn Hayan dan al-‘Iraqi (dalam bidang matematika dan kimia);
Ibn Batutah (dalam bidang geografi), dll. Hal tersebut sebagai bukti sejarah
yang tidak terbantahkan bahwa mereka telah memperoleh inspirasi dalam
mengembangkan sains yang memadukan ayat-ayat Al-Qur’an dengan realitas empirik.[15]
Al-Farabi memandang sains bukan sebagai ilmu di
luar ilmu-ilmu keIslaman, tetapi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
ilmu-ilmu keIslaman. Setelah ilmu-ilmu shari‘at, al-Farabi memasukkan
ilmu-ilmu bahasa, ilmu-ilmu sosial, logika dan sains ke dalam struktur ilmu.
Ilmu bahasa antara lain meliputi sintaksis, gramatika, komunikasi dan sastra.
Ilmu bantu sains seperti aritmatika, geometri, dan optika, serta kelompok sains
yang terdiri dari fisika, kimia, biologi dan astronomi.[16]
Beberapa ilmuan dewasa ini banyak yang mencoba
melakukan penelitian dan pengkajian yang menghubungkan penjelasan-penjelasan
ayat Al-Qur’an tentang berbagai bidang sains dengan teori-teori yang telah
dipandang eshtablished berdasarkan hasil penelitian. Salah satu di antaranya
adalah Afzalur Rahman. Dalam Perspektif Al-Qur’anc Science Rahman
menguraikan secara luas cabang-cabang sains yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Cabang-cabang sains, menurutnya, terdiri dari 27 cabang sains yang antara lain
adalah kosmologi, astronomi, astrologi, fisika, kimia, matematika, geologi,
minerologi, biologi, botani, zoologi, arkeologi, arsitektur, pertanian,
irigasi, perkebunan.[17]
Bucaille, seorang ilmuan ginekologi
berkebangsaan Prancis, menulis sebuah buku yang berjudul What is the Origin
of Man?: the Answer of Science and the Holy Scriptures.[18]
Dalam buku tersebut ia menjelaskan secara luas relevansi antara keterangan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan temuan hasil penelitian para ilmuan moderen tentang
gen kehidupan manusia dan proses pertumbuhan janin dalam rahim sejak dari
coetus, pertemuan sel telur dengan sperma, masa konsepsi, hingga siap
dilahirkan. Apa yang diterangkan dalam Al-Qur’an memiliki unsur-unsur kesamaan
dengan teori-teori yang telah baku sebagai hasil temuan penelitian para ilmuan
selama berabad-abad.
Salah seorang ilmuan terkemuka di Indonesia,
Achmad Baiquni, telah menulis dua buah buku yang masing-masing berjudul: Islam
dan Ilmu Pengetahuan Moderen dan Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman. Dalam
buku pertama ia menguraikan secara luas relevansi ayat-ayat Al-Qur’an dengan
teori-teori fisika, biologi, kimia, arkeologi dan astronomi tentang proses
penciptaan bumi dan langit serta proses penciptaan makhluk hidup di bumi.40
Sedangkan dalam buku yang kedua, ia lebih luas menguraikan relevansi ayat-ayat Al-Qur’an
dengan teori-teori ilmu pengetahuan modern antara lain pengungkapan gravitasi
(gerak dan gaya planet-planet bumi dan tata surya), evolusi bumi, fisika
kuantum, struktur atom dan molekul dan penciptaan alam semesta.[19]
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa struktur ilmu dalam Al-Qur’an
tidak terbatas hanya pada ilmu-ilmu akidah, syariah dan akhlak, atau yang biasa
disebut-ilmu-ilmu agama, tetapi Al-Qur’an juga, sebagaimana dikemukakan oleh
para ahli, mengandung isyarat-isyarat berbagai ilmu pengetahuan alam seperti
fisika, biologi, kimia, astronomi, geologi, dll. dengan berbagai percabangannya
sebagaimana yang telah berkembang dalam ilmu pengetahuan moderen saat ini.
Bahkan di ataranya terdapat uraian yang jelas dan spesifik yang menerangkan
kejadian-kejadian alam, seperti proses penciptaan bumi dan planet-planet, dan
proses penciptaan manusia.
Pentingnya mengintegrasikan dan mengelaborasikan Ilmu agama dan
sains, di samping untuk meraih kejayaan Islam seperti pada periode klasik dan
untuk mencapai amanat tujuan pendidikan nasional, adalah sebagai jalan dalam
memahami ilmu untuk mencapai takwa. Ketika manusia yang berilmu mencoba
memahami ayat-ayat al-Quran, ia akan sadar bahwa semakin tinggi kapasitas
keilmuan seseorang, maka ia akan semakin takut dan tunduk kepada Allah swt.
Inilah urgensi integrasi dan elaborasi sains secara Qurani.[20]
2.
Al-Qur’an, Motivasi
dan Sumber Keilmuan
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa
ayat yang membuat muslim bahkan non muslim termotivasi dalam mempelajari Al-Qur’an,
salah satu ayat yang menunjukkan betapa luasnya Ilmu di dalam Al-Qur’an
tersebut antara lain.
“Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”
(QS. Al-Kahfi: 109).
Ayat ini menggambarkan betapa luas kandungan ilmu-ilmu yang
diturunkan Allah baik yang terdapat dalam ayat-ayat Perspektif Al-Qur’anah
maupun dalam ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu, tidak heran jika para ulama
dan para filosof muslim sejak zaman dahulu menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber
ilmu pengetahuan.[21] Para
filosof muslim telah mengajukan berbagai argumen bahwa Al-Qur’an bukan hanya
tidak bertentangan tetapi justru sesuai dengan konsep-konsep pemikiran
filsafat, bahkan ia menjadi sumber berbagai ilmu pengetahuan.[22]
A.
Sumber Ilmu
Pengetahuan Perspektif Al-Qur’an
Louis Q.
Kattsof mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia itu ada lima macam, yaitu:
1)
Empiris yang melahirkan
aliran empirisme
2)
Rasio yang melahirkan
aliran rasionalisme
3)
Fenomena yang
melahirkan fenomenalisme
4)
Intuisi yang
melahirkan aliran intuisionisme
5)
Metode ilmiah
yang menggabungkan antara aliran rasionalisme dan empirisme.[23]
Dalam kaitan
ini, ayat-ayat Al-Qur’an sebenarnya telah mengisyaratkan bahwa pengetahuan
dapat diperoleh manusia setidaknya dari tiga sumber, yaitu:
Pertama, alam
jagat raya ini, yakni semua realitas yang ada di jagat alam semesta merupakan
sumber pengetahuan bagi manusia. Pengetahuan tentang realitas alam raya ini
dapat dikatakan sebagai pengetahuan empiris (bandingkan dengan aliran
empirisme). Contoh ini dapat ditangkap dari beberapa isyarat ayat Al-Qur’an
seperti Allah mengajarkan nama-nama benda kepada Adam AS., perintah Allah untuk
memperhatikan dan mempelajari fenomena yang terjadi pada benda-benda langit,
dan fenomena-fenomena yang terjadi di bumi, meneliti dan mempelajari awan,
gunung-gunug, lautan dan mahluk hidup yang ada di bumi, dan lain sebagainya.[24]
Kedua, akal
pemikiran manusia sendiri, yakni dengan menafsirkan dan mengembangkan fenomena
alam itu menjadi rumusan-rumusan teori ilmu pengetahuan yang berguna bagi
manusia. Pengetahuan yang bersumber dari akal ini dapat disebut sebagai
pengetahuan rasional (bandingkan dengan aliran rasionalisme), dan sekaligus
sebagai pengetahuan fenomenologis (bandingkan dengan aliran fenomenalisme). Contoh
rasio, yakni akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dengan
menafsirkan dan mengabstraksikan fenomena alam itu menjadi rumusan-rumusan
teori ilmu pengetahuan yang berguna bagi manusia.[25]
Ketiga, sumber
pengetahuan yang berasal dari wahyu, yaitu pengetahuan yang diturunkan langsung
oleh Tuhan melalui para nabi dan rasul-Nya serta kesaksian orang-orang salih
yang menjadi para pengikut setianya. Dalam filsafat Barat pengetahuan yang
diperoleh melalui wahyu ini dapat dibandingkan dengan aliran intuisionisme yang
mengakui adanya pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi batin yang mendalam
setelah melalui proses pembersihan jiwa dan kontemplasi secara kontinue.
Derajat pengetahuan melalui kewahyuan lebih tentu tinggi dari sekedar intuisi
atau ilham yang diperoleh para filosof, sehingga tingkat kebenaran wahyu
bersifat mutlak, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui kontemplasi dan
intuisi bersifat spekulatif dan relatif. Intuisi dan wahyu sebagai sumber
ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang diturunkan Tuhan melalui para nabi dan
rasul-Nya, termasuk dalam kategori ini adalah pengetahuan tasawuf dan filsafat
yang diperoleh melalui intuisi dan hasil kontemplasi pemikiran.[26]
B.
Metode
Memperoleh Ilmu Perspektif Al-Qur’an
Berkenaan dengan metode atau cara memperoleh ilmu pengetahuan, Al-Qur’an
mengisyaratkan melalui beberapa tahapan, yaitu:
1)
Ilmu diperoleh manusia melalui tanggapan indrawi (al-hissi) atau dapat juga dikatakan
melalui pengalaman empirik (al-tajribah).
2)
Metode bayani (analisis kebahasaan).
3)
Analisis pemikiran yang
logis dan rasional (nazariyah ‘aqliyah)
atau dengan istilah yang populer metode burhani.
4)
Intuisi dan kontemplasi atau ma‘rifat
al-qalb setelah melewati proses riyadah
dan mujahadah sehingga terjadi mukashafah, atau yang lebih dikenal
dengan metode ‘irfani.
5)
Wahyu dan kesaksian langsung (shahadah)
orang-orang terpercaya atas diturunkannya wahyu kepada nabi/rasul Tuhan, atau
dikenal dengan metode al-matlu.
Secara lebih rinci pengetahuan dapat diperoleh mlalui metode
sebagai berikut:
Pertama, ilmu diperoleh manusia melalui
tanggapan indrawi (al-hissi) atau
dapat juga dikatakan melalui
pengalaman empirik (al-tajribah).[27]
Kedua,
metode bayanii (analisis kebahasaan). Metode ini diperkenalkan oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Menurutnya,
pemahaman analisis terhadap nash dan pengambilan konsep-konsep pemikiran dari
nash-nash tersebut dapat dilakukan melalui
pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani. Shaykh Ibn Manzur dalam Lisan al-Arab mengemukakan beberapa pengertian lafaz al-bayan secara harfiah, antara lain,
adalah: “menjelaskan sesuatu sehingga menjadi jelas”, “sesuatu yang dapat
menjelaskan sesuatu yang lain seperti dalil atau bukti-bukti”, “jelas”,
“mengetahui atau memahami dengan jelas”. Dalam konteks ini, yang dimaksud
pendekatan bayani adalah pemahaman
analisis dan penarikan konsep-konsep pemikiran dari nash-nash Al-Qur’an maupun al-Sunnah melalui
pendekatan lughawi, baik dari aspek gramatika, logika, maupun sastera.
Inilah metode yang digunakan oleh para ulama usul, fuqaha, mutakalim maupun
para mufassir, sehingga mereka dapat dikatakan sebagai ulama bayani.[28]
Terminologi bayani dirumuskan dari isyarat yang terkandung dalam
beberapa ayat Al-Qur’an.[29]
Ketiga, cara mendapatkan pengetahuan
melalui analisis pemikiran logis dan rasional (nazariyah ‘aqliyah)
atau dengan istilah yang populer disebut metode burhani. Secara harfiah burhani
berarti “alasan yang jelas, sistematis dan terinci.” Burhani dalam arti sempit berarti cara kerja pemikiran atau sistem berpikir untuk menetapkan
kebenaran melalui penarikan kesimpulan, yaitu dengan menunjukan hubungan antara
premis major dengan premis minor sehingga menghasilkan konklusi yang logis dan
rasional.[30] Contoh
sederhana penerapan metode burhani
dalam arti sempit ini adalah “di balik bukit terlihat kepulan asap (premis
minor), setiap asap pasti berasal dari api (premis major), di balik bukit itu
pasti ada kebakaran, atau ada sesuatu yang terbakar (konklusi).” Kesimpulan
tentang adanya kebakaran di balik bukit itu diperoleh karena melihat fenomena
asap yang mengepul yang berasal dari tempat itu, kemudian pikiran manusia
menghubungkan dengan teori yang sudah baku bahwa setiap asap pasti berasal dari
api, sehingga kemudian diperoleh kesimpulan bahwa di balik bukit itu ada
sesuatu yang terbakar atau terjadi kebakaran. Dalam Al-Qur’an baik istilah burhani maupun istilah nazari digunakan dalam konteks yang
berbeda-beda, namun demikian secara umum kadua kata itu sering digunakan dalam
pengertian: “berpikir, merenungi, memperhatikan dengan seksama, menganalisis,
meminta atau menunjukkan bukti-bukti kebenaran, mengambil pelajaran yang
bermanfaat untuk diterapkan dalam kehidupan, dll.”[31]
Keempat, pengetahuan dapat diperoleh
manusia melalui intuisi dan kontemplasi atau
ma‘rifat al-qalb setelah melewati
proses riyadah dan mujahadah sehingga terjadi mukashafah, atau yang lebih dikenal
dengan metode ‘irfa>ni>. Secara tekstual, kata al-‘irfan berasal dari kata ‘arafa-ya‘rifu-‘irfanan wa ma‘rifatan,
yang berarti “tahu atau mengetahui atau pengetahuan”. Dalam filsafat Yunani,
istilah ‘irfani ini disebut “gnosis”,
yang artinya sama dengan ma‘rifat, yaitu pengetahuan yang didapat dari pancaran
hati nurani. Istilah ma‘rifat kemudian banyak digunakan oleh kaum sufi dalam
pengertian sebagai: “ilmu yang diperoleh melalui bisikan hati atau ilham ketika
manusia mampu membukakan pintu hatinya untuk menerima pancaran cahaya dari
Tuhan”. Keadaan hati yang terbuka terhadap cahaya kebenaran dari Tuhan ini
disebut al-kashshaf atau al-mukashafah.[32]
Memang tidak mudah bagi seseorang untuk bisa mencapai mukashafah dan memperoleh ma‘rifat,
ia harus melewati beberapa station atau maqamat,
yaitu beberapa tahapan perjalanan spiritual yang panjang dan berat, berupa riyadah dan mujahadah untuk mensucikan jiwa dan mengasah hati dalam
berkomunikasi dengan Tuhan. Di dalam Al-Qur’an memang terdapat ayat-ayat yang
menggunakan lafadz al-`irfan dengan
berbagai bentuk jadiannya. Lafadz-lafadz tersebut secara umum digunakan dalam
konteks pengertian: pengetahuan yang mendalam, pengetahuan tentang kebenaran,
pengetahuan tentang kebaikan, dan pengetahuan tentang kebenaran yang bersemayam
di ke dalaman jiwa.[33]
Kelima, pengetahuan diperoleh melalui
wahyu dan kesaksian langsung (shahadah) orang-orang terpercaya atas
diturunkannya wayu kepada nabi/rasul Tuhan, atau dikenal dengan metode al-matlu.[34]
3.
Al-Qur’an dan
Metode Pembelajaran
Makhluk Allah yang diberi
kewajiban dalam mencari ilmu adalah manusia. Yang mana ilmu tersebut
berguna untuk bekal kehidupannya di dunia maupun diakhirat.Sebagaimana
sabda nabi Muhammad SAW:
“Menuntut ilmu itu
wajib atas setiap muslim.”
Selain itu, dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11:
“Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Q.S. al-Mujadalah: 11)
Model pembelajaran perspektif Al-Qur’an adalah rangkaian konsep
al-Qur’an yang meliputi sebuah komponen konsep pendidikan Islam, diuraikan dan
ditafsirkan dari ayat-ayat yang berhubungan langsung maupun tidak langsung
dengan kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Kemudian diangkat menjadi sebuah
konsep pada pembelajaran yang sistematis
dan logis serta ditopang dengan pola pendidikan Rasulullah saw, sahabat nabi
dan ijtihad para ulama.
Berhubung konsep model pembelajaran Perspektif Al-Qur’an ini masih
belum dikemukakan secara sempurna dalam bentuk model, namun telah banyak
dikemukakan dalam pemikiran-pemikiran maupun ijtihad para ulama dari zaman
Rasulullah saw sampai saat ini, serta pemikiran para cendekiawan muslim yang
telah membahas item per item dari sebuah model, baik itu landasan, tujuan, strategi,
metode maupun tekhnik pembelajaran dalam area pendidikan Islam dan kesemuaanya
berdasarkan nilai-nilai Perspektif Al-Qur’an.[35]
Untuk sampai
pada pengertian yang sempurna tentunya harus dikaji secara cermat dan mendalam
apakah konsep model pembelajaran dapat diangkat secara sempurna atau tidak.
Kajian awal yang mesti dilakukan tentunya berangkat dari pengkajian konsep yang
utuh berdasarkan Al-Qur’an dan bersifat rasional sehingga dapat diaplikasikan
dalam penelitian tindakan sehingga validitas sebuah model dapat dikemukakan
secara akuntabilitas.[36]
A.
Landasan Konsep
Model Pembelajaran Perspektif Al-Qur’an
Landasan dari
konsep model pembelajaran perspektif Al-Qur’an adalah landasan yang digunakan
oleh konsep pendidikan perspektif Al-Qur’an yang kesemuanya bersumber dari
al-Qur’an, al-Hadits dan ijtihad, sebab dari sinilah ditelurkan sebuah konsep
model pembelajaran. Landasan tersebut mencakup tiga hal yaitu : landasan ideal,
landasan ta’abbudi, dan landasan tasyri’. Ketiga landasan tersebut dijadikan
sebagai landasan pada seluruh sistem dalam pendidikan perspektif Al-Qur’an.
1)
Landasan ideal
Konsep
al-Qur’an tentang manusia ditekankan kepada tiga sisi penting yang membentuk
keutuhan manusia sebagai makhluk Allah swt yang mulia, yaitu manusia dalam
pengarahannya terhadap asal-usul dan tujuan diciptakannya, manusia dengan
eksistensi dirinya sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan fisik dan psikis,
serta manusia sebagai makhluk sosial yang berhubungan dengan manusia dan
makhluk lain di sekelilingnya, yang kesemuaanya dapat dikategorikan pada tiga
hal, yaitu manusia sebagai abdi Tuhan, abdi diri dan abdi masyarakat.
2)
Landasan Ta’abbudi
Landasan ini diungkapkan dari pesan-pesan yang tersirat dalam
gerak-gerak ibadah ritual yang tidak hanya merupakan gerakan-gerakan wajib
semata, melainkan mengandung makna simbolik yang sangat mendalam. Makna Ta’abbudiyah
dalam konteks ini dapat dilihat sebagai upaya latihan dari berprilaku yang
disertai dengan berbagai daya dan gerak fisik yang teratur, sehingga dapat
menyeiramakan kesan-kesan psikis dan intelektual manusia dengan segala bentuk
yang merupakan kesatuan yang utuh antara tubuh, akal dan hati. Pandangan ini
sebagai wujud kesempurnaan edukatif yang belum pernah diungkap dalam
teori-teori pendidikan yang ada dewasa ini.
Perbuatan Ta’abbudiyah dan latihan ruhaniyah yang
sangat mendalam ini, diikat oleh makna yang luhur yang bersumber pada fitrah
agama. Misalnya, mengatur kehidupan sehari-hari dengan puasa dan menghidupkan
kesatuan masyarakat Islam dengan haji. Makna yang terkandung dalam landasan
Ta’abbudiyah ini mampu menyatukan segala dorongan manusia dan individu
masyarakat muslim yang bertumpu pada penghambaan kepada Allah swt semata.
Ibadah mendidik kesadaran berpikir tentang keagungan Allah,
kesadaran untuk beribadah sesuai dengan ajaran syari’at menuju keridhoan Allah.
Kesadaran berpikir tersebut menjadikan seorang muslim sebagai sosok manusia
yang logik, sadar dalam segala urusan hidupnya serta sistematik, tidak
mengerjakan suatu pekerjaan, kecuali jika mempunyai langkah kesadaran dari
pemikiran yang jernih.[37]
3)
Landasan Tasyri’
Syari’at adalah penjelas akidah, ibadah, pengaturan kehidupan,
serta pembatas dan pengatur seluruh hubungan insaniah. Ia adalah asas berpikir
yang mencakup konsep berpikir tentang alam, kehidupan manusia dan wujud
keterikatan seorang muslim dengan Tuhan, dirinya dan lingkungannya. Dengan
demikian syari’at menggariskan gambaran yang logis dan sempurna agar berpikir
tentang hubungannya dengan alam, mengetahui permulaan, kesudahan, nilai hidup,
kedudukan, fungsi dan tujuannya.[38]
B.
Pendekatan Model Pembelajaran Perspektif Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat atau contoh-contoh yang dapat
digunakan sebagai acuan atau alternatif dalam memilih pendekatan pembelajaran.
Diantara pendekatan-pendekatan tersebut adalah :
1)
Pendekatan akal (kognitif)
Pendekatan akal atau ma’rifi merupakan pendekatan yang cendrung
menggunakan aspek nalar. Hal-hal yang berkaitan dengan pendekatan ma’rifi ini
di dalam al-Qur’an terdapat pada ayat-ayat yang seringkali diikuti oleh redaksi
kata aql dan fikr. Pendekatan aqli seringkali digunakan untuk hal-hal yang
berifat eksak sedangkan fikr seringkali dipergunakan untuk masalah-masalah yang
memerlukan penalaran atau perenungan.[39]
2)
Pendekatan induksi
Pendekatan induksi atau dalam al-Qur’an disebut istiqrâ’i adalah pendekatan yang dilakukan dengan
menganalisis secara ilmiah, dimulai dari hal-hal atau peristiwa yang khusus
untuk menentukan hukum yang bersifat umum. Sebagai contoh, firman Allah ta’ala:
“maka apakah mereka memperhatikan bagaimana unta diciptakan, langit
bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan dan bumi
bagaimana ia dihamparkan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi
peringatan.”
Pada ayat ini terdapat rentetan ayat yang mengingatkan dan
menyadarkan manusia akan kebesaran dan keagungan Allah supaya manusia mau
mengingat Allah, maka ayat tersebut dimulai dengan seruan agar memperhatikan
berbagai ragam ciptaan Allah, dimulai dari memperhatikan bagaimana unta diciptakan,
kemudian langit, gunung dan bumi menjadi hamparan. Setelah memperhatikan bagian
fenomena-fenomena alam kemudian diharapkan akan muncul kesadaran yang akan
mampu membuat kesimpulan bahwa yang Maha Agung lagi Besar dan menciptakan seluruh
alam adalah Allah swt.[40]
3)
Pendekatan deduksi
Pendekatan deduksi adalah pendekatan yang dilakukan dengan
menganalisis secara ilmiah, dimulai dari hal-hal atau peristiwa yang bersifat
umum kepada hal-hal yang bersifat khusus atau disebut dengan pendekatan istidlali
atau istinbathi.[41]
Ayat tersebut memerintahkan untuk menyembah kepada Tuhan yang telah
menciptakan, kemudian eksistensi Tuhan yang maha pencipta diperinci oleh ayat
berikutnya yang menjadikan bumi sebagai hamparan, langit sebagai atap
menurunkan air hujan dari langit dan seterusnya.[42]
4)
Pendekatan Emosi
Pendekatan emosi adalah pendekatan yang dilakukan untuk menggugah
daya rasa atau emosi peserta didik agar mampu meyakini, memahami dan menghayati
materi yang disampaikan.[43]
Ayat diatas menunjukkan bahwa aspek emosi memiliki daya tangkap
atau pengaruh yang besar terhadap fenomena yang muncul dari luar diri
seseorang, dari yang didengar maupun yang dilihat, kemudian merasuk kedalam
jiwanya. Dicontohkan oleh ayat tersebut di atas bahwa seorang mukmin apabila
disebut nama Allah maka hatinya menjadi bergetar dan jika dibacakan
ayat-ayat-Nya rasa imannya semakin bertambah serta menumbuhkan sikap tawakkal.[44]
5)
Pendekatan Ifrady
Pendekatan ifradi adalah pendekatan yang dilakukan untuk memberikan
perhatian kepada peserta didik dengan memperhatikan masing-masing karakter yang
ada pada mereka. Mereka berprilaku dalam belajar, mengemukakan pendapat,
berpakaian, daya serap, kecerdasan dan sebagainya memiliki karakter yang
berbeda-beda.[45]
Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa prilaku dan karakter setiap
orang berbeda-beda dan masing-masing memiliki kelebihan atas yang lain. Bagi
seorang pendidik hendaknya memahami dan menyadari perbedaan tersebut sehingga
mampu berbuat yang terbaik untuk peserta didiknya.[46]
6)
Pendekatan Ijtima’i
Pendekatan ijtima’i ini sangat efektif dalam membentuk sifat
kebersamaan siswa dalam lingkungannya, baik di sekolah maupun di lingkungan
masyarakat. Pola pendekatan ini ditekankan pada aspek tingkah laku. Guru
hendaklah dapat menanamkan rasa kebersamaan dan siswa dapat menyesuaikan diri
baik dalam individu, maupun sosialnya. Islam dalam segi apa pun selalu
menekankan pentingnya jama’ah baik dalam shalat maupun dalam belajar atau
majlis ilmu.[47]
C.
Metode Pembelajaran Perspektif Al-Qur’an
1)
Metode Amsal
Suatu
perumpamaan atau ungkapan-ungkapan dengan gaya bahasa yang indah yang diberikan
oleh Allah swt melalui al-Qur’an berupa ungkapan singkat, jelas dan padat untuk
dijadikan sebagai ibarat teladan yang baik dalam rangka meningkatkan iman dan
takwa kepada Allah.[48]
2)
Metode Kisah
Qur’ani
Merupakan kerja
yang terencana dan sistematis dalam bentuk lisan yang memaparkan pengetahuan
kepada anak didik dengan gaya bahasa sederhana dan mudah dipahami sesuai urutan
terjadinya untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan dan didasarkan ajaran
Islam yang terdapat dalam al Qur’an.[49]
3)
Metode Hiwar
Yang dimaksud
metode hiwâr adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih
melalui Tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah pada suatu tujuan.
Percakapan ini bias dialog langsung dan melibatkan kedua belah pihak secara
aktif atau bisa juga yang aktif hanya salah satu pihak saja, sedang pihak lain
hanya merespon dengan segenap perasaan, penghayatan dan kepribadiannya. Dalam
hiwâr ini kadang-kadang keduanya sampai pada suatu kesimpulan, atau mungkin
salah satu pihak tidak merasa puas dengan pembicaraan lawan bicaranya. Namun
demikian ia masih dapat mengambil pelajaran dan menentukan sikap bagi dirinya.[50]
4)
Metode Targhib
dan Tarhib
Merupakan suatu
cara yang dilakukan oleh pendidik dalam memberikan motivasi untuk melakukan dan
mencintai kebaikan dan rayuan untuk melakukan amal shaleh dan memberikan
urgensi kebaikan itu sendiri. Sehingga anak didik melakukan dengan ikhlas
dengan harapan akan memperoleh imbalan atau pahala dari Allah swt. substansi
dari metode targhîb yaitu memotivasi diri untuk melakukan kebaikan. Baik
memotivasi diri itu tumbuh karena faktor-faktor ekstrinsik atau pengaruh dari
luar, maupun faktor instrinsik atau faktor-faktor dari dalam diri sendiri peserta
didik.[51]
Sedangkan
metode tarhîb diartikan suatu cara yang digunakan dalam pendidikan Islam dalam
bentuk penyampaian hukuman atau ancaman kekerasan terhadap anak didik yang
bandel yang tidak mampu lagi dengan berbagai metode lain yang sifatnya lebih lunak.[52]
5)
Metode
pembiasaan dalam al-Qur’an
Menurut Quraish
Shihâb bahwa metode pembiasaan yang akhirnya melahirkan kebiasaan ditempuh
al-Qur’an bertujuan untuk memantapkan pelaksanaan ajaran al-Qur’an.[53]
Dalam al-Qur’an
surah al-Alaq adalah metode pembiasaan dan pengulangan. Latihan dan pengulangan
yang merupakan metode praktis untuk menghafalkan atau menguasai suatu materi
pelajaran termasuk kategori ini.[54]
6)
Metode
keteladanan
Keteladanan
merupakan upaya konkret dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada peserta
didik. Karena secara psikologis anak memang senang meniru, tidak saja yang
baik, yang jelekpun ditirunya. Sifat peserta didik itu diakui dalam Islam. Umat
meneladani nabi, nabi meneladani al-Quran. Aisyah pernah berkata bahwa akhlak
Rasulullah itu adalah al-Quran. Pribadi rasul itu adalah interpretasi al-Quran
secara nyata. Tidak hanya cara beribadah, caranya berkehidupan sehari-hari pun
kebanyakan merupakan contoh tentang cara kehidupan islami.
7)
Metode Ibrah
dan Mauizah
Yaitu dimana
guru memberikan uraian atau penjelasan kepada sejumlah murid pada waktu yang
ditentukan dan tempat tertentu pula, dilaksanakan bahasa lisan berupa nasihat
untuk memberikan pengertian terhadap suatu materi, setelah itu pendidik
berusaha mengambil hikmah/teladan dari materi pelajaran tersebut.[55]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Urgensitas ilmu dan sains perspektif al-Qur’an menjadi penting untuk meraih
kejayaan Islam seperti pada periode klasik dan untuk mencapai amanat tujuan
pendidikan nasional, adalah sebagai jalan dalam memahami ilmu untuk mencapai
takwa. Ketika manusia yang berilmu mencoba memahami ayat-ayat al-Quran, ia akan
sadar bahwa semakin tinggi kapasitas keilmuan seseorang, maka ia akan semakin
takut dan tunduk kepada Allah swt. Inilah urgensi integrasi dan elaborasi sains
secara Qur’ani.
Pengertian
ilmu dalam Al-Qur’an secara garis besar dibagi menjadi dua: al-ilm
al-ladunni; lmu yang diajarkan langsung oleh Allah kepada manusia melalui
wahyu bagi para Nabi dan melalui ilham bagi orang saleh selain Nabi. al-‘ilm
al-kasbi atau al-ulum al-muktasabah; Ilmu yang mencakup segala
pengetahuan di alam semesta yang dapat dijangkau oleh manusia (empiris) melalui
proses pengamatan, penelitian, percobaan, dan investigasi. Sumber Ilmu perspektif Al-Qur’an ada
tiga, Pertama, alam jagat raya ini, yakni semua realitas yang ada di
jagat alam semesta merupakan sumber pengetahuan bagi manusia. Kedua,
akal pemikiran manusia sendiri, yakni dengan menafsirkan dan mengembangkan
fenomena alam itu menjadi rumusan-rumusan teori ilmu pengetahuan yang berguna
bagi manusia. Ketiga, sumber pengetahuan yang berasal dari wahyu.
Metode Pembelajaran Perspektif Al-Qur’an; Metode Amsal, Metode Kisah Qur’ani, Metode Hiwar, Metode Targhib
dan Tarhib, Metode pembiasaan dalam al-Qur’an, Metode keteladanan, Metode
Ibrah dan Mauizah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Majid, Abdul Aziz. (2001). Mendidik Dengan Cerita.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Abid al-Jabiri, Muhammad . (1993). Bunyat al-‘Aql
al-‘Arabi. Beirut: Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi
Abidin, Zaenal. (2010). Konsep Model Pembelajaran Dalam
perspektif al-Qur’an. Banjarmasin: PASCASARJANA IAIN Antasari.
al-Shalih, Subhi . (1996). Memahami Ilmu-Ilmu al-Quran. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Baiquni, Achmad. (1997). Al-Qur’an dan Ilmu
Pengetahuan Kealaman. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Bakhtiar, Amsal (2013). Filsafat Ilmu. Jakarta:
Rajawali Pers.
Bucaille, Maurice. (1996). Asal-usul Manusia Menurut
Bibel, Al-Qur’an dan Sains, terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan.
Ghulsyani, Mahdi. (1990). Filsafat Sains Menurut
Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Hossein Nasr, Seyyed. (1986). Sains dan Peradaban dalam
Islam, terj. Ahmad Noe’man. Bandung: Pustaka
Mursy, Muhammad Sa’id , (2001). Seni Mendidik Anak.
Jakarta: ar-Royyan
Nasution, Harun. (1979). Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspek. Jakarta: UI Press.
______________ (2008). Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Rahman, Afzalur. (2000). Al-Qur’an Sumber Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta, Jakarta.
Risalatut Ta’alim
Shihab, M. Quraish. (1994). Membumikan al-Qur’an. Bandung:
Mizan.
________________ (1996). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’i
atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Suriasumantri, Jujun S. (2007). Filsafat
Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Syafi’ie. (2000). Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an.
Yogyakarta: UII Press.
Wargman, Marlilyn R. (1985). Primitive Mind Modern-Mind,
dalam Richard C. Martin (Ed.), Approaches in Islam for Religious
Studies (U.S.A.: The University in Arizona Press.
[2] HR. Abdul
Razaq dengan lafazh yang semakna. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad
Syakir.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hal 293-294.
[4] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal 87.
hal. 624.
hal. 624.
[8] Syafi’ie, Konsep
Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 30. Hal ini berbeda dengan hitungan Quraisy Shihab,
yang menyebutkan kata ‘ilm dengan
berbagai bentuknya terulang 854 kali, lihat M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 1996), hal. 434. Bandingkan juga dengan hitungan Mahdi Ghuslsyani yang menyebutkan bahwa ‘ilm dengan kata jadiannya digunakan
lebih dari 780 kali, dan nampaknya Ghulsyani menggunakan kata “lebih” untuk
menghindari kesalahan hitungan. Mahdi Ghusyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1999), hal. 39.
[9]
Syafi’ie, Konsep
Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 29.[10]
M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 1996), hal. 346-347.
[11] Marlilyn R. Wargman, Primitive Mind Modern-Mind, dalam Richard C. Martin (Ed.), Approaches in Islam for Religious Studies (U.S.A.:
The University in Arizona Press, 1985), hal. 94. dalam tulisannya Wardman mengkritik pemikiran dikotomis Jack
Goody dalam studi-studi keIslaman, khususnya di dalam kultur dan budaya
masyarakat Islam.
[12]
Dalam disiplin Ulumul Quran
dikenal kategori ayat muhkamat dan mutasyabihat. Ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang bersifat global, sukar
difahami, dan memerlukan takwil. Lihat Subhi
al-Shalih, Memahami Ilmu-Ilmu al-Quran
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hal. 372.
[13] Agus Haryo Sudarmojo, Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam al-Quran (Bandung: Mizania,
2008), XII.
[16]
Seyyed Hossein Nasr, Sains
dan Peradaban dalam Islam, terj. Ahmad Noe’man (Bandung: Pustaka, 1986),
43.
[17]
Afzalur Rahman, Al-Qur’an
Sumber Ilmu Pengetahuan, terj. M. Arifin (Jakarta: Rineka Cipta, Jakarta,
2000).
[18] Maurice Bucaille, Asal-usul
Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an dan Sains, terj. Rahmani Astuti (Bandung:
Mizan, 1996).
[19]
Achmad Baiquni, Al-Qur’an
dan Ilmu Pengetahuan Kealaman
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).
[20]
Pada zaman klasik (abad 8-11 M)
para ulama melakukan gerakan ilmiah atau etos keilmuan dengan mengembangkan
ilmu agama dan berijtihad serta mengembangkan sains yang terdapat di Timur
Tengah, sehingga muncullah ulama fikih,tafsir, dan ulama bidang sains
(matematika, kedokteran, optik, kimia, fisika, geografi, dll.), serta menolak
tawaran sultan menjadi pegawai negeri. Lihat Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hal. 19.
[21] Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, Cet ke-12, 2008), hal. 15.
[24] Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 31; Al-Qur’an, 10 (Yunus): 101; Al-Qur’an,
88 (al-Ghasiyah): 20; dan Al-Qur’an, 27 (al-Nahl): 88.
[25] Al-Qur’an, 57 (al-Hadid): 17; Al-Qur’an, 40 (a-Mu’minun): 67; Al-Qur’an,
51 (al-Dhariyat): 21; dan Al-Qur’an, 37, (al-Saffar): 137.
[27] Al-Qur’an, 16 (al-Nahl): 78; Al-Qur’an, 17 (Bani Israil: 36; Al-Qur’an,
40 (al-Mu’minun): 78; Al-Qur’an, 32 (al-Shajadah): 9, dan Al-Qur’an, 67 (al-Mulk):
23.
[28] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyat
al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), hal.1-22.
[29] Al-Qur’an, 14
(Ibrahim): 4; Al-Qur’an, 16 (al-Nahl): 89; Al-Qur’an, 22 (al-Hajj): 89; Al-Qur’an,
29 (al-Ankabut: 35; Al-Qur’an, (al-Mukminun): 22; Al-Qur’an, 47 (Muhammad):
14; al Qur’an, 49 (al-Hujurat): 6; dan Al-Qur’an, 57 (al-Hadid): 17.
[30]
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyat
al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), hal. 383.
[31]
Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 111; Al-Qur’an, 21 (al-Anbiya’): 24; Al-Qur’an,
40 (al-Mu’min): 117; Al-Qur’an, 27 (al-Naml): 64; Al-Qur’an, 3 (al-Imran):
137; Al-Qur’an, 6 (al-An’am): 11; Al-Qur’an, 7 (al-’Araf): 103, 185; Al-Qur’an,
10 (Yunus): 101; Al-Qur’an, 29 (al-Ankabut): 20; Al-Qur’an, 30 (al-Rum): 50;
dan Al-Qur’an, 35 (Fatir): 43.
[32] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyat
al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), hal. 251-259
[33] Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 89, 146; Al-Qur’an, 3 (al-Imran): 104; Al-Qur’an,
5 (al-Maidah): 83; Al-Qur’an, 6 (al- An’am): 20; Al-Qur’an, 7 (al-A‘raf):> 48; Al-Qur’an, 27 (al-Naml): 93; Al-Qur’an,
18 (al-Kahfi): 65; dan Al-Qur’an, 27 (al-Naml): 15.
[35]
Zaenal Abidin,
Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin: PASCASARJANA
IAIN Antasari, 2010), hal. 147.
[36]
Zaenal Abidin,
Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin: PASCASARJANA
IAIN Antasari, 2010), hal. 148
[37]
Zaenal Abidin,
Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin: PASCASARJANA
IAIN Antasari, 2010), hal. 156.
[38]
Zaenal Abidin,
Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin: PASCASARJANA
IAIN Antasari, 2010), hal. 157.
[39]
Zaenal Abidin,
Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin: PASCASARJANA
IAIN Antasari, 2010), hal. 175.
[40]
Zaenal Abidin,
Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin: PASCASARJANA
IAIN Antasari, 2010), hal. 176.
[42]
Zaenal Abidin,
Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin: PASCASARJANA
IAIN Antasari, 2010), hal. 177.
[44]
Zaenal Abidin,
Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin: PASCASARJANA
IAIN Antasari, 2010), hal. 178.
[46]
Zaenal Abidin,
Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin: PASCASARJANA
IAIN Antasari, 2010), hal. 179.
[48] Zaenal
Abidin, Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin:
PASCASARJANA IAIN Antasari, 2010), hal. 147. Lihat juga Manna Khalil
al-Qathan, Mabahis fi ‘Ulûm al-Qur’an, (Maktabah Ma’arif, 2000), hal. 291.
[49] Abdul Aziz
Abdul Majid, Mendidik Dengan Cerita, diterj Neneng Yanti dan Lip
Dzulkifli Yahya, (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2001), hal. 8. Lihat juga
Muhammad Sa’id Mursy, Seni Mendidik Anak, (Jakarta : ar-Royyan, 2001),
hal. 117.
[50] Zaenal
Abidin, Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin:
PASCASARJANA IAIN Antasari, 2010), hal. 234-235.
[51] Zaenal
Abidin, Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin:
PASCASARJANA IAIN Antasari, 2010), hal. 255.
[52]
Zaenal Abidin,
Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin:
PASCASARJANA IAIN Antasari, 2010), hal. 256. Lihat juga M. Abduh, Metode
Pendidikan Qur’ani, (Jakarta: Kemenag RI, 2008), hal. 1.
[53] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1994), hlm 176.
[54] Zaenal
Abidin, Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an,
(Banjarmasin: PASCASARJANA IAIN Antasari, 2010), hal. 263.
[55] Zaenal
Abidin, Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, (Banjarmasin:
PASCASARJANA IAIN Antasari, 2010), hal. 287.
Komentar
Posting Komentar