A.
Teori
Feminisme
Dalam dua dekade terakhir kelompok feminis
memunculkan beberapa teori yang secara khusus menyoroti kedudukan perempuan
dalam kehidupan masyarakat. Feminis berupaya menggugat kemapanan patriaki dalam
berbagai bentuk stereotip jender lain yang bererkembang luas di dalam
masyarakat.
Namun dalam kurun waktu lebih dari tiga
dekade terlahir muncul hasil penelitian dan pemikiran yang terkait dengan
komunikasi dan gender, salah satu yang terpenting adalah pemikiran Cheris
Kramarae, sebagaiman Burke, Kramarae percaya bahwa instrumen utama bagi manusia
untuk melihat dunia adalah bahasa. Kata dan kalimat yang terdapat dalam
struktur pesan dan apa yang ada dipikiran manusia serta interaksi yang terjadi
memberikan pengaruh besar dalam hal mengalami dunia.
Kramarae memberikan perhatian pada aspek
gender terhadap bahasa dan ia mendalami bagamana pesan memperlakukan wanita dan
pria secara berbeda. Menurutnya, tidak ada pengalaman manusia yang bebas dari
pengaruh bahasa. Dikatakannya, we are trained to see two sexes. And then we do
a lot work to continue to see only these two sexes. (kita dilatih untuk melihat
adanya dua jenis kelamin hanya kepada dua jenis kelamin ini).
Sejak diturunkan, risalah Islam telah
menyelamatkan perempuan dari rusaknya peradaban manusia yang tidak menghargai
kaum hawa. Membunuh anak perempuan karena rasa malu, menjadikan wanita barang
warisan, memperlakukan wanita hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki dan sasaran
pelampiasan kekerasan adalah hal yang ada hampir diseluruh dunia sebelum datang
Islam.
Islam datang mengangkat permpuan dari
derajat yang demikian menjadi kaum yang sangat mulia, dengan beberapa
keistimewaan. Memang Islam tidak mengekang perempuan. Islam memperbolehkan
perempuan bebas berkiprah di ranah publik. Karena itu Islam mendorong perempuan
untuk selalu mencari bekal untuk kemajuan dirinya tanpa mengesampingkan tabiat
perempuannya. Misalnya: perempuan diwajibkan menuntut ilmu sama halnya dengan
laki-laki, juga mereka diperbolehkan mengaplikasikan ilmunya di berbagai
lapangan kehidupan selama tidak membahayakan harkat dan martabatnya.
Akan tetapi, pasca runtuhnya khilafah
Islamiyah di Turki, umat Islam termasuk kaum muslimah mengalami kemunduran luar
biasa diberbagai lapangan kehidupan. Perempuan mulai terambil kemulyaannya,
mereka sedang dan telah teracuni dengan sistem yang sedang menguasai mereka,
sistem sekular, yaitu upaya menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan
disegala bidang. Gagasan ini menghendaki agar perempuan diberi hak-hak yang
setara dengan laki-laki (gender equality). Perempuan harus dibebaskan dari
diskriminasi, dari beban-beban yang menghambat kemandirian, sekalipun dengan
cara mereduksi nilai-nilai budaya dan agama, beban itu antara lain sebagai ibu,
hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga.
Gagasan tersebut masuk ke dunia Islam, negeri Mesir, pada awal
abad ke-20. Gagasan ini telah memberikan perubahan yang sangat tampak pada
busana perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan mulai terlihat
dijalan-jalan, mereka tidak lagi tinggal di dalam rumah, mereka aktif di ranah
publik.
Agaknya para aktivis perempuan Indonesia
juga mengalami hal yang sama, dengan menobatkan R.A Kartini sebagai pejuang
emansipasi. Mereka mengambarkannya sebagai sosok yang bersemangat
memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hal yang sama dan sejajar dengan
laki-laki.
Menurut Alldi Vanjatesh dalam bukunya Changing Roles Of Woman, wanita dapat
dikelompokan berdasarkan pola prilaku dan sikap, diantaranya ialah :
a.
Tradisionalists,
yaitu
kaum wanita yang berpegang pada konsep tradisional. Wanita adalah Sub –
Ordinate dari kelompok pria, dan berperan sebagai Ibu Rumah Tangga ( wives not employed ). Wanita tipe ini
adalah seorang wanita yang penurut dan menghargai peran pria sebagai kepala
rumah tangga.
b.
Moderates, yaitu wanita yang
mulai mengalami masa transisi ( perubahan) konsep peran. Disini wanita berperan
ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan bekerja untuk membantu mencukupi
kebutuhan rumah tangga. Sifat wanita ini selalu terbuka dan kompromi.
c.
Feminists,
wanita yang mandiri yang beranggapan bahwa wanita
dapat berperan sejajar bahkan lebih baik dari pria.
Dari
ketiga kelompok ini, memang tidak pernah ada kesamaan pendapat tentang
penilaian keberadaan wanita sebagai objek iklan TV. Masing-masing kelompk
mempunyai penilaian dan argumentasi sendiri. Namun dikelompok mana pun wanita
itu berada, tetap saja wanita selalu berperan sebagai pengguna (user) serta pembeli (buyer) yang mempunyai posisi Vital dalam
menentukan pola konsumsi Kebutuhan Hidup Sehari-hari, khususnya kebutuhan rumah
tangga.
Tamrin
Amal Tomagola PH.D., M.A Sosiolog Universitas Indonesia, mengatakan bahwa
Eksploitasi Wanita dalam Iklan harus terus dipersoalkan, karena telah
melanggengkan kemapanan dari subsistem dan strucktural yang sebenarnya tidak memberikan
tempat setara, dan tidak adil antara perempuan dan laki-laki, serta menutup
kemungkinan memunculkan potensi-potensi dari perempuan. Dalam penelitian
ini terungkap beberapa citra diantanya :
1.
Citra Pigura : Dalam citra ini Perempuan
digambarkan sebagai makluk yang halus memikat
2.
Citra Pilar : Dalam Citra Ini Perempuan digambarkan sebagai pilar pengurus
rumah tangga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa lelaki dan
perempuan itu sederajat tetapi kodratnya berbeda. Sehingga wilayah kegiatan dan
tanggung jawabnya ialah di dalam rumah tangga.
3.
Citra Peraduan : Dalam Citra Ini, Perempuan diasumsikan sebagai objek nafsu
laki-laki, khususnya pemuas seksual.
Pandangan
feminis terhadap perbedaan peran jender laki-laki dan perempuan secara umum
dapat dikategorikan kepada kelompok.
1.
Feminisme
Liberal
Dasar pemikiran kelompok ini adala semua manusia
laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan mestrinya tidak terjadi
penindasan antara satu dengan lainnya. Feminisme liberal diinspirasi oleh
prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai
kekhususan- kekhususan. Secara ontologis keduanya sama, hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak
perempuan.
Meskipun dikatakan feminisme liberal,
kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan
perempuan. Dalam beberapa hal, terutama yang berhubungan dengan reproduksi,
aliran ini masih tetap memandang perlu adanya perbedaan (distinction) antara
laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi
perempuan membawa konsekwensi logis di dalam kehidupan bermasyarakat.
Kelompok ini termasuk paling moderat
diantara kelompok feminis, kelompok ini membenarkan perempuan bekerjasama
laki-laki. Mereka menghendaki agar perempuan
diintegrasikan secara total di dalam semua peran, termasuk bekerja
diluar rumah. Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang
lebih dominan. Kelompok ini beranggapan bahawa tidak mesti dilakukan perubahan
struktural secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan di dalam
berbagai peran, seperti dalam peran sosial, ekonomi, dan politik.Organ
reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.[1]
Tokoh Aliran ini antara lain Margaret
fuller (1810-1850), Harriet Martineau (1802-1876), Anglina Grimke (1792-1873),
Dan Susan Anthony (1820-1906).[2]
2.
Feminisme
Marxis -Sosialis
Aliran ini berupaya menghilangkan struktur
kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa
ketimpangan peran anara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan
oleh faktor budaya alam.
Aliran ini menolak anggapan tradiosnal dan
para teolog bahwa status perempuan lebih rendh daripada laki-laki karena faktor
biologis dan latar belakg sejarah.
Agak mirip dengan teori konflikk, kelompok
ini menganggap posisi inferior perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan
keluarga dalam masyarakat kapitalis. Feminis sosialis berpendapat bahwa
ketimpangan jender didalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis
yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan di dalam
lingkungan rumah tangga. Isteri mempunyai ketergantungan lebih tinggi pada
suami daripada sebaliknya. Perempuan senantiasa mencemaskan keamanan
ekonominya, karenanya memberikan dukungan kekuasaan kepada suaminya.
Stuktur ekonomi atau kelas di dalam
masyarakat memberikan pengaruh efektif
terhadap status perempuan, karena itu, untuk mengangkat harkat martabat
perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan kembali
struktural secara mendasar, terutama dengan menghapus dikotomi pekerjaan sektor
domestik dan sektor publik.[3]
Aliran ini mulai berkembang di jerman dan
rusia dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin (1857-1933)
dan Rosa Luxemburg (1871-1919).
Bedanya teori ini dengan teori konflik dan
teori Marx-Engels, teori ini tidak terlalu menekan faktor akumulasi modal atau
pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi sebagaimana halnya
teori konflik, tetapi ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan jender dalam
kerangka dasar ideologinya.
3.
Feminisme Radikal
Aliran ini muncul di permukaan abad ke-19
dengan mengangkat isu besar, menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan
perempuan seperti lembaga patriarki yang dinilai merugikan perempuan, karena
term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Lebih dari itu, diantar kaum
feminis radikal ada yang lebih ekstrem, tidak hanya persamaan hak dengan
laki-laki tetapi juga persamaan “seks” dalam arti kepuasan seksual juga bisa
diperoleh dari sesama perempuan sehingga mentolerir praktek lesbian.[4]
Menurut kelompok ini, bukan hanya tidak
harus tergantung kepada laki-laki, bukan saja dalam hal pemenuhan kepuasan
kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan seksual. Perempuan dapat merasakan
kehangatan kemesraan, dan kepuasaan seksual dari laki-laki adalah masalahmelalaui
seksual psikologis. Melalui berbagai
latihan dan pembiasaan kepuasaan itu dapat terpenuhi dari sesama perempuan.
Aliran ini juga mengupayakan pemebnaran
rasional gerakannnya dengan mengungkapkan fakta bahawa laki-laki aalah masalah
bagi perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan
dengan berbagai dalih. Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan
dinilai sebagai bentuk penindasan yang teramat panjang di dunia. Penindasan
karena ras, perbudakan, dan warna kulit dapat segera dihentikan deng resolusi atau peraturan, tetapi
pemerasan secara seksual teramat susah dihentikan, dan untuk itu diperlukan gerakan yang lebih
mendasar.
Aliran ini mendapat tantangan luas, bukan
saja dari kalangan sosiolog tetapi juga dikalangan, feminis sendiri. Tokoh
feminis liberal yang banyak berpikir realistis tidak setuju sepenuhnya dengan
pendapat ini. Persamaan secara total pada akhirnya akan merepotkan dan
merugikan perempuan itu sendiri. Laki-laki yang atnpa beban organ reproduksi
secara umum akan sulit diimbangi oleh perempuan.
KESIMPULAN
Yang menjadi inti perjuangan semua aliran
feminisme ini ialah berupaya memperjuangkan kemerdekaan dan persamaman status
dan peran sosial anatara laki-laki dan perempuan sehingga tidak lagi terjadi
ketimpangan jender di dalam masyarakat.
Dalam pandangan
Islam laki-laki dan perempuan sama dihadapan Allah S.W.T hanya yang membedakan
ketaqwaannya. Sebagaimana dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13
´ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ
مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Komentar
Posting Komentar